Tuesday 14 June 2011

Rasionalitas Diambang Batas

Paling tidak para filsuf ingin mengatakan bahwa sebuah yang “rasional” adalah pergulatan penghetauan atas nalar dalam sejarah manusia itu sendiri. Karena pernah terjadi sebuah paradoksial, dimana sebuah akar budaya rasionalitas lahir dan dibangun, dikemudian hari gugur oleh sebuah episode pembantaian sesama manusia (NAZI di Germany).  Kita tidak sedang memperdebatkan term-term soal rasionalitas itu sendiri, namun menggeser sebuah lokus pada fenomena yang sulit dipahami dengan kesadaran yang rasional. Sebuah narasi panjang yang terus kita konsumsi setiap hari lewat media ternyata tidak menghasilkan sebuah penetrasi yang positif. Justru tontonan ‘murahan’ semakin menarik kita kedalam alam yang irasional. Meminjam konsep Jurgen Habermas, bahwa dalam sebuah posisi kebenaran ada sebuah mekanisme dialogis yang performatif dimana mencapai sebuah konsesi yang melahirkan legitimasi norma. Artinya memang sebuah kebenaran harus dimaknai  secara rasionalitas, dan berupaya keluar dalam standar rasionalitas tradisional (kebenaran wahyu). Kemudian setiap individu juga memberi ruang kepada individu lain sehingga proses komunikatif dapat tercapai (Mc Charty, The Critical Theory of Jurgen Habermas/1982: 270-3 ). Kita akan kembali mempertanyakan lagi rasionalitas dan menggugat kembali Integritas kita sebagai sebuah bangsa, ketika melihat fenomena di SDN Gadel – Surabaya. Dimana upaya untuk pengungkapan “ketidak benaran” justru mengalami resistensi yang kuat dan destruksionis oleh mayoritas di sekitar nya. Fenomena apa ini? Apakah kita akan menutup mata dengan moral yang telanjang? Mau apa kita? Ini adalah sebuah akumulasi dari titik-titik kelaliman, yang dengan mudah kita temui di mana saja. Dan kita terus mempertontonkan “Opera Politik” yang sangat murah dan tidak berkualias di balik asuhan sutradara Susilo Bambang Yudhoyono. Yang selalu mengisi ruang-ruang kekuasan dengan “kebancian” dan tanpa landasan yang argumentative seolah menghendaki belas kasihan rakyat. Kalau Foucault mengatakan, bahwa subjek telah mati, lantas subjek itu terkonstruksi dengan idea-idea yang saling beririsan. Maka saya akan mengatakan, bahwa subjek bukan sekedar mati tetapi kemudian dibajak dengan nilai-nilai kelaliman yang dalam posisi linear menuju kebobrokan sebuah system.

Kita harus saling merefieksikan diri dan berupaya melakukan sebuah penetrasi positif atas kondisi seperti ini. Memang sangat ironis ketika irasionalitas itu terjadi pada salah satu pilar perubahan, yaitu pendidikan. Pada waktu yang bersamaan Integritas Alifah dan Ibunya terhadap kejujuran dihakimi oleh mayoritas. Hal ini mengingatkan saya pada perkataa Rocky Gerung dalam sebuah forum, ‘bahwa sebuah integritas tidak dapat dihakimi, karena integritas itu yang akan menghakimi sebuah kebenaran. Kita akan sampai pada titik evaluasi terhadap kerja system politik dan gerak kebudayaan untuk merekonstruksi nilai moral. Kalau memang kita sadar bahwa system politik tidak dapat mencapai batas sebuah moral, maka satunya harapan adalah gerak dari kebudayaan itu sendiri. Juga kita menilai bagaimana acara-acara religious di TV, film-film yang menyemai nilai-nilai kebaikan, bahkan siraman rohani di radio tidak terlalu sukses untuk mentransformasikan batasan sebuah moral kepada manusia itu sendiri. Mengapa? Karena sedari awal kita telah gagal membangun budaya rasional dalam kehidupan kita, transformasi moral tidak bisa di cerap secara oposisi-binner saja, tetapi juga dengan semangat rasionalitas. Hanya dengan system pendidikan yang baik dan pastinya tanggung jawab penuh dari Negara bisa melahirkan budaya rasional dan meninggalkan perspektif kaca mata kuda. Sehingga kita tidak lagi menjumpai kumpulan-kumpulan manusia yang seakan-akan mampu menerjemahkan bahasa Tuhan, tapi tidak mampu memahami bahasa sesama manusia. Hal ini akan mengingatkan kita kepada perdebatan Sjahrir dan Soekarno, bahwa bagi Sjahrir kemerdekaan-nasional bukan tujuan utama –telos-, tetapi kemerdekaan dari individu yang menjadi pokok dari kemerdekaan itu sendiri.