Sunday 12 June 2011

Antara Benturan Peradaban dan Kebangkitan Etnis

Pendahuluan

Konflik adalah sebuah kondisi yang tidak dapat dihindarkan dalam realitas kehidupan manusia, konflik bersifat sangat alamiah dan dalam proses nya dia akan melahirkan sebuah consensus baru pasca konflik itu sendiri. Dalam hal yang paling sederhana sebagai sebuah kesatuan individu kita sering kali berhadapan dengan diri kita sendiri yang biasa disebut “konflik bathin” dalam situasi seperti ini kita harus mencari jalan keluar yang bijaksana (way of wise) agar kita tidak menyesal kelak waktu nanti. Hal yang sangat esensi dalam mendudukan sebuah konflik yang terjadi, adalah sangat penting dimana nanti kita memiliki persepsi yang utuh untuk memandang sebuah realitas konflik (baik konflik individu ataupun konflik sosial) ini akan menjadi sebuah titik tolak menuju consensus baru. Pertanyaan yang lebih kritis terhadap sebuah konflik, apakah konflik akan selalu mendatangkan sisi negative terhadap kelangsungan hidup manusia. Konflik tidak hanya akan selalu bersifat destructive, konflik bisa berdampak positif atau konstruktif ketika ada sebuah harapan baru untuk masa depan yang lebih baik. Hal ini bisa dikarenakan sebuah kondisi masa konflik memberikan sebuah pelajaran positif yang menstimultan dan di interpretasikan dengan kreatifitas tinggi pasca konflik. Pada masa klasik konflik yang terjadi adalah semata-mata untuk sebuah kepentingan yang sengaja dipaksakan untuk  mendapatkan keuntungan (advantage). Dalam terminology Marxisme-Ortodoks,  Marx sudah menjelaskan bahwa masalah di dunia ini adalah sebuah kesenjangan antara kaum Borjuasi dan Proletariat. Artinya, Marx memahami bahwa konflik di dunia ini adalah sebuah dikotomi kelas dan adanya antagonisme kelas. Buruh adalah sebuah kelas yang selalu dirugikan dan ter-eksploitasi oleh kaum pemilik modal. Kesadaran buruh harus ditumbuhkan untuk memahami kondisi konflik yang terjadi, perjuagan Internationale yang dibangun Marx adalah dalam rangka untuk merebut kekuasaan Borjuis dengan memperkuat basis massa Buruh dan Tani. Dalam realitasnya terjadi konflik internal dalam perjuangan  kelompok Marxist saat itu. Hari ini lahir sebuah kelompok baru yang masih berpegang teguh pada ajaran suci Karl Marx, kelompok ini menamakan dirinya Post-Marxist walaupun kelompok ini sering mendapat kritik tajam dari kaum Marxist-Ortodoks tetapi mereka tetap eksisi dalam kajian Intelektualnya. Bagi Post-Marxist kondisi hari ini dalam memahami sebuahh konflik tidak lagi bisa hanya berangkat dari dikotomi kelas (Borjuis dan Proletar). Sekarang adalah masa Post-Modern, dimana logika dekonstruksi menjadi primadona dalam menjawab tantangan zaman. Ernesto Laclau dan Ronald H. Chilcote adalah salah satu tokoh Post-Marxist yang menjoba menjelaskan konflik perjuangan suku Indian terhadap penduduk keturunan penjajah (Spanyol/Portugis) di Wilayah Amerika Latin.[1]

Konflik Antar Peradaban yang Terjadi

Dalam situasi terkini di wilayah Timur tengah opini yang berkembang dalam mayoritas masyarakat barat adalah terjadinya sebuah benturan peradaban Islam dan Barat (Kristiani). Persepsi ini diperkuat pasca kejadian yang menjadi pelajaran besar untuk US (9/11). Tragedy penyerangan bom dengan pesawat penumpang ke gedung WTC, seolah-olah semakin melegalkan Amerika untuk dengan bebas melakukan sebuah Invasi yang membabi-buta ke Tmur tengah (Iraq). Alasan memerangi terror selalu digunakan untuk melegalkan aksi mereka kedalam dunia International. Bagi dunia barat penyerang bom bunuh diri adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap umat Kristiani, justru sebaliknya bagi umat Muslim hal itu adalah sebuah bentuk yang diwajibkan oleh agama (Jihad). Kelicikan Bush dalam mempropaganda sebuah aksi perang untuk issue international adalah demi menjunung tinggi nilai Demokrasi, sedangkan untuk membakar semangat pemuda Amerika untuk memperkuat kesatuan militernya dengan membawa dogma-dogma kristiani. Gerakan infansi ini yang juga didukung oleh pemerintahan Inggeris semakin mengkokohkan laten anti-Islam, terlebih terjadi pemboman di London yang diduga adalah kelompok Islamist-Radical. Duet maut antara Amerika-Inggeris melakukan Invansi ke timur Tengah seolah-olah menjadi sebuah representative dari Barat untuk perlawanan terhadap Islam. Situasi seperti ini menyudutkan warga keturunan Muslim yang tinggal di daratan eropa, penetrasi dan diskriminasi dalam bentuk kebijakan pun dilakukan. Dalam satu kasus di Paris, dimana pemerintah perancis melarang wanita Muslimah memakai Jilbab untuk berpergian dan diskriminasi dalam bentuk lainnya. Hal ini mendapatkan reaksi keras dari kelompok Muslim di Paris, sampai akhirnya sebuah gerakan resistence pun dilakukan.

Fenomena seperti ini sangat diamini oleh seorang teorotisi sperti Samuel P. Huntington. Dalam karya nya yang terkenal  “Clash of Civilization” Huntington menjelaskan bahawa tatanan dunia ini memiliki 7 atau 8 peradaban utama, yaitu; Islam, Jepang, Hindu, Slavic-Orthodox, Barat, Amerika Latin dan Afrika. Dalam teroi nya Huntington membagi menjadi beberapa point penting untuk menjelaskan sebuah peradaban. Pertama, peradaban adalah hal yang sangat mendasar dan bebrbeda secara nyata yang memiliki sejarah panjang. Peradaban dapat dibedakan dalam; budaya, bahasa, tradisi, dan yang paling penting adalah agama (bagaimana mempercayai Tuhan). Perdaban lebih bersifat fundamental dari sebuah Ideologi atau Regime politik, dalam sejarah konflik kekerasan yang bersifat laten selalu muncul dari sebuah peradaban. Kedua, dunia menjadi sangat sempit, karena interaksi antara peradaban semakin terbuka bebas. Interaksi yang meningkat sehingga menjadi kewaspadaan tinggi karrena adanya perbedaan-perbedaan yang tegas. Seperti dalam kasus Imigrasi bangsa Afrika  Utara ke Perancis menimbulkan sebuah konflik peradaban. Ketiga, proses modernisasi dalam segala bidang memaksa orang untuk keluar dari identitas lokalnya, dan melemahkan bentuk kesatuan Nation-State nya. Dalam mengisi kesenjangan ini, sering di isis dengan gerakan “fundamentalism” yang aktornya banyka dari kalangan pemuda, intelektual, dan kelas menengah. Keempat, pertumbuhan kesadaran peradaban yang dipengaruhi oleh fungsi dualisme barat (semangat Kristiani dan tatanan demokrasi) semakin banyak orang mendengar referensi kecenderungan pada sebuah pembangkitan “Asianisasi” oleh Jepang dan titisan nilai-nilai yang diajarkan oleh Nehru sebagai Hindunisasi. Kelima, karekteristik budaya dan orientasi perbedaan politik, dan ekonomi dapat dengan mudah berubah namun tidak dengan peradaban. Sebuah etnis Asia samapai kapan pun dia tidak akan menjadi seorang Slavic-Orthodox, meskipun dia seorang Kristen yang taat sedangkan seorang Kapitalisme bisa menjadi Sosialist.[2]

Dengan argument teori seperti ini Huntington dapat menjelaskan konflik yang terjadi di Timur Tengah, dan sebagian wilayah ex-Yugoslavia. Walaupun penjelasan teori Huntington memiliki tendensi terhadap Islam dan bersifat propokativ, namun argument nya dijadikan sebuah referensi kuat untuk kebijakan luar negri  Amerika Serikat terutama terhadap negara-negara Islam di Timur tengah. Dalam bayangan Huntington, sejarah peradaban manusia selalu diwarnai oleh konflik kekerasan yang laten, konflik antara Islam dan Kristen sudah terjadi selalma 1.300 tahun yang silam. Setelah PD II mulai mengalami penurunan eskalasi konflik namun bentuk-bentuk resistence antar perdaban tidak pernah redup, seperti bentuk erlawana di Alzazair, Teluk Persia, Perang Afganistan, Invansi Timur tegah, sampai perang Palestine-Israel. Menurut Huntington ini adalah benturan-benturan peradaban yang tidak bisa terelakan. Selain benturan fisik, sebuah kerjasama ekonomi juga sangat dilatar belakangi oleh kesamaan agama, bangkitnya organisasi seperti OKI adalah sebuah manifest gerakan Islam dalam bidang kerjasama dan forum Negara Islam. Sebuah negara akan memiliki kecenderungan untuk menjalin hubungan baik lebih dilator belakangi agama dan bukan Ideologi.[3]

Seorang donor yayasan asal Amerika, George Soros justru memiliki pemahaman  berbeda terhadap kelompok Islamist yang menurutnya adalah gerakan Radical-Fundamentalist. Menurut soros, memerangi sebuah “terror” adalah sebuah tindakan yang abstrk dan sulit untuk menemukan sasaran yang tepat. Kebijakan Bush untuk melakaukan aksi “perang terhadap terror” adalah sebuah kesalahan dalam memahami gerakan Terrorist. Bush salah kaprah dalam mendefinisiskan sebuah aksi terror, Soros sebenarnya sepakat kalau gerakan yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaeda dan turunnya mengancam keamanan dunia, namun ia mengkritik kebijaknan Invansi timur tengah yang membabi buta. Alasannya sangat normative dan konvensional dengan acuan sebuah sistem Demokrasi, bahwa Invasi itu akan menelan warga sipil yang tak bersalah dan dalam kerangka HAM akan banyak terjadi pelangaran kekerasan (violence) yang notabene nya telah mengangkangi prinsip Demokrasi Barat itu sendiri. analisis Soros pada dasarnya tetap memiliki tendensi terhadap Islam, hanya saja dia lebih melihat dari sudut pandang kepentingan investasi (market-invest). Keberhasilan Bin Laden adalah melancarkan ancaman terhadap keamanan (threat and vulnerability), gerakan separatis yang tersebar di seluruh peradaban Barat adalah sebuah tindakan Jihad dalam kaca mata pandang barat. Popularitas amerika justru menurun dalam masyarakat International setelah melakukan serangan-serangan timur tengah. Kesalahan ini lah yang bagi Soros sangat fatal terhadap tingkat rasa aman para investor. Soros lebih melihat bahwa wacana terror harus disikapi dengan hati-hati dan memerlukan respon yang sangat kuat. Serangan yang dilancarkan justru makin membuat kacau di Timur tengah dan mengangu hubungan bisnis US. Kekacauan timur tengah menurutnya sangat berdampak kuat terhadap tatanan Demokrasi disana yang besar dipengaruhi oleh faksi-faksi dalam kelompok Islam itu sendiri. kondisi seperti ini juga mempengaruhi hubungan Amerika dengan dunia Barat, dan terjadi banyak klik-klik politik pada kalangan elite pemerintah Amerika Serikat.[4]
Hal yang menarik adalah sebuah pernyataan kritis dari seorang Profesor Linguistik, Noam Chomsky justru memiliki sebuah pandangan yang berbeda terhadap konflik Timur Tengah dari kedua orang diatas. Dalam salah satu karya nya Chomsky mejabarkan pemahamannya tentang  Strategi baru Imperialisme (Imperial Grand Strategy), ada sebuah keganjilan kebijakan Militer Amerika  dari sebuah piagam keamanan PBB  yang seharusnya menjadi sebuah acuan utama kebijakan luar negri anggota PBB dalam rangka menjaga perdamaian dunia. Disini Amerika sebagai sebuah kekuatan dominasi di PBB, justru melegalkan kebijakan “pendudukan wilayah” dengan militer (preemptive war) yang keputusannya justru diambil secara arogansi oleh pemerintahan Bush. Hal yang paling prinsip dalam sebuah strategi Imperialisme Amerika adalah ketika kekuatan amerika meulai terlibat banayk dalam konflik didunia seolah dia kembali memposisikan diri pada perang dunia II. Pada masa pasca-perang Dunia sekarang Amerika hadir menjadi sebuah kekuatan penting dalam pembuat keputusan tingkat International. Sebagai sebuah Negara US sangat memiliki kepentingan atas sebuah kebijakan International yang dibuatnya, hal ini jelas meiliki tawar posisi yang tinggi seiring dengan pencapaian kesuksesan di bidang Ekonomi dan Militer. Pengaruh Amerika yang kuat sangat jelas dan nyata, mulai dari pembentukan opini masyarakat terhadap pernyataan perang terhadap terror (Islamist-Radical) sampai menanamkan nilai-nilai norma baru terhadap hukum International. Dalam pembentukan Dewan Keamanan PBB, US sangant berkepentingan untuk meletakakn orang-orang yang pro dengan kebijakan-kebijakan Bush. Ketika tataran pengambil kebijakan (decision-making) sudah dapat dipengaruhi pemerintah Amerika terus mereproduksi wacana kebencian terhadap Saddam Husein lewat media massa. Dengan keluarnya Resolusi 687, yang dikeluarkan oleh DK PBB semakin memperkuat citra buruk Saddam di mata masyarakat Amerika, sehingga kebijakan Invansi Iraq tidak menemukan kritik (counter-opinion). Analisa kritis yang dilemparkan oleh Chomsky, memberikan sebuah pemahaman bahwa invansi ke Iraq bukan lah sebuah misi suci gereja (seperti issue yang dilemparkan oleh kelompok konservativ gereja) atau sebuah sikap netral menjaga perdamaian dunia dalam kerangka demokrasi (seperti issue yang dilemparkan pada masyarkat International). Dibalik wacana itu semua menurut Chomsky hanyalah permasalahan ekspansi sumber daya alam untuk kepentingan Amerika sebagai Nation-State, yang sangat berorientasi terhadap kapitalisme pasar.[5] Dalam diskusi nya dengan Gilbert Achcar, Chomsky menyatakan sebuah respon yang berlebihan oleh Bush untuk melakaukan aksi anti-terror nya. Dalam pemikirannya tragedy 9/11 adalah sebuah tindak criminal besar yang seharusnya pemerintah US secara tidak secara membabi-buta menginvansi dengan dugaan-dugaan sementara. Chomsky yakin kalaulah Bin Laden adalah actor besar dalam tragedy ini, pertanyaannya kenapa Bush bukan mengejar dan menangkap Bin Laden untuk divonis secara hukum. Ini bukan lah hal yang sulit buat US, karena seorang terrorist yang pernah bekerja untuk pemerintahan Amerika seperti Luis Posada Carriles yang dalam catatan Chomsky dia banyak terlibat dalam aksi terror di Amerika latin. Apabila semua korban di akumulasi dari mulai tahun 1976 sampai hari ini kemungkinan besar jumlah korbannya jauh lebih besar daripada tragedy 9/11. Chomsky yakin bahwa 9/11 adalah sebuah aksi kekerasan yang menakutkan, namun wacana ini tetap dipertahankan untuk kepentingan tertentu.[6]

Kegagalan Teori Benturan Peradaban dalam Mejelaskan Konflik Antar Etnis

Dalam kehidupan dunia ini ternyata konflik yang ditemukan tidak hanya sebatas konflik antara peradaban (agama) seperti apa yang di paparkan Huntington. Kasus konflik lain ada juga ditemukan terjadi sebuah aksi kekerasn secara laten sesame peradaban, misalnya; konflik antara kelompok Protestan Inggeris dengan militansi Katolik Irlandia, kelompok Islam Sunni dengan kelompok Islam Syi’ah, konflik antar etnis di Balkan (ex-Yugoslavia). Teori Huntington terlihat lemah ketika akan bicara masalah konflik antar etnis.

Konflik di tanah bekas kekuasaan Yugoslavia sangat menarik untuk dikaji dalam sudut pandang kebangngkitan etnis (ethnic revival) sebagaimana dikutip oleh Anthony D. Smith,  yang merujuk pada gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad membentuk “bangsa” yang aktual maupun bangsa “yang potensial”. Hal ini sangat masuk akal pasca kehancuran pemerintahan Sosialis Yugoslavia. Identitas politik mulai muncul dari setiap etnis yang tadinya dibawah Pemerintahan Yugoslavia, menjadikan nasionalisme sebagai ideologi bangsa dalam pigura proyek nation-building, maka yang belakangan lebih fokus pada promosi state-building dengan menggunakan nation-state yang ditinggalkan oleh penjajah colonial atau Pemerintahan yang dominan sebelumnya, untuk kemudian dikelola dengan cara-cara konstitusional . Dalam teorinya Brown berpendapat, bahwa terjadinya konflik etnis biasanya akan bermuara pada satu dari tiga hal ini, yakni terjadinya rekonsiliasi damai, perpecahan etnis secara damai, atau pada terjadinya perang saudara yang berkepanjangan. Akibat yang terakhir ini biasanya akan membawa dampak yang sangat besar, baik secara moral maupun secara politis, bagi dunia internasional. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu komunitas. Smith melanjutkan, bahwa setidaknya ada enam hal yang harus dipenuhi sebelum sebuah kelompok dapat menyebut diri mereka sebagai 'komunitas etnis'.

Pertama, sebuah kelompok haruslah memiliki namanya sendiri. Kriteria ini tidaklah mengada-ada. Tidak adanya nama spesifik untuk suatu kelompok, menurut Smith, menandakan belum terbentuknya identitas sosial yang cukup solid untuk dapat disebut sebagai suatu komunitas etnis. Kedua, orang-orang di dalam kelompok tersebut haruslah yakin, bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama. Keyakinan ini sangatlah penting, dan bahkan lebih penting daripada ikatan biologis. Ikatan biologis mungkin saja ada, tetapi tidak menjadi inti dari keyakinan, bahwa suatu kelompok memiliki leluhur yang sama. Ketiga, orang-orang yang berada di dalam kelompok tersebut haruslah memiliki ingatan sosial yang sama. Kesamaan itu biasanya ditandai dengan adanya mitos-mitos maupun legenda-legenda yang sama, yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Keempat, kelompok tersebut haruslah berbagi kultur yang sama. Kesamaan kultur tersebut dapat dilihat dalam berbagai kombinasi antara bahasa, agama, norma-norma adat, pakaian, musik, karya seni, arsitektur, dan bahkan makanan. Kelima, orang-orang yang ada di dalam kelompok tersebut haruslah merasa terikat pada suatu teritori tertentu, terutama teritori yang sedang mereka tempati. Dan keenam, orang-orang yang berada di dalam kelompok itu haruslah merasa dan berpikir bahwa mereka adalah bagian dari satu kelompok yang sama. Hanya dengan begitulah suatu kelompok dapat disebut sebagai komunitas etnis.[7]

Dalam menganalisa konflik di Yugoslavia, para pelaku perang sering kali dipandang sebagai sessuatu yang “kuno” dan “tradisional”, karena perang-perang yang meledak pada tahun 1991 adalah sebuah dendam antara suku-suku tertentu selama berabad-abad dan bangsa-bangsa Slavia selatan. Munculnya konflik politik antara negara Fedederasi bekas Yugoslavia yang digerakkan oleh sentiment Nasionalisme dengan pembangunann kawasan-kawasan yang sangat homogen akan etnis tertentu. Namun menurut beberapa peneliti ada factor lain yang juga menentukan yaitu adanya sebuah perampasan harta antar etnis tertentu dengan disertai pembantai etnis tertentu pula. Apabila kita berangkat dari teori Anthony Smith dan Brown, memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap kondisi actual disana, krisis Balkan terjadi karena runtuh nya sebuah pemeritahan yang kuat yaitu Yugoslavia yang kemudian terjadi penguatan pada kantung-kantung Etnis tertentu “enclaves” sehingga ini menjadi sebuah identitas politik baru yang merrasa satu kesatuan (mereka disatukan oleh bentuk etnis yang juga memiliki sejarah tertentu).  Hal serupa juga sangat bisa dipahami bagaimana sebuah enclave tertentu harus membangun serta merekrut anggota organisasi keamanan (militer) untuk mengatisipasi dari serangan etnis lain. Karena mereka tidak memiliki sebuah organisasi militer, sedangkan kondisinya memaksa mereka untuk memiliki organisasi itu sebagai sarat berdirinya sebuah Negara, basis massa di estimasi dari para supporter sepakbola kota. Seperti halnya yang terjadi di Serbia, bagaimana supporter The red Belgrade dilatih dan dipersenjatai untuk mendukung Tokoh populisme Slobodan Milosevic (Presiden). Proses ini melalui sebuah proses propaganda etnis yang cenderung “chauvism” sama halnya bagaimana Hitler mempropaganda pemuda German untuk berpartisipasi menjadi tentara Nazi (fascism).[8]

Ada beberapa kemungkinan negative apabila konflik antar etnis tidak bisa didamaikan. Konflik etnis bisa bermuara pada pembantaian rakyat sipil. Mengapa ini terjadi? Menurut Brown, konflik antar etnis biasanya tidak menggunakan teknologi militer yang canggih. Biasanya, pasukan yang bertempur adalah pasukan yang baru terbentuk, dan terdiri dari milisi yang sebelumnya merupakan warga negara sipil (Brown, 1997). Di dalam pasukan tersebut terdapat pembagian kerja, dan warga sipil biasanya menjadi pemasok makanan strategis yang menjamin pasukan dari sisi logistik. Penyerangan kepada warga sipil bertujuan untuk memutus pasokan logistik ini. Kedua, sebuah kelompok militer yang lemah biasanya akan mengandalkan strategi perang gerilya, dan strategi pengeboman tempat-tempat yang mereka anggap strategis, seperti kota, dan tempat-tempat umum lainnya. Dengan cara ini, adanya korban masyarakat sipil tampak tidak terelakkan. Terjadinya konflik etnis biasanya bermuara pada terciptanya begitu banyak pengungsi, terutama karena konflik biasanya melebar menjadi penyerangan terhadap warga sipil. Kehadiran para pengungsi tersebut tentunya memiliki pengaruh terhadap komunitas internasional sebagai keseluruhan. Pertama, jika para pengungsi pergi ke negara tetangga, di mana kelompok etnis mereka juga memiliki jumlah yang besar di sana, maka ada kemungkinan akan tercipta solidaritas antar anggota etnis yang sama. Pada akhirnya, negara tetangga, yang awalnya tidak terlibat konflik, juga bisa terlibat di dalam perang yang sebenarnya bukan perang mereka. Hal ini tentu saja memperluas skala perang. Bahkan kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar tentunya akan meningkatkan biaya ekonomi bagi negara terkait. Para pengungsi memerlukan makanan dan tempat tinggal untuk menunjang hidup mereka. Bahkan, dalam beberapa kasus, negara tetangga harus menampung para pengungsi untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Selain itu kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar juga dapat mengancam keutuhan identitas kultural dari negara yang ditempati. Konflik antar etnis sangat berdampak krusial, seperti kemungkinan kehadiran para pengungsi dalam jumlah besar juga bisa menjadi suatu bentuk kekuatan politis tertentu. Kekuatan politis ini akan mempengaruhi persepsi negara yang mereka tempati dalam hal kebijakan luar negeri, terutama mengenai negara asal para pengungsi tersebut, yang memang sedang mengalami konflik. Beberapa negara khawatir, bahwa para pengungsi akan berbalik menentang mereka, jika mereka membuat kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan para pengungsi tersebut. (Brown, 1997, hal. 93). Dan jika kehadiran para pengungsi, dengan segala problematika yang muncul bersamanya, sungguh menjadi ancaman bagi negara sekitarnya, maka PBB punya kewajiban untuk melakukan intervensi pada krisis yang tengah terjadi.

Penggunaan senjata nuklir dan senjata-senjata pemusnah massal lainnya sungguh memberikan suatu dimensi baru di dalam arti kata perang, ataupun kata konflik etnis. Sangatlah mungkin, bahwa pihak-pihak yang saling bertempur menggunakan senjata pemusnah massal tersebut. Sejauh saya mendapatkan informasi, India dan Pakistan masing-masing memiliki senjata nuklir. Ketegangan politis di antara dua negara tersebut terus meningkat. Hal yang sama kiranya terjadi antara Russia dan Ukraina. Walaupun dalam jangka waktu dekat dapatlah dipastikan bahwa tidak akan pecah konflik besar di negara-negara tersebut, tetapi kemungkinkan terjadinya konflik yang melibatkan senjata pemusnah massal di masa depan tetaplah harus diperhatikan. Konflik antar etnis juga memiliki efek berantai. (Brown, 1997) Konflik antar etnis dapat menyebar dengan beberapa cara. Jika suatu negara yang terdiri dari beragam etnis mulai pecah serta memperbolehkan beberapa kelompok untuk melepaskan diri, maka kelompok-kelompok lainnya pun akan ikut menuntut otonomi, atau bahkan kemerdekaan. Hal semacam ini terjadi di Uni Soviet, di mana 14 republik berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Moskwa. Kelompok-kelompok etnis minoritas lainnya di Uni Soviet, seperti Chechnia, Kalmyk, Tatarstan, dan Tymen, kini terus berusaha memperoleh otonomi dari Moskwa.

Masalah lainnya juga muncul, ketika negara A memberikan kebebasan bagi kelopmok B untuk membentuk negaranya sendiri. Biasanya, kelompok minoritas di dalam B juga akan menuntut untuk melepaskan diri dari B. Jika kelompok minoritas tersebut memiliki ikatan etnis dengan negara A, maka mereka biasanya ingin kembali untuk bergabung dengan negara A. Hampir semua efek berantai dari konflik antar etnis ini memiliki skala kekerasan yang besar. Besarnya tingkat kekerasan yang terjadi ini tentu saja memberikan pengaruh besar bagi dunia internasional. Pertama, karena kekerasan semacam itu bisa menciptakan ketidakstabilan regional yang bermuara pada terjadinya kekacauan yang mempengaruhi lalu lintas ekonomi maupun kondisi politik daerah terkait. Kedua, terjadinya kekacauan politis maupun ekonomi ini bisa memicu munculnya kekuatan politis garis keras yang hendak merebut kekuasaan. Kekuatan garis keras ini biasanya berpegang pada ideologi ataupun agama tertentu sebagai basis dari organisasi mereka. Mereka hendak memaksakan cara pandang mereka untuk diterapkan sebagai ideologi dasar. Ada efek berantai lainnya yang seringkali terlewatkan, yakni bahwa berhasilnya gerakan perlawanan di tempat yang satu biasanya akan menjadi inspirasi bagi gerakan perlawanan di tempat lainnya. Semakin berkembangnya teknologi komunikasi memungkinkan berita tentang berhasilnya suatu gerakan perlawanan di kawasan tertentu untuk segera diketahui oleh seluruh dunia. Hal ini tentu saja berpotensi untuk menimbulkan gerakan perlawanan secara massal yang memiliki cangkupan internasional.


Membayangkan Sebuah Wacana dari Gerakan Nasionalisme

Untuk memahami sebuah kebangkitan gerakan Nasionalisme, kita perlu memahami sebuah wacana pokok yang tertanam serta tersebarluaskan dalam jangkauan wilayak tertentu, dimana secara territorial masuk didalam enclaves tertentu. Ben Anderson telah menjelaskan bagaimana sebuah akar budaya yang lahir berasal dari “komunitas yang terbayangkan”. Maksudnya ada beberapa hal penting yang secara Historis sangat mempengaruhi sebuah bangsa untuk melebur menjadi nation-state. Dalam terminology Ben ada dua hal yang sangat penting untuk membentangkan teorinya dan menganalisis sebuah wacana nasionalisme. Komunitas Religius dalam berabad-abad umat manusia disajikan sebuah teks-tks yang sangat sacral oleh sebuah kelompok yang dianggap suci dan meiliki kedekatan altruism dengan Tuhan, teks ini lah yang mengikat dan membayangkan dalam satu kesatuan tertentu. Ranah Dinastik bayanngan sebuah masyarakat memiliki rasa kesamaan karena secara histories pernah ada dalam bentuk satu kekaisaran di masa lampau. Nilai-nilai budaya dan bahasa yang masi dipertahankan seolah menjadi kesamaan dan mempersatukan mereka. Proses ini menurut Ben adalah sebuah kesuksesan melalui bahasa, dia coba menjelaskan bagaimana pengaruh Kristiani sangat cepat menyebar di Eropa melalui penyebaran wacana lewat buku-buku atau tulisan yang disebarluaskan. Menurut Ben bahasa dan pembumiananya sangat penting dalam proses kapitalisme awal, kesuksesan para pencetak buku di masa pra-modern adalah pencapaian positif  terhadap perkembangan pasar. Beberapa point penting adalah: pertama, adalah perubahan ada struktur Latin itu sendiri, yang diperjuangakan oleh sastrawan kristiani untuk kembali membangkitkan kesusastraan kristiani dan kembali dilempar ke pasar. Kedua, damapak dari sebuah reformasi gereja yang sangat berhutang budi pada kapitalisme-cetak, sehingga melarang para penulis lain untuk mengembangkan pemikiran/tesisnya yang danggap melawan gereja (bid’ah). Maka dari itu Martin Luther hanya memampangkan tesisnya di depan pintu kapel di Jerman. Ketiga, proses penyebaran yang lambat dan tidak merata dikarenakan factor geografis, sehingga dalam wilayah tertentu lahir bahasa administrative yang lahir dari bangunan Morakhi-Absolute. Seperti seorang Funding-Father Indonesia, Soekarno dulu membayangkan bahwa Indonesia mencapai Thailand, dan beberapa wilayah Campa yang dahulu menurut sejarah pernah dikuasai oleh kerajaan Mataram. Seperti dengan etnis Papua secara biologis mereka sangat minor dibandingkan suku melayu (suku mayoritas) di kebanyakan pulau-pulau Indonesia. Namun mereka justru masuk dalam wilayah Indonesia, secara historis Indonesia adalah bnetukan penjajah colonial yang dahulu disebut Hindia Belanda, bisa dikatakan lahirnya kesadaran nasionalisme Indonesia karena sama-sama merasakan sebuah penjajahan dari bangsa lain. [9]

Kesimpulan

Berangkat dari permasalahan di Timur Tengah seperti apa yang di gamblangkan oleh Huntington dengan teori clash of civilization nya ternyata mendapat sebuah opini pembantahan dari Chomsky. Saya justru melihat teori Huntington adalah sebuah wacana Intelektual dimana meiliki pesan untuk melemahkan sebuah nation-state dan mendorong kearah pemahaman Liberalisme. Pernyataan Soros tidak jauh berbeda dengan cita-cita Liberalisme Amerika, hanya saja teori yang dikembangkannya lebih bersifat oto-kritik terhadap kalangannya. Soros seolah-olah memunculkan diri sebagai pejuang demokrasi yang sangat Humanis demi kepentingan pasar modal. Kritik pedas dari Noam Chomsky adalah salah satu bentuk oposisi dalam negri terhadap pemahaman Liberalisme Amerika. Chomsky justru memandang ini adalah sebuah bentuk hegemony Amerika yang sangat berkepentingan atas kepemilikan sumber daya minya di Timur Tengah, namun logika Huntington digunakan untuk menekan semaksimal mungkin opini-kritis terhadap pemerintahab Bush.

Menurut saya, kegagalan Huntington tidak hanya menjelaskan sebuah fenomena konflik antar etnis akan tetapi juga kondisi kemajemukan di Amerika sendiri. Pertanyaannya adalah bagaimana benturan peradaban itu benar terjadi di Amerika, kalaulah sejarah gerakan protes yang dilakukan oleh Malcom-X yang notabene nya adalah Islam negro dan aksi protes itu diikuti oleh mayoritas warga Amerika. New York sebagai melting pot seharusnya memiliki kapasits untuk menampung dari beraneka ragam suku, etnis, dan agama. Dalam era postmodern, budaya urban terus berkembang dengan adanya sebuah penerimaan terhadap perbedaaan (politic  recognize). Sebenarnya Amerika sebagai Pasar bebas juga membangun semangat atas kelompok-kelompok tertentu yang diikat dalam bentuk kesukaan (hobby) berorientasi terhadap pengemabgan pasar kapilisme. Misalnya, seluruh pemuda didunia merasa dalam kesatuan skateboarder yang di ikat oleh olah raga ekstreme skate board, tokoh seperti Tony Hawk  yang menjadi seorang funding fathers mereka dalam atraksi-atraksi berbahayanya. Sebuah perusahaan clothing Vans, yang selalu mensponsori kegiatan event skate board pernah mengeluarkan sepatu kets yang bertema Oemar Hasan (seorang skateboarder asal Mesir) ini artinya mereka merasa tidak ada batasan dalam kelompoknya.

Dari semua ini, pendekatan ethnic revival Anthony Smith  terlihat sulit memahami kasus Indonesia. Karena bangsa kita sudah menjalankan budaya multikulturalisme dengan beragam etnis didalamnya dan agama yang beragam juga. Seperti permasalahan Konflik Protap, Aceh, dan Ambon dengan pendekatan ethnic revival karena beberapa kategori masuk dalam point penting kedua pendekatan tersebut. Mungkin pendekatan dekonstruksi wacana yang dilakukan oleh Ben Anderson dan Cliford Geertz bisa menjawab permasalahan konflik di Indonesia, pendekatan Post-Marxis menurut saya juga bisa digunakan sebagai alat analisisi yang tajam.  Dalam masa dekonstruksi kemungkinan rekayasa empirisme menjadi sangat mungkin, lahirnya era posmodernisme telah meletakan posisi perkembangan teknologi menjadi sangat penting. Dengan pendekatan Post-Marxis untuk memahami sebuah wacana di balik konflik itu menjadi lebih mengenai sebuah sasaran. Seperti apa yang dikatakan oleh Laclau “naked existence” keberadaan eksisitensi yang telanjang, tinggal saja bagai mana memaknai serta menamakan eksisitensi itu. Dalam sebuah konflik kekinian keberadaan media massa adalah penting, mengingat media massa memiliki control serta kepentingan terhadap konflik itu sendiri.
Bibliography

Anderson, Benedict. Imagine Communities. Insist Press: Yogyakarta, 2002.

Azzelini, Dario & Kanzeleiter, Boris. La Empresa Guerra. Insist Press: Yogyakarta, 2005.

Chomsky, Noam. Hegemony or Survival; America’s Quest for Global Dominance. Penguin Book: London, 2004.

Chomsky, Noam & Achcar, Gilbert. Perilous Power; The Middle East and US Foreign Policy. Penguin Book: London, 2007.

Huntington, Samuel P. Benturan Peradaban. Qalam: Yogyakarta, 2003.

Soros, George. Zaman Kenisbian; Konsekuensi Perang Terhadap Teror. Tempo: Jakarta, 2006.

http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/185


[1] Nur Iman Subono, Perlawanan Kiri Amerika Latin Terhadap Amerika Serikat dalam Era Neoliberalisme, Jurnal Politika Vol. 2, No. 1, Tahun 2006  [Dinamika Politik International Pasca Perang Dingin dan Pristiwa 9/11]
[2] Samuel P. Huntington, Clash of Civilization..
[3] Ibid,.
[4] George Soros, Zaman Kenisbian; Konsekuensi Perang Terhadap Teror. Tempo: Jakarta, 2006. (hal. 116-137)
[5] Noam Chomsky, Hegemony or Survival; America’s Quest for Global Dominance. Penguin Books: London, 2004. (hal. 16-26)
[6] Noam Chomsky and Gilbert Achcar, Perilous Power; The Middle East and US Foreign Policy. Penguin Books: London, 2007. (hal 75-78)
[7] http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/185
[8] Dario Azzelinu & Boris Kanzleiter (ed.), La Empresa Guerra. Insist Press: Yogyakarta, 2005. (hal. 129-143)
[9] Benedict Anderson, Imagine Communities. Insist Press: Yogyakarta, 2002. (hal. 12-40)

No comments:

Post a Comment