Sunday 12 June 2011

KONFLIK PEMBENTUKAN PROPINSI TAPANULI SARAT AKAN KEPENTINGAN ELIT

Pendahuluan

Wacana desentralisasi bukan sebuah kebijakan baru yang memiliki eforia demokrasi dalam kalangan akar rumput (grass root) masyarakat Indonesia. Pada masa Kolonialisme, Hindia-Belanda pada tahun 1922 telah menetapkan sebuah UU pemerintahan yang mengacu kepada bentuk desentralisasi, dengan memeberikan sebuah kekuasaan otonomi administrative cukup besr kepada tiap propinsi. Walaupun di Jawa apa yang dinamakan dengan Politik Etis (ontvoodging) teteap berjalan, yang malah memeaksa untuk membentuk sebuah dewan desa di tingkat kabupaten dalam rangka “pembebasan perwalian” tersebut. Kebijakan seperti ini justru siasat kolonial untuk memebagikan kekuasaan kepada elit local, lantas tetap menjalankan bentuk pemerintahan yang konservativ dan malah menjadi sebuah benteng kuat mengakarnya faham perjuangan Nasionalisme yang tidak membangun masyarakat sipil.
           
Pada masa Revolusi Indonesia colonial tetap memaksakan wacana pembentkan pemerintahan desentralisasi, yang memberikan upaya untuk melemahkan konsolidasi Indonesia di tingkat Nasional dan malah melahirkan para penguasa-penguasa daerahh yang bisa di intervensi oleh kekuasaan colonial. Hal ini terbukti, dengan memilihnya system pemerintahan yang Federal di Indonesia pada tahun 1950, namun konsep federasi di tabukan secara tegas. Akan tetapi dalam praktek dan kenyataannya kekuasaan pemerintah daerah dan komando militer daerah malah memiliki otonomi yang makin kuat, ssebab pemeritahan pusat tidak memiliki sarana untuk melakukan control yang tegas. Akibat adanya tekanan yang cukup kuat dari daerah, maka pemerintahan pusat merumuskan sebuah wacana kebijakan untuk jangka panjang yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.1/1957 tentang desentralisasi pemerintahan provinsi dan daerah (Legge 1961; Malley 1999).Undang-undang itu mengizinkan parlemen provinsi dan kabupaten untuk menunjuk gubernur dan dan bupati mereka sendiri. Untuk pertama kalinya di transfer dari para administrator tunjukan kepada politisi pemenag hasil Pegaramilu, dan langkah ini mengundang seluruh masyarakat untuk berpartisipasi dalam Negara (Anderson 1983). Desentralisasi tidak sempat mengakar karena adanya gerakan pemberontakan yang dilakukan di Sumatera dan Sulawesi untuk mendesak Jakarta, sehingga dilakukan sebuah UU darurat perang (SOB), sehingga meningkatnya eskalasi konflik di tahun 1959, di pertengahan tahun 1959 telah berdiri pemerintahan yang otoriter deangan adanya Dekrit Presiden 1 Juli. Dekrit ini langsung memangkas desentralisasii kekuasaan secara sekejap dengan diberlakukannya Dekrit Presiden No. 6/1959 untuk menggantikan UU No. 1 / 1957 yang telah dihapuskan. Pada masa Orde Baru pusat berusaha memberikan sebuah akuntabilitas yang menghapuskan dikotomi “jawa” dan “Luar jawa”, implementasi sebuah kebijakan yang mengatur pemerintahan daerah adalah pada UU No.5/1974 yang kemudian direfisi menjadi UU No. 5/1979, seolah-olah undang-undang ini memberikan keluasan pada tingkatan daerah. Walaupun sebenarnya para kepala daerah di Indonesia lebih dari setengahnya berasal dari kalangan militer yang sangat berafiliasi pada pemerintahan Orde Baru yang korup dan penuh nepotissme itu.
Pada masa awal Reformasi wacana desentralisasi kembali bergulir dengan cepat ke atas meja-meja sidang peumusan kebijakan. Dengan alasan untuk menekan sebuah proses Demokratisasi yang tlah menjadi sebuah trend politik di beberapa Negara di dunia ini. Seperti apa yang kita pahami bawa sebuah wacana desentralisasi yang di gulirkan pada masa Reformasi adalah sebuah desakan dari World Bank dengan isu demokratisasi, padahal wacana ini adalah sebuah agenda besar dari Neo-Liberal yang kan berorientasi pada pasar dan keberpihakanya yyang penuh terhadap pemilik modal saja. Pasca-Reformasi wacana pembaharuan mualai hadir, dalam pertarungan ini adalah sebuah momentum yang dapat digunakan oleh kelompok pragmatisme untuk memberikan pengaruhnya dalam peralihan kebijakan. Satu hal yang fenomenal pun terjadi di Negara kita, bagaimana Timor-Timur lepas dari NKRI melalui sebuah jalan Referendum. Ini adalah sebuah bukti kongkrit adanya pertarungan wacana yang mendorong dsentrlalisasi kedalam proses disintegrasi.

Lahirnya sebuah kebijakan desentralisasi pada masa Reformasi diwujudkan dalam UU No. 22/1999. Kesepakatan atas UU ini juga juga dipengaruhi oleh sebuah kondisi, dimana para politisi, partai politik, dan instansi lembaga Negara harus dengan segera mengganti “topeng” nya untuk kembali menarik simpatik rakyat. Partai Golkar misalnya yang juga mendorong lahirnya UU No. 22/1999, karena ingin menjaga basis massa yang berada pada kantong pemilihan di luar jawa sehingga dalam parlemen P.Golkar pun ikut memperjuangkan UU desentralisasi itu. Seperti dalam pengakuan Akbar Tanjung dalam The Golkar Way pada masa turbulensi era transisi itu Golkar harus dengan cepat mengambil sikap untuk tetap mempertahankan eksistensinya dalam  dunia perpolitikan Indonesia. Salah satunya dengan menambahkan nama “Partai” yang sebelumnya tidak memakai embel-embel Partai Politik (walaupun pada massa orba Golkar bukan tergolong Papol, namun bisa mengikuti pemilu dan selalu di pastikan menang), juga dengan mendukung beberapa kebijakan yang Populer dengan harapan mendapatkan kembali simpatik rakyat dimasa depan. Namun pada tahun 2004 lahir kembali sebuah kebijakan baru yang juga membahas desentralisasi, UU No. 32/2004 secara landasan filosofis undang-undang ini tidak banyak berubah dari kebijakan awalnya yaitu UU No. 22/1999. UU No. 32/2004 tetap mendorong sebuah desentralisasi sebagai jaminan hokum, hanya saja dalam proses pemekaran sarat-sarat yang di penuhi menjadi lebih detail dan harus melalui jalur birokrasi yang panjang. Lahirnya kebijakan ini didorong oleh Moratorium Presiden pada tahun 2004, karena presiden melihat pemekaran tidak efektif untuk membangun kesejahteraan rakyat malah lebih melahirkan eskalasi konflik baru di tingkat local yang sangat bersifat politis. Moratorium Presiden adalah sebuah bentuk ketidak tegasan lembaga Eksekutif dalam mengambil sikap, Legeslatif melahirkan UU baru tanpa membatalkan UU yang lama dengan alasan beberapa proses pemekaran yang sedang berjalan masih mengunakan landasan hokum PP No. 129 Tahun 2000. Sedangkan secara logika apabila proses pemekaran itu secara serentak diperlakukan dengan UU No. 32/2004, maka semua persaratan akan batal dan harus mengulang dari awal. Dalam Undang-unadang baru, proses dan persaratan jadi semakin ketat. Hal ini bisa dibuktikan dengan munculnya PP No. 78/2007, PP ini mengatur sebuah persyaratan baru untuk pemekaran daerah. Salah satunya yang mengharuskan sebuah daerah yang ingin melakukan pemekaran harus membentuk DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah), dalam proses pembentukan DPOD sudah sangat jelas akan memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang lebih tinggi. Pergeseran undang-undang ini apabila kita cermati adalah sebuah rangkaian kebijakan yang tidak tegas.

Reproduksi dan Distribusi Wacana Protap, Dari Kalangan Media

Alasan yang memotifasi untuk membentuk Propinsi Tapanuli adalah sebuah alas an yang logis, terlebih meiliki landasan hukum yang kuat dengan merujuk pada UU No. 32/2004 (sudah mulai ditetapkan). Namun apakah dengan payung hukum yang kuat maka pembentukan propinsi Tapanuli (Protap) akan berjalan langgeng dan juga  memberikan jaminan kesejahteraan social  rakyat Tapanuli.

Gagasan besar pembentukan Protap dilator belakangi oleh sejarah di masa lalu, pada masa Hindia-Belanda territorial ini dsebut Keresidenan Tapanuli yang menuurt sejarah sebuah wilayah yang sulit untuk dijangkau otoritas pemerintahan Hindia-Belanda. Dalam praktek pembentukan Protap ini, lebih cenderung kearah Identitas politik yang sangat etnisitas dan primordialistik. Terbukti ketika secara perlahan Tapsel mulai di eliminer pengaruhnya dalam kesepakatan di kemudian hari. Dengan melupakan sejarah bahwa tercetusnya Tapanuli di masa colonial juga tidak lepas dari Kota Sidenpuan (Tapsel) yang kemudian dipindahkan ke Kota Sibolga (Tapteng). Logika seperti ini seolah membenarkan bahwa Tapsel tidak memiliki sangkut paut sejarah atas pembentukan Tapanuli.

Seorang GM Pangabean yang menjadi motor dari derakan ini mengunakan pengaruh media cetak nya untuk mereproduksi wacana protap untuk mendapatkan dukungan masyarakat Batak yang berdomisili di Wilayah Tapanuli maupun perantauan di Kota Medan. Dengan harian SIB GM Pangabean terus membangun sentiment agama, sukuisme dan primordialistik. Itu sangat terasa ketika harian SIB sudah mulai membawa nama Tuhan Jesus, dengan kata-kata “Ini adalah perintah Tuhan”. Wacana ini sangat sensitive ditengah keharmonisan masyarakat beragma di Propinsi Sumut. Dalam penyajian berita, maupun artikel beberapa belakangan ini SIB sangat kencang untuk me-wacanakan pembentukan Protap. Potret fenomena seperti ini sangat jelas arahnya, dimana SIB menjadi suar dalam pembentuukan protap ini. Selain membangun sentiment-sentimen negative GM Pangabena juga berusaha menggiring wacana masyarakat Tapanuli Utara untuk menyepakati pergeseran Kota Madya yang pada mula nya  disepakati di Tarutung  kemudia di geser ke Siborong-borong dengan alas an kota bisnis yang berpotensial (secara Siborong-borong tanah kelahiran GM Pangabean), agar lebih melegitimasi pemberitaannya dibumbui dengan statement para petinggi HKBP.

Harian Waspada yang secara latar belakang Ideologis berbeda, selalu meemberikan, sudut pandang yang berbeda dengan pemberitaan SIB. Waspada kita tahu adalah harian yang banyak di baca oleh warga Muslim Sumut, tetapi Waspada tidak membenturkan dengan issue SARA. Pemberitaan Waspada lebih bertitik pada ke tidak siapan Panitia pembentukan Protap, dan lebih sering mengutip statement pejabat daerah yang contra pada issue Protap. Serangan Waspada yang lebih mengacu pada hukum normative terhadap issue Protap, seakan memposisikan pembentukan protap adalah sebuah proses hukum yang cacat atau rancu dan sangat rentan dengan kepentingan bisnis. Seperti halnya sorotan Waspada dalam liputan demonstrasi yang mengatasnamakan Masyarakat STPDN (Sibolga, Tapteng, Dairi, dan Nias) dan penarikan beberapa anggota DPRD Sumut yang tarik diri dari Panitia Pembentukan Protap. Wacana ini menguatkan bahwa tarikan dukungan dari beberapa wilayah tadi semakin melemahkan posisi tawar pembentukan Protap. Terlebih belakangan, pasca tewas nya Alm. Aziz Angkat dalam insiden menjadi head line news dan hot issues.
Pertarungan Elit Lokal Sumatera Utara

GM Panggabean cs jelas memposisikan diri dalam elit Tapauli yang memeperjuangkan pembentukan Protap. Maka wajar apabila Panggabean group dengan sepenuh kemampuannya untuk memperjuangkan pemebentukan Protap ini, karena imbalan kekuasaan dan peluang bisnis yang bisa dikelola oleh keluarga Panggabean. Apabila kita mulai menganalisis dari pemberitaan yang disiarkan oleh SIB, itu sangat jelas bahwa GM Panggabean memang ngotot untuk mendesak atas pemebentukan propinsi baru Tapanuli. Motivasi nya juga mulai terbaca oleh masyarakat Sumut, bagaimana gerkan protap ini mulai meng-eliminer Tapsel (yang notabene nya mayoritas Muslim) karena kemungkinan dalam proses pemerintahannya nanti apabila Protap ini sukses akan menjadi duri dalam semat bagi GM Panggabean cs. Setelah itu dia juga menggiring opini masyarakat Batak Toba untuk terus mempropagandakan perjuangan protap atas nama Tuhan, dan sepakat untuk menetapkan Kota nya di Siborong-borong.

Sosok GM memang seseorang yang perlu diperhitungkan dalam perpolitikan local Sumatera Utara. Track record sebelum GM memberi dukungan pada PPRN dia adalah politisi yang lahir dari Partai Golkar. Alasan dia keluar dari P.Golkar sangat jelas karena dia memperjuangkan pembentukan protap yang tidak mendapatkan dukungan dari Golkar itu sendiri. Dia juga memiliki kedekatan dengan DL Sitorus yang belakangan mulai meberikan bantuan dana kampanye PPRN di Sumut. Kedua fakta itu bisa menguatkan bahwa posisi GM sebagai motor utama. Keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Syamsul Arifin seakan semakin memperkuat jalanya proses pembentukan Propinsi Tapanuli, dengan mengeluarkan  keputusan No.130/3422.K tahun 2008 tentang persetujuan pembentukan Propinsi Tapanuli, pemberian bantuan, penyelengaraan pemerintahan, penetapan calon lokasi ibukota Propinsi Tapanuli dan cakupan kota/kabupaten Propinsi Tapanuli, tanggal 26 September 2008.

Dilain sisi seorang yang paling vocal dalam pembentukan Protap adalah H. Raden M Syafei (Romo). Dalam pernyataanya paripurna masalah Protap tidak perlu dilakukan karena sudah tidak memiliki landasan Yuridis. Menrutnya masalah Protap ini sudah batal secara hukum, keputusan No. 130/3422.K yang dikeluarkan oleh Syamsul Arifin akan gugur. Karena harus berlandasankan PP No. 78 tahun 2008, yang mengharuskan adanya tim study kelayakan secara Independent baru Gubernur bisa merekomendasi. Selain itu menurut Romo, tim Pansus Protap sudah pernah dibuat akan tetapi masih mengacu pada UU No. 129/1999 yang mengikutsertakan 7 Kabupaten Kota; Taput, Humbahas, Samosir, Tobasa, Nisel, Tapteng dan Sibolga. Namun sekarang hanya didukun oleh 4 Kabupaten Kota karena Tobasa, Nisel, Tapteng dan Sibolga sudah mulai menarik diri. Penarikan dukungan juga terjadi dalam Panmus yang hanya dihadiri oleh 9 anggota DPRD, itu pun hanya satu orang yang mewakili dari Pro-Protap yaitu Rinawati br Sianturi dari Fraksi PDS. Sikap penolakan yang keras juga keluar dari pernyataan Hasbullah selaku Wakil Ketua DPRD Sumut dalam sidang pansus beradu saraf dengan pendukung Protap, yang membuat suasana memanas. Yang akhirnya Alm. Aziz Angkat menetapkan akan diadakan sidang Paripurna pada tanggal 4 February 2009, untuk mengesahkan pembentukan Propinsi baru Tapanuli. Keputusan ini juga hasil dari desakan anggota dewan yang sudah membangun sentiment-sentimen negative dalam ruang sidang itu.

Tewasnya Alm. Aziz Angkat (Ketua DPRD Sumut) menjadi korban dalam insiden 3 February 2009, menurut saya adalah Grand design politik local Sumatera Utara. Karena insiden ini apabila tidak cepat diatasi akan merebak menjadi konflik SARA, yang sangat rentan dalam kehidupan Pluralisme sperti di Sumut ini. Hal ini bisa dibuktikan, pasca insiden 3 February itu Anwar Shah (Ketua Umum PP Sumut) ato biasa dikenal Aweng mengkomandokan untuk mencari semua orang yang terpotret dalam kamera wartawan Waspada pada hari kejadian, juga Satma PP mengelar Demonstrasi di Bundaran SIB yang hamper melakukan tindakan anarkis. Juga menurut informasi kawan-kawan HmI Cabang Medan pasca insiden para pengurus menerima telfon untuk tidak melakukan sebuah aksi (karena mengingat Alm. Juga alumni dari HmI Cabang Medan). Peredaman issue ini adalah salah satu strategi Negara untuk menstabilkan kondisi yang mulai memanas. Karena pada tanggal 4 February kantor BAPILLU PPRN di simpang Polonia ketat di jaga oleh Polisi. Para provokator mulai memanaskan lewat SMS gelap yang sudah berbau SARA, dan mulai mengatas namakan agama.

Dugaan-dugaan Politik Lokal Sumatera Utara atas Konflik Protap

Asumsi ini tetap mengacu pada pembacaan saya terhadap politik local Sumatera Utara, sejauh data dan analisa yang saya miliki. Saya yakin ini adalah sebuah Grand Design Politik di Sumut, mengapa? Karena tewasnya Alm. Aziz dalam insiden 3  February merujuk pada dua kemungkinan, menjadi “terkorbankan” ? atau malah sengaja “dikorbankan”. Apabila insiden berdarah itu dalam konteks “terkorbankan” artinya tewasnya Alm. Aziz adalah sebuah kejadian di luar prosedur dari Demonstrasi Protap 3/2. Alsan ini boleh jadi benar, berangkat dari asumsi; mereka tahu apabila trjadi hal diluar prosedur maka perjuangan mereka selama ini akan sia-sia saja, dan para penggagas nya akan terjerat pasal-pasal hukum. Dan ini sebuah alasan yang logis bagi mereka untuk menghindari jatuhnya korban.

Asumsi saya justru insiden 3 February itu lebih dalam konteks “dikorbankan” (ada kemungkinan kelompok pro-Protap sendiri tidak menghetauinya kalau gerkannya sudah di bonceng) , artinya tewasnya Alm. Aziz adalah korban politik yang biasa terjadi dalam dunia perpolitikan. Terdengar sangat sinis memang, akan tetapi saya bisa memberikan sebuah alsan dari pernyataan saya ini. Sebelum kita membahas politik praktis di Sumut, saya akan mengedepankan beberapa issue penting yang bisa dimainkan dan melahirkan konflik protap ini;

  • Issue keamanan dan ketidak tegasan Lembaga Eksekutif, ketidak tegasan Pemerintahan SBY dalam Pidato Moratorium nya malah melahirkan UU baru. Sikap tidak tegas dan kekacauan dibidang keamanan ini bisa digunakan oleh lawan politik SBY untuk memberi serangan menjelang pemilu atau sebagai posisi tawar yang kuat.
  • Issue local, upaya menjatuhkan Pemerintahan Syamsul Arifin karena dia belum memulai mengerjakan janji-janji politik nya.

Diantara beberapa issue yang saya kedepankan ini, ada kemungkinan dari salah satunya memiliki korelasi dan pengaruh yang sangat kuat, terhadap terjadinya insiden 3 February.


Issue keamanan Nasional, menjadi sebuah kajian prioritas dalam bidang pertahanan mejelang PEMILU. Pemerintah harus bekerja ekstra untuk menjaga keaman Negara, stabilitas keaman juga memberikan  koreksi penilaian terhadap sebuah pemerintahan. Karena apabila konflik Protap ini tidak bisa deredam oleh pemerintah, maka secara otomatis pemerintahan akan goyang, dan focus menjelang pemilu menjadi buyar karena harus membenahi konflik etnisitas dan agama di Sumut. Mungkin para arsitektur politik melihat peluang dengan adanya wacana protap dan membonceng kepentingan elite pusat. Celah ini juga dikarenakan ketidak tegasan eksekutif, ketidak tegasan itu juga sangat beralasan menurut saya. Wacana desentraalisasi adalah sebuah wacana yang yang popular di mata Legeslatif, sehingga apabila eksekutif mengambil langkah ekstrem (tidak popular) pasca pidato moratorium maka posisi eksekutif di mata legeslatif akan terancam. Posisi tersudut eksekutif ini, adalah sebuah celah untuk lawan politik nya. Kita tahu JK juga memiliki ambisi untuk bertarung dalam Pemilu 2009. JK akan menekan SBY lewat legeslatif karena P.Golkar menguasai parlement. Hal ini akan menjadi sebuahh serangan bagi SBY, dan nantinya akan membentuk sebuah opini public untuk mengembosi suara pendukung SBY di 2009 (kita juga tahu media massa dikuasai oleh Surya Paloh, jadi sangat mungkin untuk melakukan hal itu). Apabilla strategi ini masih sangat tumpul untuk menyerang SBY, paling tidak sikap ini bisa menjadi modal politik nya di kemudian hari.

Issue local yang tidak kalah menarik juga harus saya paparkan, karena disinyalir  memiliki kaitan dengan issue Nasional. Terpilihnya Syamsul Arifin menjadi Gubernur Sumut memang tidak terlepas dari sosok nya yang Low Profile, janji politik nya dan dukungan PKS, karena Gatot Pujo Nugroho sebagai wakilnya. Tapi haruskah kita terlena dengan kesederhanaan nya itu yang tidak lebih sebagai topeng busuk seorang politikus preman. Pasca pelantikan nya sebagai Gubernur Sumut sampai hari ini belum ada realisasi janji politiknya yang dilakukan secara kongkrit. PKS pun sudah mulai mengevaluasi pemerintahan nya di Sumut, dan PKS sudah mulai meninggalkan Syamsul. Terlebih lagi pasca dipangilnya Syamsul oleh TPF DPR, terlebih angota dalam TPF DPRD itu ada H. Raden M Syafei yang notabene nya adalah lawan politik nya yang juga penah bertarung dalam Pilgubsu. Proses ini akan menjadi salah satu sarana untuk menyerang Syamsul yang memang ada kemungkinan terlibat dalam deal politik dengan kelompok pro-Protap. Pangilan ini juga menyudutkan posisi Gatot apabila dia tidak memberikan statement bahwa dia tidak terlibat dalam persekongkolan itu, sebagai kader PKS dia menjadi acuan koreksi kinerja partai. Sampai sebuah titiik tertentu partai akan rasional terhadap sikapnya, dan Gatot akan diberikan pilihan-pilihan politik. Ada kemungkinan Syamsul menerima ‘paket’ atau deal politik pada masa Pilgubsu dari GM untuk menandatangani SK itu, dalam posisi tersudut seperti ini Syamsul tidak memiliki rumah (partai politik) untuk berlindung dari lawannya. Maka dari itu dia berusaha meminta perlindungan dari SBY, seperti kita tahu Syamsul memiliki kedekatan yang khas dengan SBY dibanding Gubernur yang lain (termasuk kedekatanya dengan Purnawirawan TNI) mungkin dia menjanjikan estimasi suara dari Sumut untuk dukungan SBY. Disisi yang lain Romo tetap bersikeras untuk menyelesaikan kasus ini lewat jalur hukum, Romo juga memiliki dukungan dari Akbar T (karena pada tgl 5, Romo melakukan percakapan serius dengan Akbar T di Rumah nya). Apabila terbukti Syamsul terlibat dan memiliki hubungan ke SBY, maka Syamsul akan jatuh tahta dan Golkar menyerang SBY dengan opini public. Setelah itu Golkar akan mendapatkan posisi tawar nya terhadap PKS, karena posisi Gatot juga menjadi juru kunci yang menentukan.

Kesimpulan

Dalam beberpa kajian kelayakan tentang Otonomi Daerah, Bapenas yang berkerja sama dengan UNDP melaporkan bahwa Otda ini tidak efektif untuk tetap diteruskan. Berdasarkan 26 kabupat kota; 10 kabupaten induk, 10 kabupaten pemekaran, dan 6 kabupaten konterol, dari study ini menunjukkan bawa ketergantungan fiscal pada pusat dan optimalisasi laju gerak ekonomi tidak berjalan dengan maksimal. Secara teorits para daerah pemekaran baru hanya ingin mendapatkan DAU (Danan Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus).  Apabila paradigma seperti ini yang tetap dipertahankan maka, ini adalah sebuah cara untuk memiskinkan Negara demi kepentingan segelintir orang saja. Dalam kasus Tapanuli usdah pernah diadakan studi tentang kelayakan, dan hasilnya Negatif untuk membentuk propinsi sendiri. Selain alasan daerah ini tidak memiliki sumberdaya alam yang cukup untuk modal nya, alasan etnisitas dan agama juga menjadi pertimbangan penilaian itu. Laporan yang dipublikasiskan pada February 2008 oleh FGD, hasil itu mengatakan bahwa otda di Indonesia masih jauh mencapai keefektifan dari yang dibayangkan. Dengan memahami beberpa rangkaian pristiwa sebelumnya proses pembentukan ini sangat sarat dengan kepentingan elit local maupun pusat. Konflik protap sudah jelas bukalah sebuah kesalahan masyarakat dalam memperrjuangkan hak-hak politik nya, akan tetapi lebih kepada perjuangan para elit local mapun pusat yang menjual dengan issue etnis dan agama. Banyak para pngamat dan lembaga kajian Independent menyatkan bahwa proses pemekaran di Indonesia hanyalah mendorong terlahirnya kembali raja-raja kecil pada tigkat daerah. Pernyataan ini ada benarnya nya juga, dalam kasus Protap kita sudah bisa membaca apabila ini lolos dan lahir menjadi propinsi baru maka yang ada disanan adalah hegemonic kekuasaan Panggabean cs (semua instansi daeraha akan dikuasai berdasarkan marga atau kedekatan). Sebuah impian yang mendorong demokratisasi pada akhirnya tidak terealisasi, yang ada justru munculnya oligarkis daerah yang lebih mengedepankan kepentingan golongnnya saja. Biaya yang telah banyak dikeluarkan dalam rangka “mengongkosi” proses demokratisasi di Indonesia, menjadi tidak berarti dan lenyap begitu saja demi kepentingan para elit-elit.

Dalam kacamata teori elit yang dikembangkan oleh Mosca dan Pareto, dalam sebuah pemerintahan hanya dikendalikan oleh sekelompok kecil elit yang berkuasa maupun tidak. Maka dari itu sebuah kebijakan dan peraturan yang dibuat dan diberlakukan sesungguhnya lebih cenderung untuk kepentingan elit itu sendiri. Hal ini memang terjadi dalam kasus Protap, bagaimana GM ngotot untuk meloloskan Tapanuli yang 4 kabupatn kota itu menjadi propinsi baru, lantas kepentingan atau deal politik yang bisa di nikmati oleh Syamsul, dijadikan momentum untuk menyerang secara politis oleh para elit politik Sumut. Pertarungan elit sangat kental, sehingga apa yang disebut dengan ‘Kepentingan rakyat’ sangat minim dan hampir dibilang tidak ada. Pergeseran UU No. 22/1999 ke UU No. 32/2004, hanya mengeser sebuah patron yang bisa digandeng oleh elit local demi memuluskan jalannya pembentukan propinsi baru. Yang pada UU No. 22, patron lebih di tujukan kepada legeslatif daerah karena dalam penggodokan sidang hasil untuk mendapatkan legal formal hukum bisa didapatkan maka sebuah propinsi baru sudah sah dibentuk. Namun pada UU No. 32, patron nya bergeser ke Elit cultural (pemangku adat, petinggi agama, tokoh pemuda) dan para intelektual (akademisi). Hal ini terjadi karena proses pembentukan propinsi baru harus melewati tahap yang lebih ketat, dan du golongan itu bisa membantu para elit local untuk memuaskan kepentingan dan hasratnya berkuasa. 

No comments:

Post a Comment