Sunday 12 June 2011

Social Contract Vs Discourse: Perdebatan Filsafat Politik Kontemporer, Menuju Masyarakat ber-Keadilan Sosial

Pendahuluan

Dimasa sekarang perdebatan akan sebuah hal yang menyangkut nilai-nilai humanisme terus berjalan, terserah dengan akar filsafat manapun gerak pemikiran ini tetap berdiri atas nama kemanusiaan. Penggalian atas nilai itu tidak pernah berheti walaupun terkadang terbentur oleh “oposisi-biner” yang paradigmatic, artinya perdebatan ini tetap akan ada secara alamiah (naturally). Era kontemporer,menjadi sebuah fase tersendiri atas klaim pemikiran yang telah melampaui masa klasik, dimana ada arena saling memiliki dua ekstrim pemikiran; Liberal dan Sosialis (Marxis). Seiring berjalannya zaman, aras pemikiran ini mulai mencari titik temu (equilibrium) karena kritik maupun oto-kritik yang ada menjadi rekomendasi ide untuk melakukan rekonstruksi teori yang situasional. Dialektis pemikiran ini dilakuakan untuk mencari sebuah nilai yang ideal (idée) dan relevan (praxis) terhadap sistem masyarakat.[1]

Dalam tulisan ini kita akan kembali mendiskusikan apa yang menjadi ekstrim pemikiran hari ini, terlepas dari manifestasi ideology yang di pahami secara ortodoks. Kita memang tidak bisa menafikan adanya sebuah nilai “ideologis” dibalik penghetauan itu sendiri (namun itu bukan menjadi pembahasan utama). Perdebatan antara kelompok Liberal-Kapitalis dengan Sosialis-Marxis, menjadi hipotesa untuk memahami perkembangan masyarakat dengan korelasi teoritiknya. Secara histories Marxisme lahir dalam sebuah kondisi masyarakat eropa yang sangat mengenaskan pada tahun 1840’an (hungry forties) akibat dari gagal nya sebuah masyarakat industri. Sehingga pemikiran ini berkembang dan berpihak kepada kepentingan kaum proletar untuk menuju masyarakat  Sosialistik. Disisi lain tuduhan akan filsafat Liberalisme mengungkapkan bahwa, sebuah sistem masyarakat yang ideal adalah dengan memberikan kebebasan ekpresi (Individual Liberty) sehingga semuanya akan berjalan dengan baik. Mereka beranggapan bahwa akar dari budaya masyarakat eropa adalah Liberalisme, dengan mengacu kepada pemikiran John Lock tentang kontrak sosial (Social Contract) yang lebih dulu ter-manifestasi dalam budaya masyarakat eropa. Perdebatan ini terus krusial dalam perspektif kepemilikan. Di era modern terjadi banyak pergolakan pemikiran sehingga melahirkan alternative ide, yang mulai masuk dalam domain pengembangan teoritik. Seorang seperti John Rawls, yang melakukan gebrakan baru terhadap tradisi kontraktarian John Lock. Dan Jurgen Habermas misalnya, dalam tradisi filsafat kritis yang dilahirkan dan dikembangkan dalam tradisi Gramscian, kemudian Habermas banyak belajar dari Karl Popper. Dua bentuk pemikiran antara Rawls dan Habermas, akan menjadi titik tekan dalam pembahasan kita kali ini. Tulisan ini mencoba melihat hubungan mutualisme untuk mencari titik temu, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya kotradiksi nilai terhadap teori-teori ini.

Teori Keadilan dan Kontrak Sosial; John Rawls

Filsafat yang ditulis selama dua puluh tahun belakangan ini, menitik kan terhadap beberapa pertanyaan besar dan mendasar. Ada sebagian orang yang dengan kaca mata kuda tetap membela utilitarianism. Namun, sebagiannya lain nya sudah mulai menjauh dari nilai lama ‘sebuah kepercayaan yang diterima dalam bentuk utilitarianisme, seandainya kita menerima sebuah bentuk yang benar, pasti menangkap esensi moralitas politk, dan sebagian besar filsuf kontemporer berharap menemukan sebuah alternative yang sistematis berkenaan dengan utilitarian (Hart, 1979: 77). Ada bebrapa orang yang sudah menulis tentang utilitarian yang bertentagan dengan intuisi. Tetapi Rawls memulai bukunya dengan keluhan bahwa teori politik sudah mulai terjebak dengan dua ekstrim; satu pihak dengan utilitarian, dan pihak lain dengan penggabungan atas gagasan dan prinsip yang tidak koheren. Rawls menyebutnya dengan intuisionisme, pendekatan ini merupakan sebuah rangkaian intuisi dalam pembahasan isu tertentu. Intuisi alternative terhadap utilitarian, meskipun analogi nya adalah anti-utilitarian namun kita mampu membuat ituisi ini masuk akal untuk melahirkan teori altrnativ. Kita ingin menjelaskan mengapa contoh-contoh khusus ini tdak kit setujui. Tetapi intuisionisme tidak sampai melewati dan dibawah, ituisi-intuisi awal untuk menunjukan hubunganya atau menyediakan prinsip yang mendasari dan memberikan struktur terhadap nya (Kymlicka, 1990: 68). Pendekatan intuisionis ini, entah dalam level moral khusus atau prinsip universal, bukan hanya secara teoritis tidak memuaskan, tetapi juga tidak membantu dalam masalah-masalah praktis. Sebab pendekatan ini  tidak dapat menjelaskan kapan aturan moral secara khusus dan yang tidak dapat disederhanakan ini bertentangan satu sama lain. Justru ketika nilai ini saling bertentangan satu sama lain, kita berharap teori alternative ini mampu menjawab secara sistematis (Kymlicka, 2004: 67).

Teori Rawls mulai banyak dibicarakan dalam karya A Theory of Justice, sebuah metode berfikir untuk mempelajari dan menghasilakan keadilan itu sendiri. Dia menyebut project ini untuk mewujudkan sebuah keadilan yang didefenisiskan dalam fairness. Teori ini dikembangkan melalui pendekatan kontrak sosial (John Locke) dimana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih sebagai pegangan bersama yang dihasilkan dari kesepakatan (consensus) bersama berdasarkan dari semua person yang bebas, rasional, dan sederajat. Melalui pendekatan kontrak inilah sebuah teori keadilan mampu menjalankan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Apa itu keadilan yang fairness? Terus menjadi pertanyaan Rawls, karena menurut Rawls sebuah masyarakat yang baik mereperesentasikan sebuah lembaga kerja sama sosial yang masing-masing pihak berusaha menyumbang dan memajukan.

Perbedaan teori Rawls dengan pengikut kontraktarian yang lain nya adalah, sebuah penemuan posisi asali (origin position). Origin position adalah sebuah landasan dasar dari teori Rawls, untuk mencapai sebuah keadilan (fairness), Rawls meletakkan person moral dalam posisi asali. Untuk memahami posisi asali, ada dua catatan penting yang menyangkut lahirnya teori ini. Pertama, posisi asali harus dipahami sebagai sebuah prasarat utama untuk terwujudnya sebuah jaminan keadilan sebagai fairness. Dia juga tidak memungkiri bahwa ini adalah bukan sebuah situasi yang riil dalam masyarakat, melaikan sebuah kondisi awal hipotesis. Bagi Rawls kondisi awal hipotesis ini harus diterima sebagai jalan menuju keadilan procedural yang bisa dicapai. Artinya, meskipun bersifat hipotesis , sebagai sebuah prasyarat sudah memenuhi untuk menjamin semua pihak. Konsep ini memang meiliki kemiripan dengan kontraktarian yang lainnya, namun Rawls lebih menegaskan prinsip-prinsip keadilan dari sebuah posisi persamaan;

Posisi asali persamaan mirip dengan keadaan alamiah dalam teori kontrak sosial tradisional. Posisi asali, tentu saja, tidak dianggap sebagai keadaan alamiah histories sesungguhnya , dan tentu saja bukan sebuah kondisi primitive kebudayaan.  Ia dipahami sebagai sebuah situasi yang tergolong murni hipotesis sehingga mengarah kepada konsepsi keadilan tertentu (Rawls, 1971; 12).

Kedua, karena sifatnya kondisi awal yang tidak memihak, maka semua orang yang ikut berpartisipasi didalam proses perumusan konsep keadilan ini harus benar-benar masuk kedalam situasi yang ideal. Walaupun sebanarnya Rawls juga percaya bahawa sebenarnya tidak semua orang dapat masuk kedalam posisi asali. Hanya individu tertentu yang dapat masuk pada situasi awal hipotesis, karena memiliki kemampuan bernalar sesuai dengan tuntutan-tuntutan formal (formal constrains) yang secara umum telah diterima dalam prasyarat kesahihan ilmu penghetauan. Kodisi awal ini bukan sebuah situasi actual yang sungguh-sungguh ada dimana semua orang mampu masuk kedalamnya;

Posisi asali tidak boleh boleh dimengerti sebagai suatu pertemuan umum pada suatu saat tertentu dan yang dihadiri oleh orang-orang yang hidup pada masa tertentu, atau dalam cara yang lebih lunak;…[Posisi Asali] bukanlah perkumpulan orang-orang yang ada atau mungkin ada. …adalah penting bahwa posisi asali dimengerti sedemikian rupa sehingga seseorang kapan saja menjadikannya sebagai perspektif (Rawls, 1971; 139)

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa posisi asali lebih bersifat sebagai sebuah situasi ideal yang harus menjadi acuan bagi setiap orang yang terlibat dalam sebuah proses deliberalisasi daripada situasi actual yang bisa direpresentasikan secara utuh. Dalam pengertian itu posisi asali boleh disebut sebagai sebuah sikap yang memungkinkan berlangsungnya sebuah deliberalisasi yang  fair. Pada prinsipnya semua orang mempunyai peluang untuk masuk dalam kondisi ini, dalam prakteknya hanya mereka yang memenuhi criteria rasional, kebebasan dan persamaan, yang kemudian disebut bisa masuk dalam posisi asali.[2]

Posisi asali merupakan instrument of representation yaitu sebuah representasi dari semua pihak  yang sepakat untuk mencapai keadilan. Untuk menjamin kemurnian dari prosedur dan fairness, maka dalam kesepakatan tidak boleh ada pengaruh individu atau kelompok. Posisi asali lebih kepada posisi hipotesis atau non-histories yang meletakakn semua pihak pada the veil of ignorance (tabir ketidaktahuan). Rawls sebenarnya juga sadar bahwa ketidak tahuan yang absolute tidak akan mungkin ada, karena setiap individu pasti memiliki sebuah penghetauan bahkan tidak akan mungkin sebuah keadilan hadir tanpa sebuah penghetauan (knowledge). Namun ketidak tahuan yang particular menjadi kunci sarat menuju keadilan sebagai fairness. Penghetauan umum akan tetap diperlukan dalam rangka menggiring penghetauan itu kedalam pembicaraan tuntutan formal, yang mampu mencakup dari semua pihak yang terlibat. Dalam hal ini, tidak lepas dari sebuah konsep “otonomi rasional” (The Rational) dengan “otonomi penuh” (The Reasoneble), yang merupakan dua aspek fundamental namun harus dibedakan dengan tegas.

Otonomi rasional terjadi dalam prosedur murni (alamiah), artinya ini menyangkut kepada persoalan moralitas individu dan rasionalitasnya atas prinsip keadilan melalui sebuah prosedur yang telah disepakati oleh semua pihak dengan landasan yang fair. Untuk itu semua pihak harus diandalkan bebas dari rasa-iri, sehingga setiap individu tetap mendapatkan hasilnya sejauh ada jaminan dari prosedur yang diyakini bersama. Setiap person moral tidak boleh menilai ketidak samaan dalam bnetuk ketidak adilan, ini bisa terjadi apabila rasa-iri tetap ada dalam internalisasi nilai person moral. Dengan otonomi rasional membuat individu memperjuangkan apa yang dianggapnya baik selama prosedur itu masih diyakini nya.

Otonomi penuh akan lahir ketika prinsip-prinsip keadilan itu mulai menjadi bagian yang integral terhadap kebudayaan masyarakat yang tertata dengan baik. Maka dari itu pertanyaan nya adalah bagaimana melahirkan otonomi penuh dalam kondisi posisi asali didalam masyarakat yang tertata dengan baik. Rawls membayangkan bahwa sebuah otonimi penuh akan hadir ketika terjadi deliberalisasi sehingga setiap person saling mendengarkan dan mempertimbangkan. Dengan melakukan persamaan dalam menuntut perlakuan dan hak yang sama, sehingga dalam proses pengambilan keputusan dapat berdampak positif terhadap kepntingan semua ppihak. Konsep ini sangat penting karena akan terus berjalan sesuai dengan procedural nantinya (dengan acuan kesepaatan).[3]

Rawls menurunkan prinsip keadilan berdasarkan pengembangan nya dari posisi asali. Teori keadilan Rawls pada intinya terkristalisasi pada rumusan yang disebutnya prinsip  pertama keadilan, bertolak dari konsep keadilan yang sangat umum. Dalam teori nya hal-hal ini dinamakan ‘barang-barang utama’ (primary goods), dan membagi nya menjadi dua bagian;
  1. barang-barang utama sosial (social primary goods) – yaitu barang yang didistribusikan secara langsung oleh lembaga-lembaga sosial, seperti pendapatan dan kekayaan, kesmpatan, kekuasaan, hak, kebebasan.
  2. barang-barang utama alamiah (natural primary goods) – yaitu barang yang seperti kesehatan, kecerdasan, kekuatan, imajinasi, dan bakat-bakat alamiah, yang dipengaruhi oleh lembaga-lembaga sosial, tetapi tidak didistribusikan langsung oleh lembaga sosial itu.

Dalam memilih prinsip keadilan, orang dibalik selubung ketidaktahuan (a veil of ignorance) mencoba meyakinkan bahwa merelka mendapatkan akses terbaik pada barang-barang utama yang didistribusikan oleh lembaga-lembaga sosial itu. Ini tidak berarti bahwa egoisme melandasi pengertian kit tentang keadilan. Karena tidak ada seorang pun tahu posisi apa yang akan kita tempati, meminta orang memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri berakibat sama dengan meminta mereka memutuskan apa yang terbaik bagi semua orang yang secara imparsial dipertimbangkan (Kymlicka, 2004; 86).

Logika Diskursus Moralitas dan Legitimasi; Jurgen Habermas

Jurgen Habermas seorang pemikir Jerman dalam tradisi berfikir Marxian (critic theory) yang paling berpengaruh dewasa ini. Menggantikan posisi Theodor Adorno yang sempat direbut Karl Popper, Habermas menjadi seorang tokoh yang  positivismusstreit (menolak filsafat positivisme) yang mendominasi filsafat dan sosiologi Jerman di tahun 1960’an. Lewat kritik nya yang detail dan penuh kehati-hatian terhadap epistemology serta metodologi positivis – suatu pemikiran nondogmatis yang berakar pada penghetauan mendalam tradisi filosofis dan sosiologis Jerman- Habermas menyumbangkan kontribusi rang abadi terhadap merembesnya kritik empirisme Anglo-Amerika kedalam Khazanah pemikiran Jerman. Dengan membawa Kant, Fichte dan Hegel berhadapan dengan Wittgeinstein, Popper dengan Pierce, dan akrab dengan semua sabda-sabda Marx, Dilthey dan Freud, dan disisi lain Dewey, Mead dan Parsons, sudah cukup menjadi landasan dikukuhkannya Habermas sebagai seorang intelektual yang terkemuka. Singkatnya Habermas telah membuktikan dirinya sebagai intelektula yang memiliki minat luas dan kemampuan yang mengagumkan. Dia berhasil merumuskan dan mengembangkan perspektif secara tunggal, namun sistematik yang didalam nya merangkul semua ilmu penghetauan (McCharty, 1982).[4]

Pemikiran filsafat Habermas secara garis besar, diskursif dapat dipahami ketika sebuah norma sosial yang ada sudah tidak lagi relevan atas kondisi realitas sosial maka mulai timbul lah pertanyaan pertanyaan kritis. Karena setiap actor sosial memiliki “nalar” yang di input dari klaim validitas – atas sebuah pencarian sehingga memiliki sebuah penjastifikasian klaim kebenaran (truth claims) – yang dilatar belakangi oleh sebuah institusi dalam kebudayaan nya (bildung)[5]. Dibalik sebuah klaim kebenaran ini ada sebuah proses kerja yaitu speech act, komponen performatif nya sangat normative karena ada dugaan memiliki sebuah relasi sinergis yang mapan atau justru saling bertolak dengan institusi fundamentalnya. Penemuan dalam interaksi sosial, speech act dapat ditemukan dalam menunjukan norma-norma yang relevan, dengan mengklarifikasi kesalah pahaman yang terkait dengan konvensi yang berlaku, singkatnya, menyediakan justifikasi bagi setiap orang didalam kerangka kerja normative yang mapan. Jika terjai ganguan, jika legitimasi norma yang dipegang dipertanyakan, kita dihadapkan dengan alternative  pemutusan tali komunikasi, berpindah berbagai bentuk interaksi strategis, atau berusaha untuk melanjutkan interaksi berdasarkan basis konsensual dengan cara masuk kedalam suatu diskusi kritis agar dapat pada persetujuan rasional (McCharty, 2008: 401).[6] Perdebatan akan sebuah rasionalitas dengan Peter Winch, Habermas menjawab nya berdasarkan klaim validitas. Rasionalitas yang dimaksud, keinginan secara diskursif menekakan segala sesuatu dengan cara nya. Berdasarkan klaim validitas itu, sebuah standar rasional kehidupan sangat terikat dalam praktek tradisional secara dasar, masalah sesungguhnya justru bersifat praktis daripada teoritis. Masalah ini memandang bentuk kehidupan yang berbeda sebagai cara lain dalam memenuhi “ruang etis” yang ditandai oleh unversalitas eksistensi manusia. Dalam kasus diskursus, tidak  ada kendala yang dijadikan syarat inheren dalam struktur komunikasi – dan factor yang menjelaskan hasil yang “kontingen” karena ada factor –ekstra argumentative- secara formal dapat ditentukan berdasarkan kebebasan bergerak dari satu level diskursus ke level diskursus yang lain.

Yang dimaksud Habermas dengan “etika komunikatif” didasarkan pada “noma-norma dasar wicara rasional.” Komunikasi yang diarahkan demi mencapai pemahaman niscaya melibakan pengungkapan dan pengakuan timbal balik tentang validitas klaim. Klaim atas kebenaran dan ketepatan, jika ditentang secara radikal, hanya dapat diberi kata putus melalui diskursus argumentative yang menuju consensus yang bermotifkan rasional. Analisis pragmatika universal tentang syarat-syarat diskursus dan consensus rasional menunjukan bahwa syarat-syarat ini didasarkan pada pengandaian adanya “situasi tutur ideal” yang ditandai oleh kesempatan yang sama untuk berperan akan dialog. Sangkaan yang mesti muncul ini adalah suatu “ilusi” yang justru membentuk makna argumentative rasional; ketika melakukannya kita merancang suatu bentuk kehidupan yang ditandai intersubjektvitas “murni” (tnpa kendala dan tanpa distorsi). Dengan demikian, menurut pragmatika universal, syarat-syarat dimungkinkannya norma tindakan atau evaluasi dapat dijustifikasi secara rasional sudah sedari awal berkarakter normative. Pencarian prinsip-prnsip dasar moral mestinya dimulai dengan refleksi, karena prinsip-prinsip ini dibangun menyatu dengan struktur diskursus praktis (McCharty, 2008; 418).[7]

Bagi sebagian orang orang konsep ini masih terlihat abstrak, bahkan sudah masuk dalam level teoritis “Foundation of the Metaphysic of Morals”-nya Kant. Mungkin ada beberapa kemiripan diantara keduanya, namun ini juga menjadi landasan Habermas dalam mengkritik “prinsip tertinggi moralitas” dalam etika Kantian. Kritik Habermas, menegaskan bahwa kerasionalan dan keuniversalan maksim tindakan tidak dapat diputuskan secara monologis- didalam horizon kesadaran moral yang berefleksi dan soliter. Apakah suatu norma dapat diuniversalkan atau tidak, atau apakah dia mampu mencapai consensus rasional atau tidak, hanya dapat dibuktikan secara dialogis dalam diskursus yang bebas dari tekanan dan kekangan.

…Teori komunikasi yang dibicarakan berdasarkan pengertian formal pragmatis ini baru berguna bagi teori tindakan sosiologis jika kita dapat menunjukan bagaimana tindakan komunikatif – yaitu, tindak-wicara atau ekspresi non verbal yang setara dengannya-berfungsi mengatur dan memberi konstribusi tertentu dalam melakukan interaksi. Akhirnya, tindakan komunikatif tergantung kepada konteks situasional, yang pada gilirannya merepresentasikan segmen dunia-kehidupan; ini akan diperkenalkan sebagai konsep komplementer tindakan komunikatif melalui analisis penghetauan yang jadi latar belakang… (Habermas, 1981 Vol.I; 342).[8]

Dalam pandangan Habermas, demokrasi tidak dapat disetarakan dengan organisasi masyarakat, suatu pemerintahan tunggal atau metode pemilihan pemimpin. Kegagalannya ketika memisahkan secara jelas prinsip organisasional dan landasan legitimasi tatanan politik dari persoalan tentang institusionalisasi pada kondisi tertentu – marak dalam diskusi demokrasi mulai dari Rousseau sampai debat terkini antara teoretisi empiris dan normative. Kita tidak bisa membuat batas-batas a priori untuk proses ini. Sejauh formasi kehendak diskursif dapat terbentuk, suatu prinsip pengorganisasian masyarakat sejauh tidak kelebihan sistem individualitas atau jatuh kedalam konflik yang tak terselesaikan antara imperative-imperativ fungsional yang dapat dijadikan pertanyaan. Sebuah keputusan poltis yang mencerminkan organisasional masyarakat secara ipso facto tidak mengakui adanya consensus rasional. Mereka tidak dapat dijustifikasi dalam diskusi umum tanpa batas, berdasarkan segala kemungkinan berkembangnya situasi, tentang kepentingan apa yang paling banyak menyangkut semua orang yang mereka pengaruhi. Dengan demikian stabilitas bangunan sosial kapitalis tergantung pada efektifitas legitimasi yang terus berlangsung dan tidak dapat mencegah arus diskursif. Secara singkat, masalahnya adalah bagaimana mendistribusikan kemakmuran yang diproduksi secara sosial tidak merata namun legitim (kebutuhan legitim kapitalisme).

Perbedaan structural yang terdapat di wilayah tindakan administrative dan wilayah tradisi budaya menciptakan bahasan sistematis dalam usaha mengimbangi deficit legitimasi melalui tindakan manipulasi yang sadar. Tentu saja argument krisis hanya dapat dibangun dari sini jika dikaitkan dengan persoalan yang lebih luas, dimana perluasan aktivitas negara telah menghasilkan efek samping berupa pertumbuhan yang tidak sesuai dengan kebutuhan legitimasi…(Habermas, 1975; 228)

Tuntutan dan usaha untuk membuat perencanaan partisipatif juga dapat dijelaskan dalam konteks ini. Karena perencanaan administrative semakin mempengaruhi sistem budaya – yaitu representasi yang mengakar dari norma dan nilai sistem yang kena pengaruh- dan membuat sikap-siakap tradisional kehilangan kepatiannya, maka ambang batas penerimaan pun turut berubah. Supaya muncul inovasi di dalam proses perencanaan itu, pihak administrasi bereksperimentasi dengan partisipasi orang-orang yang terpengaruh. Fungsi partisipasi dalam perencanaan pemerintah tentu saja bersifat ambifalen. Wilayah abu-abu (blur area) kemudian muncul sehingga tidak jelas lagi apakah dengan adanya partisipasi ini kebutuhan terhadap regulasi konflik semakinmeningkat atau menurun….. Argumen-argumen ini sudah mendapatkan dukungan bahwa masyarakat kapitalisme-maju (late of capitalism) mengalami kesulitan legitimasi. Namun apakah argument-argumen itu sudah cukup untuk menetapkan bahwa persoalan legitimasi itu tidak dapat dipecahkan, dengan kata lain, apakah argument-argumen itu sudah pasti mengarah kepada prediksi munculnya krisis legitimasi?(Habermas, 1975; 230-231)[9]

Pada akhirnya, berdasarkan konsep Legitimasi ini Habermas memulai kritik nya terhadap prediksi analitis Marxian Ortodox. Dalam analitis kritis Habermas, konsep legitimasi menjabarkan sebuah perkembangan infrakstruktur pemerintah yang mulai mendekati kesejahteraan rakyat. Kegagalan Marxian Ortodox, Habermas berangkat dari sebuah fenomena sebagaimana kredit pemerintah, jaminan harga, subsidi, pinjaman, kontrak, redistribusi pendapatan, dan kebijakan perburuhan dimana penyesuaian antar sarana bagi naik nya pertumbuhan, stabilitas mata uang, kesempatan kerja, dan neraca perdagangan luar negri. Dalam proses itu terjadi sebuah negosiasi administrative “quasi-politi” , karena dalam hal ini Habermas yakin adanya pertukaran ideologi atas konsep “keadilan”. Karena sebuah sistem kapitalis organisional sedang berjalan, sedangkan “keadilan” pasar tidak bisa dipegang, maka dari itu diperlukan –program pengganti- sebuah alternative. Institusi dan prosedur “demokrasi formal” bisa sebagai jaminan, dimana ruang public (space public) harus bisa di maksimalkan dalam bentuk sosialisasinya. Sehingga pada akhirnya negara kesejahteraan (walfare state) menjadi tempat tinggal yang nyaman dan aman, sebagai sebuah visioner di masa depan terhadap tatanan masyarakat.

Argument-argumen

Setelah kita bisa menjabarkan secara teoritis beberapa konsep teori “keadilan” yang mulai menjadi sebuah acuan di masa kontemporer sekarang ini. Pada bagian ini kita mulai bisa melihat dalam membandingkan atau justru mengadopsi dari beberapa teori yang parsial dan membangun asumsi sementra. Teori Rawls berangkat dari tradisi kontraktarian yang mulai mengkritik utilitarianisme, dan melahirkan sebuah konsep keadilan yang  fairness. Titik tekan sekaligus penemuan dalam teori nya adalah posisi asali (origin position), dimana sebuah hal yang adil harus diletakan pada posisi asali nya karena disana ada agen atau person moral yang mampu membuat sebuah preferensi untuk dirinya (self interest) dan lingkungannya (environment of society). Sampai pada akhirnya membentuk sebuah mekanisme “redistribusi” dalam rangka memberikan akses untuk mendapatkan produk-produk utama –barang utama (primary goods); social primary goods & natural primary goods- yang menjadi ukuran menuju kesejahteraan. Dalam tradisi kritis, ada seorang Habermas yang mengkritik determinisme Marxisme ortodox. Habermas termasuk salah satu orang yang meneruskan tradisi “Mazhab Frankfurt”, Habermas mulai mengembangan kosep diskursus yang secara terbuka menolak positivisme. Konsep moral yang dijabarkan Habermas melampau (to deep knowledge) dalam arti melakukan sebuah penggalian atas sebuah rasionalitas manusia. Bahwa setiap manusia memiliki sebuah diskursif, dalam rangka mencari titik temu diskursif ini harus dipertemukan sampai batas sebuah consensus. Ketika consensus ini telah ada, maka lahir sebuah legitimasi untuk menjalankan proses bernegara. Namun dalam kritik Habermas, dimasa kapitalisme lanjut akan terjadi sebuah “krisis legitimasi” maka terjadi kekosongan program yang harus diisi dengan alternative. Ketika ini terjadi ada sebuah proses negosiasi “quasi-politik” yang melahirkan alternative pemikiran. Maka Habermas berasumsi, bahwa sebuah bentuk negara kesejahteraan (welfare state) menjadi sebuah mimpi bersama menuju masyarakat yang adil.

Penalaran subjektifitas saya berasumsi, bahwa teori Rawls mampu menjelaskan dari sudut yang ekonomistik. Dia percaya bahwa indicator sebuah kesejahteraan dapat dilihat dari pemenuhan produk-produk utama, dengan meletakanya pada posisi asali untuk menekan deliberalisasi. Namun akan timbul pertanyaan baru yang muncul dari kesadaran ‘antropologis’, bagaimana dengan konsep keadilan dalam issue apartheid? Apakah person moral dapat menjamin dalam situasi konflik etnis? Lebih dalam lagi Habermas dapat membedah hal ini dengan logika Diskursus nya. Persoalan seperti itu dapat tereliminir dengan adanya diskursif-diskursif baru. Ruang public akan memiliki peran yang signifikan dalam proses pencarian “persamaan” (egalitarian) diantara mereka.

Diluar plus dan minus atas sebuah teori, sebenarnya kedua teori ini bergerak untuk mencapai sebuah titik bersama “equilibrium”. Seperti apa yang dikatakan Habermas, bahwa terjadi pertukaran ideology “keadilan”. Rawls bergerak dari poros “kanan” menuju ketengah, dan Habermas mulai mengendurkan dogmatisme “kiri” untuk berlayar ketengah. Sehingga dalam pertemuan ini menjadi sebuah poros tengah, walaupun dalam poros ini masih terjadi banyak perdebatan. Akan tetapi mereka memiliki sebuah ekspetasi masa depan dengan gagasan negara kesejahteraan (welfare state). Dalam satu fase inilah gerak filsafat mereka di identikan dengan aliran Sosial-Demokrat (Sosdem).

Bibliografi

Ata, Andre Ujan. Keadilan dan Demokrasi; Telaah Filsafat Politik John Rawls, Kanisius: Yogyakarta, 2001.

Habermas, Jurgen. Krisis Legitmasi, Qalam: Yogyakarta, 2001.

________________. Teori Tindakan Koomunikatif (Vol. I), Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2007.

Kymlicka, Will. Pengantar Filsafat Politik Kontemporer,  Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004.

McCharty, Thomas. Teori Kritis; Jurgen Habermas, Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2008.

Russel, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004.


[1] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004.
[2] Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik  Kontemporer. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004.
[3] Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi; telaah filsafat politik John Rawls. Kanisius: Yogyakarta, 2001
[4] Thomas McCharty, Teori Kritis; Jurgen Habermas. Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2008. Hal. XXII
[5] Konsep “bildung” ini meminjam dari istilah hermeunitika yang dilahirkan oleh Gadamer dalam Truth and Method.
[6] Ibid., Hal. 401
[7] Ibid., hal. 418
[8] Jurgen Habermas, Teori Tindakan Kominkatif; Vol. I. Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2007.
[9] Jurgen Habermas, Krisis Legitimasi. Qalam: Yogyakarta, 2004

No comments:

Post a Comment