Sunday 12 June 2011

Kembali Belajar dari Gagasan Politik Antonio Gramsci

Latar Belakang


Ketika  timbul sebuah pertanyaan, apakah masih relevan untuk belajar dari Gramsci? Mungkin jawabanya akan menjadi sangat relative. Akan tetapi kita tidak boleh menutup mata atas karya besar Gramsci, yang sampai hari ini masi memiliki pengaruh besar dalam teori kritis kontemporeer. Sumbangan yang cukup besar juga diberikan Gramsci dalam tradisi berfikir Marxian. Buah pikiran nya menjadi sebuah cara berfikir kritis yang lebih ssegar, atau biasa disebut generasi Neo- Marxist (western Marxist). Seorang pemikir abad 21 yang tetap dalam jalan berfikir kritis yaitu Jurgen Habermas, kembali lagi memulai berfikir dalam tradisi Gramscian. Yang pasti dengan modifikasi teori akibat perkembangan sebuah zaman, ini artinya gagasan berfikir Gramsci sampai saat ini masih relevan (terlepas dari kritik dan oto-krritik yang ada).  Untuk sebuah kondsi Negara berkembang Indonesia mendiskusikan Gramsci masih menjadi hal yang menarik untuk kembali di bicarakan.  Misalnya mengunakan konsep Hegemoni Negara untuk menganalisis hubungan kekuasaan di Indonsia, bahkan juga strategi politik untuk mengambil posisi kekuasaan tertentu dalam pemerintahan Nasional maupun lokal dalam sebuah domain politik tertententu. Pada awal tahun 70-an pemikiran Gramsci sudah mulai dibicarakan kembali dalam tataran akademisi Internasional lewat sebuah seminar-seminar. Justru pada masa ini Indonesia sedang dalam fase kegelapan sebuah Rezim Orde Baru, yang sangat bersifat represif apabila ada opini kritik terhadap Kapitlaisme. Pada waktu itu analisis dan teori ilmu sosial yang berkembang adalah ketika analisa dan teori itu mendukung sebuah formasi kapitalisme Orde Baru yang semakin menguatkan bangunan teori dalam gagasan Developmentalism. Teori ilmu sosial yang dimaksud adalah menjadi sebuah ideology tandingan dan dan alternative baru terhadap pemikiran perubahan sosial yang sosialistik di Indonesia, teori-teori tersebut diantara nya adalah teori Modernisasi dan teori Pertumbuhan. Fenomena ini juga menyadarkan kita bahwa ternyata teori Ilmu Sosial tidak saja mampu mermbentuk sebuah realitas sosial, bahkan turut mempengaruhi agenda perubahan sosial dan memberi legitimasi kepada praktek politik yang tengah berlaku. Dengan kata lain, teori ilmu sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada kenyatan nya menjadi peranngkat dan bagian dari Hegemony dominant, kita tahu bahwa hegemony mejadi sebuah pokok bahasan yang paling sentral dalam pemikiran Gramsci. Sebelum lebih jauh kita membahas gagsan politik Gramsci, perlu juga untuk sekedar memberi gambaran umum dari sosok seorang Antonio Gramsci. Pria ini dilahirkan di Alles, Sardinia, 22 January 1891. Lahir dalam sebuah kehidupan yang miskin di Pulau kecil Italia, dan mulai mendapatkan kesempatan untuk sekolah dalam Universitas pada tahun 1911 setelah dia lulus dalam seleksi Bea siswa di Universitas Turin-Italia. Ketertarikan nya terhadap politik mulai dalam bangku kuliah sehinngga pada tahun 1913 dia sudah terlibat dalam aktivitas Partai Sosialis Italia (PSI). Sejak saat itu dia mulai serius dalam media massa dan kritik terhadap ideoelogy, sampai masa-masa sulit dalam penjara menjelang kematiannya dia tetap menyelesaikan  Prison Notebooks’.

Ide Dasar Sebuah Terminologis “Hegemony” Gramsci

Konsep ini berawal dari sebuah asumsi bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan sebuah kekuasaan terhadap kelas-kelas dibawah nya dengan cara koersi (kekerasan) dan persuasi. Berangkat dari karya Machievelli, the prince (Sang Penguasa), Gramsci menggunakan centaur mitologi Yunani, yaitu setengah binatang dan setengah manusia, sebagai symbol dari “perspektif ganda” suatu tidakan politik – kekuatan dan consensus, otoritas dan hegemony, kekerasan dan kesopanan. Hegemoni bukanlah sebuah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melaikan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi consensus. Terminologis Hegemoni yang digunakan oleh Gramsci harus dibedakan dari makna asalanya dalam bahasa yunani (eugemonia), yaitu penguasaan suatu bangsa terhadap bangsa lain.
Dasar-dasar konsep hegemoni diletakkan oleh Lenin dengan menyempurnakan upaya yang telah dikerjakan oleh para pendiri gerakan buruh Rusia sebelumnya (berangkat dari pemikiran Plekhanov), karena istilah hegemony dalam terminologis Marxist mulai digunakan oleh Plekhanov pada tahun 1880-an di Rusia untuuk menerjemahkan perlunya kelas pekerja membangun sebuah aliansi dengan petani demi satu tujuan meruntuhkan Rezim Tsar. Kelas pekerja harus menjadi pelopor dari sebuah gerakan Revolusi dalam skala menggalang kekuatan nasional, untuk berjuang dan membebaskan kelas-kelas dan kelompok (-kelompok) tertindas lainnya. Strategi ini mulai dikembangkan oleh Lenin untuk membangun aliansi pekerja dengan para petani, dan memposisikan kelas pekerja yang bertindak sebagai kekuatan utama (hegemonic) dalam revolusi demokratik borjuis untuk menggulingkan kekuasaan Tsar. Dengan cara ini, Lenin yakin bahwa kelas pekerja yang pada masa itu masih merupakan kelompok minoritas, mampu mendapat dukungan dari mayoritas rakyat.[1]

Dalam perspektif Lenin, hegemoni ditabsirkan dalam sebuah strategi untuk sebuah revolusi, suatu strategi yang harus dilakukan oleh kelas pekerja dan anggota-anggotnya untuk memperoleh dari dukungan mayoritas. Gramsci menambahkan dimensi baru pada masalah ini dengan memperluas pengertiananya sehingga hegemoni juga mencakup peran kapitalis beserta anggotanya, baik dalam konteks merebut kekuasaan negara maupun mempertahankan kekuasaan yang sudah didapatan. Dalam hal ini, Gramsci membedakan antara dominaasi (kekerasan) dengan kepemimpinan moral dan intelektual: Suatu kelompok sosial bisa, bahkan harus, menjalankan menjalankan kepemimpinan sebelum merebut kekuasaan pemerintah (hal ini jelas menjadi sebuah syarat utama untuk memperoleh sebuah kekuasaan tersebut); kesiapan itu pada gilirannya menjadi sangat penting ketika kelompok itu menjalankan kekuasaan, bahkan seandainya kekuasaan tetap berada ditanan kelompok, maka mereka harus tetap “memimpin” (SPN 57-68)

Jadi, Gramsci mengubah makna hegemoni dari stategi (sebagaimana yang dipaparkan oleh Lenin) menjadi sebuah konsep yang, seperti halnya konsep Marxis tentang kekuatan dan hubungan produksi, kelas dan negara, menjadi sebuah sarana unutuk proses memahami masyarakat  dengan tujuan mengbahnya menjadi lebih baik. Ia mengembangkan gagasan tentang kepemimpinan dan pelaksanaan nya sebagai syarat untuk memperoleh kekuasaan negara kedalam konsepnya tentang hegemoni. Hegemoni merupakan hubungan antara kekuatan kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonic, atau kelompok kelas hegemonic, adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertaankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis. Konsep ideology dibangun dengan memasukan beberapa konsep lain yang berkaitan dengan nya. Itulah sebabnya mengapa definisi yang singkat mengenai hegemoni tidak pernah memadai.[2]

Selain meneruskan dari gagsan Marxist Rusia (Plekhanov dan Lenin) konsep ini juga pernah dituliskan oleh seorang Marxist Jerman, Rosa Luxemburg. Salah satu karya nya yang sangat terkenal di kalangan Marxist klasik adalah, Social Reform or Revolution (1899). Dalam karya nya Rosa memiliki beberpa pandangan penting, pertama adalah sikap yang bersikukuh pada hubungan yang mendasar antara tujuan akhir    yang dijelaskan sebagai pencapaian kekuasaan proletarian      dan tugas-tugas prktis reformasi sosial    yakni, demokrratisasi negara kapitalis dan membentuk serikat buruh serta gerakan koperasi. Dengan kata lain, ia menunjukan bahawa bagian pertama Program Erfurt tidak harus ditinggalkan atau ditulis kembali, dan bahwa perwujudannya tergantung sekali pada perjuangan untuk mencapai tuntutan-tuntutan minimum yang diuraikan pada bagian kedua dan ketiga.[3] Kedua, ia yakin pada arti penting strategis tujuan akhir karena kontradiksi-kontradiksi kapitlisme yang inheren pasti akan mengalami keruntuhan dengan sendirinya.

Jika reformasi menjadi tujuan itu sendiri, justru akan melahirkan opurtunisme, yaitu mengorbankan tujuan jangka panjang demi pencapaian jangka pendek sehingga akan mematikan perjuangan buruh sebagai suatu kelas untuk membentuk negara buruh. Opurtunisme adalaha ungkapan dari kelemahan buruh, dengan kata lain tidak memiliki kepercayaan diri dalam pencapaian tujuan akhir. Bagi Luxemburg teori Marxist dapat menunjukan kepada buruh bagaimana mencapai misi sejarah mereka sebagai kelas hegemonic sekaligus mempertautkan misi itu dengan perjuangan sehari-hari. Lantas, “untuk mencapai demokrasi sosial, terdapat kaitan yang erat antara reformasi sosial dan revolusi. Perjuangan untuk melakukan reformasi sosial adalah alat; revolusi sosial adalah tujuan.” Dengan demikian, signifikansi perjuangan untuk mencapai reformasi terletak pengaruhnya pada organisasi, daya gempur dan, kesadaran pada kaum proletar, pada dampak subjektif  yang sangat penting terhadap kelas buruh, bukan pengaruh terhadap objektif kapitalisme.[4]

Pemaparan teoritis dari kalangan Marxist klasik tentang konsep dasar hegemony, adalah bertujuan untuk memberi sebuah wacana yang lebih, akan ide-ide dasar hegemony. Sebelum Gramsci membangun sebuah konseptual teori Hegemony, pengertian hegemoni masih dalam makna suatu strategi untuk menuju sebuah masyarakat sosialis. Dalam konteks ini kita tidak sedang mencari teori mana yang paling benar dalam pengejawantahan Marxisme untuk mewujudkan masyarakat sosialis, terlebih dalam situasi fenomena di Indonesia. Akan tetapi melacak dasar-dasar dari konsep hegemoni sangat penting, untuk kembali menabsirkan dari apa yang akan diuraikan Gramsci. Untuk kembali belajar dari Gramsci bukan hanya memahami secara implicit dari karyanya (teks) saja, akan tetapi kita juga mencari makna yang terselubung dengan explicit. Artinya, bukan berarti kita akan menelan secara bulat ajaran Gramsci untuk di prkatekkan dalam domain politik di Indonesia. Karena mungkin saja beberapa gagsan lahir  dalam sebuah konteks yang berbeda dengan keadaan kita saat ini, secara situasi Eropa sangat berbeda dengan Asia. Berangakaat dari asumsi ini, saya memilih beberapa gagasan yang diuraikan Gramsci dalam konstruksi teori hegemoninya, yang sekiranya menurut saya bisa diterapkan dalam menganalisis dan membangun strategi untuk mengambil alih sebuah kekuasaan (yang akan dijalankan demi kepentingan rakyat).

Konsensus dan Hubungan Kekuasaan

Hegemoni kelas yang berkuasa terhadap kelas yang dikuasai, seperti nya yang akan menjadi pembahasan yang serius, sesungguh nya dibangun dari mekanisme consensus. Sebelum memaparkan konsep mekanisme consensus, perlu kira nya untuk kembali melihat sejarah perjalanan sebuah consensus lahir di tengah-tengah kehidupan massa rakyat. Femia setidaknya memaparkan  empat model consensus, yang ada dalam perjalanana sejarah, yaitu; dimasa Romawi kuno, pra-modern, masa masyarakat kapitalis dan masa pemikiran kontempores yang seluruhnya memiliki karakteristik yang khas. Lebih lengkap Femia (Hendarto, 1993; 79) memaparkan sebagai berikut[5]

            Pertama dalam sejarah Romawi Kuno. Disini pusat kekuasaan berada dalam tangan kaisar. Dialah pula hakim agung, sumber otoritas politik. “consensus” disini terletak di tangan kaisar seorang.

                Kedua dalam sejarah pra-modern, pandangan tentang consensus disiini tampil sejalan dengan konsepsi masyarakat organik yan tampil dengan paham bahwa setiap orang mempunyai status dan fungsi yang ditentukandalam hirarki alamiah (kodrat). Bahwa etika politik bukanlah pertama-tama masalah hukum melainkan melaikan lebih kepada kewajiban manusia terhadap massa rakyat nya. Consensus dimengerti bahwa subjek-subjek yang memegang otoritas memahami dan mengikutinya. Dalam penertian ini tidak dipakai penerimaan individu karena tekananya terhadap keteraturan universal.

                Ketiga, dalam masyarakt kapitlais lanjut secara filosofis dan politik tampil hukum-hukum alam dan kontrak sosial.  Consensus dipandang sebagai sebuah tindakan yang dikehendaki atau sekurang-kurang nya sukarela secara individual. Tidak ada sesuatu pun yg memaksa manusia. Consensus masuk bersama dengan perjanjian positif. Dengan kata lain disisni kebebasan individual (individual liberty) mendapat tempat utama dalam masyarakat.

                Keempat, dalam pemikiran dewasa ini. Disini ada perubahan pengertian consensus dari pengertian Liberal sebelumnya dan menguangkapkan tuntutan yang baru. Warga negara secara individu menuntut keterlibatan secara langsung ataupun tidak langsung dalam masyarakat politik yang di organisasikan dan di tentukan. Karena itu dapat dikatakan bahwa konsep ini mengisi arti pokok yang tidak ada dalam pemikiran mengenai kontrak sosial. Consensus dipandang sebagai kekhususuan sifat dari sistem lembaga-lembaga demokratis yang familier.

Ketika Gramsci bicara masalah consensus, ia selalu mengaitkan dengan spontanitas bersifat psikologis yang mencakup berbagai penerimaan aturan sosiopolitis ataupun aspek-aspek aturan yang lain.tatanan hegemonis bagi Gramsci, tidak perlu masuk kedalam institusi (lembaga) praktik liberal sebab hegemoni pada dasarnya merupakan suatu totaliaianisme dalam art ketat. Asumsi liberal ‘masa kini’, bahwa orang tanpa mempunyai kesempatan sungguh-sungguh unutk mengungkapkan oposisi tidak dapat dukatakan perjanjian, tampak nya sangat aneh. Andakan sebuah perjanjian ada disposisi mental, ada titik-titk lemah disamping kekuatannya. Gramsci kembali menjelaskan factor yang mempengaruhi proses sebuah penyesuaian dalam perjanjian;


  1. Orang menyesuaikan mungkin karena takut akan konsekuensi-konsekuensi bila tidak menyesuaikannya. Disini konformitas ditmpuh melalui penekanan dan sanksi-sanksi yang menakutkan
  2. Orang menyesuaikan diri mungkin karena terbiasa megikuti tujuan-tujuan dengan cara tertentu. Konformitas dalam hal ini merupakan soal partisipasi yang tidak terefleksikan dalam hal bentuk aktiivtas yang tetap, sebab orang menganut pola-pola tingkah laku tertentu dan jarang di mungkinkan untuk menolak.
  3. Konformitas yang muncul dari tingkah laku mempunyai tingkat-tingkat kesadaran dan persetujuan dengan unsure tertentu dalam masyarakat.

Persoalannya kemudian, gramsci tidak spesifik membedah consensus secara determinan menentukan situasi hegemonis. Konsensus bagi Gramsci lebih mewujudkan suatu hipotesis bahwa terciptanya karena ada dasar peersetujuan. Lebih lanjut, mengutip Femia, Gramsci mengatakan (Hendarto, 1993; 81):

            Bahwa dalam tatana sosial yang teratur harus ada dasar persetujuan (substratum of agreement) yang kuat yang dapat melawan kekuatan-kekuatan yang menghancurkan yang muncul dari erbedaan-perbedaan kepentingan. Consensus dalam arti ini berada dalam hubungan dengan objek-objek tertentu, pribadi kepercayaan nilai-nilai, lembaga-lembaga maupun yang lain.

Bagi Gramsci, hegemoni melalui consensus muncul melalui komitmen aktif atas kelas sosial yang secara histories lahir dalam hubungan produksi. Untuk itu, Gramsci mengatakan secara tak langsung consensus sebagai “komitmen aktif” yang didasarkan oleh adanya pandangan bahwa posisis yang tinggi adalah sah (legitimate). Consensus ini secara histories “lahir” (disebabkan oleh) karena prestasi yang berkembang dalam dunia produksi. Sebuah consensus yang diterima oleh kelas pekerja bersifat pasif. Adanya konsesus bukan karena kelas yang terhegemoni menganggap struktur sosial yang ada itu sebagai bentuk dari keinginan mereka. Justru sebalik nya, hal tersebut terjadi karena mereka kekurangan basisi konseptual yang membentuk kesadaran sehingga membuat mereka terjebak untuk memahmi realitas secara efektif.

Gramsci menekankan bahwa pertentangn kelas itu secara efektif di netralisasikan dalam masyarakat kapitalis lanjut. Dengan pengawasan kaelompok borjuis yang keat, pertentangan itu melemah dan menjadi tutuutan gaji dan kehidupan yang lebih baik. Pertentangan ini hanya sebuah ilusi. Kondisi ini bagi Gramsci merupakan “consensus” terselubung dan hanya memperkuat hegemoni borjuis dengan mengaburkan sifat-sifat yang sesungguh nya. Inilah yang kemudian menurut Gramsci gejala integrasi budaya. Ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yaitu pendidikan disatu pihak dan mekanisme kelembagaan dilain pihak. Sebuah sistem pendidikan yang ada dan disenlengarakan secara legal tidak pernah membangun sebuah kesadaran kritis pada kaum pekerja (untuk memberikan kesadaran dalam bentuk konsnsus). Sedangkan mekanisme kelembagaan (sekolah, gereja, partai politik, media massa, dan lain sebagainya) menjadi “agen” kelompok yang berkuasa untuk menentukan ideology yang dominir. Bahassa menjadi sarana yang sangat penting untuk melayani fungsi hegemonis.[6]

Sejauh ini Gramsci hanya memberikan definisi Marxist klasik terhadap lahirnya sebuah kelas. Sumbangannya yang nyata terlihat ada analisis nya mengenai hubungan berbagai kekuatan politik. Ia mengambil contoh lahirnya kelas kapitalis, lantas membagi menjadi tiga fase (hegemonic) perkembangan kesadaran politik kolektif dan organisatoris;

  1. Fase pertama, terjadi ketika seorang pedagang ingin sejajar dengan pedagang lain, seorang pengusaha dengan pengusaha lain; namun pedagang belum muncul rasa solidaritas dari pengusaha. Anggota dalam kolompok professional sadar akan kepentingan bersama mereka dan perlunya bersatu (regrouping), namun belum menyadari kebutuhan untuk bergabung dengan kelompok lain kedalam kelas yang sama (aliansi).
  2. Fase kedua, menjadi lebih maju dimana telah tumbuh kesadaran akan kepentingan bersama semua kelas – namun masih dalam bidang ekonomi. Pada fase inimaslah negara sudah menjadi sebuah diskursus, akan tetepi hanya sebatas untuk memperoleh persamaan politik dan hukum dengan kelompok yang berkuasa: ‘hak untuk ikut dalam penetapan undang-undang dan administrasi, bahkan untuk mengubahnya memang diakui – namun harus tetap brada dalam struktur dasar yang ada’
  3. Fase ketiga dalah tahap hegemonic, “dimana orang menjadi sadar bahwa kepentingan perusahaannya, dalam perkembangan di masa sekarang dan mendatang, melampaui batas-batas korporasi kelas yang murni bersifat murni ekonomi, dan kepentingan itu harus menjadi kepentingan kelompok yang lebih rendah’. Ini asdalah tahap yang murni politik. Ini adalah fase dimana yang tadinya ideology terpecah dan mulai bersaing sampai, ideology itu menang dan mampu menyatukan tujuan-tujuan ekonomi, politik, intelektual dan moral serta ‘mampu menghadapi semua persoalan sehingga perjuangan tidak berjalan dalam dataran korporasi namun dalam dataran ‘universal’, yang pada akhirnya terciptalah hegemoni suaatu kelompok sosial yang kuat terhadap kelopok lain yang lebih rendah

Gramsci memberi gambaran kedua fase korporasi yang pertama dengan lahirnya kelas kapitalisyang terdiri dari para pedagang dan pengusahaperkembangan kelas pekerja mengikuti kelas yang sama. Fase pertama dan paling dasar adalah dibentuknya serikat dagang untuk melindungi kepentingan ekonomi bersama. Fase kedua terjadi ketika timbul sebuah kesadaran dan kepentingan bersama dari semua anggota kelas pekerja, ketika dipenuhinya tuntutan atas persamaan politik dan hukum, dalam rangka pembentukan undang-undang untuk melindungi hak-hak dagang dan hak memberikan suara, namun tetap saja dalam kerangka kapitalisme. Ketika kelas pekerja menuju fase ketiga, fase hegemoni, dimana mereka mulai menentang hegemoni kelas kapitalis, maka semakin banyak kelas pekerja yang sadar akan perlunya memperhatikan kepentingan kelompok dan kelas sosisal lain agar mereka bisa menemukan bagaimana menggabungkan kepentingan mereka dengan kepentingan kelas pekerja. Mereka mulai mengembangkan kesadaran politik, sebagai pengganti kesadaran korporasi (yang oleh Lenin disebut ‘kesadaran serikat dagang’).[7]

Nasional – Kerakyatan Sebagai Issue Bersama


Suatu kelas untuk mencapai sebuah kekuatan yang hegemonic, ia harus melampaui sebuah fase ekoonom-korporasi dengan memperhatikan tujuan dan kepentiingan kelas sosial lain, menghubungkan tujuan dan kepentingan itu dengan dengan kepentingan mereka sendiri sehingga bisa mengakomodir kepentingan semuanya. Suatu kelas tidak dapat mencapai kepemimpinan nasional, lantas menjadi kelas hegemonic, jika mereka hanya membatasi pada kepentingan kelasnya sendiri. Mereka juga harus memperhatikan dan mempertimbangan aspirasi ‘rakyat’ yang demokratis dan perjuangan dari orang-orang (-kelompok) yang tidak memiliki karakter kelas. Dalam sebuah catatannya Gramsci menuliskan, bahwa perluasan dan perkembangan suatu kelas yang ingin menjadi hegemonic “dipahami dan dilihat sebagai kekuatan penggerak bagi perluasan secara menyeluruh, serta bagi perkembangan semua potensi nasional (SPN 182). Gramsci juga menekankan pada watak kerakyatan dari hegemoni yang mereka bangun “yang mana bangsa-bangsa lain telah membangun dan mengorganisir kehendak kolektif nasional-rakyat, dan mendirikan negara-negara modern” (SPN 131). Berarti hegemoni memiliki sebuah dimensi nasional-kerakyatan selain dimensi kelas, sebagaimana ditabsirkan “dalam konsep hegemoni lah berbagai keentingan yang bersifat nasional dipadukan” (SPN 241).[8]
Dalam perjuangan revolusi Indonesia misalnya, seorang Tan Malaka menganalisis  kondisi perkembangan kapitalisme di Indonesia serta menuliskan bentuk perjuangan melawan kekuasaan colonial (kapitalis) dengan sebuah aksi-massa. Tan Malaka  memahami bahwa corak perkembangan kapitalisme di Indonesia tidak sempurna, sehingga strategi melakukan perlawanan pasti berrbeda juga dengan Revolusi Perancis, bolsyevisme, gerakan proletat di Eropa (Jerman dan Inggris) dan Amerika (may day). Berdasarkan analis ini Tan Malaka yakin harus menempuh jalan yang sedikit berbeda pada strategi yang sudah pernah dilakukan sebelum nya dengan latar belakang yang bervariasi, dalam aksi-massa dia menuliskan;
Pati (inti) revolusi (sekurang-kurangnya di Jawa) harus dibentuk oleh kaum buruh industri modern, perusahaan dan pertaniaan (buruh mesin dan tani). Benteng-benteng politik, terutama ekonomi imperialisme Belanda, hanya dapat dipukul oleh kaum buruh. Di sekitar  kaum buruh itu berbris borjuasi kecil yang mundur maju tak pungguh hala (kaum borjuis akan menurut jika tahu akan memperoleh kemenangan; itu pun dibelakang sekali. Pun kalau mereka sungguh suka turut. Lebih dari itu “tidak” dan jangan diharap). Revolusi Indonesia yang memperoleh kemenangan mendatangkan perubahan yang tepat dalam perekonomian, politik dan sosial pada waktu kecerdasan kapitalis krisis. Bila kaum buruh kita tetap giat, dapatlah mereka memegang peran yang terpenting. (Aksi-Massa 93)

Dalam karya Tan Malaka (aksi massa) memiliki beberapa korelasi seperti apa yang dikatakan Gramsci “Nasional-Kerakyatan”, walaupun Tan Malaka tidak bisa kategorikan apakah dia berfikir dalam tradisi Gramscian (justru pemikiran nya lebih dekat pada Trotsky). Dia meyakini sebuah pendudukan Dewan Rakyat (volgward) yang di infiltrasi dengan kepentingan ‘rakyat’ maka akan membantu proses perjuangan rakyat untuk meraih kemerdekaan. Justru salah apabila tdak mengambil peluang itu, dan justru melakukan tindakan anarkisme. Dalam istilah nya Tan Malaka menyebut kelompok yang bergerak dengan liar, sporadis, dan anarkis adalah Putch. Dalam meraih kemenangan rakyat tukang-tukang putch ini harus di eliminier, justru akan melemah kan’aksi-massa’ karena hanya memiliki analisis yang dangkal dan seenak nya saja. Selain cara untuk merebut kekuasaan baik dari simpati massa dan posisi-posisi elite dipemerintahan, Tan Malaka juga membuat sebuah program Nasional yang mengakomodir semua kepentingan bangsa (tidak hanya kelas buruh).[9]  Parlemen  seharusnya dilihat dalam sebuah jalur yang sangat penting, karena dalam parlemen berlangsungnya perjalanan menuju sebuah hegemoni politik dan ideologis. Fakta menunujukan bahwa otoritas majelis yang sudah terlegitimasi oleh rakyat semakin melemah yang disebabkan oleh situasi perkembangan zaman – misalnya, beralihnya kekuasaan terhadap cabinet, perdana mentri, atau bahkan pegawai negri yang jabatan nya lebih tinggi. Ini adalah sebuah indikasi yang ‘bahaya’ yang akan terus mengalami kemerosotan kekuasaan rakyat. Disamping perjuangan bagi kebebasan sipil, terdapat banyak gerakan sosial lainnya yang tidak haus memiliki karakter kelas. Misalnya, gerakan perempuan, pemuda, etnis minoritas, dll. Hal yang menyatukan gerakan ini adalah pemahaman yang lahir bukan dari hubungan-hubungan produksi. Model gerakan yang berusaha mengakomodir setiap kelompok dalam elemen massa rakyat maka akan mencermikan perjuangan kepemimpinan yang bersfat demokratis kerakyatan dan non-kelas yang saangat penting untuk membangun hegemoni kelas pekerja. Aspirasi ini, dan gerakan yang meperjuangankan nya merupakan medan politik yang diperebutkan oleh dua kelas besar untuk meraih hegemoni. Jika kelas pekerja ingin meraih hegemoni, mereka perlu terus membangun jaringan aliansi dengan gerakan-gerakan sosial tersebut; dan proses pembangunan aliansi ini menjadi bagian sangat penting bagi Gramsci yatu perang posisi. Aliansi ini harus menghargai otonom gerakan-gerakan tersebut, sehinggga masing-masing memainkan peran dan memberikan kontrsibusi menuju masyarakat sosialis baru.[10]

Revolusi Pasif Pada Level Elite

Dalam analisis Gramsci, yang kembali membentangkan sebuah sejarah perjuangan rakyat di beberapa negara Eropa sehingga meraih suatu kemenangan. Ternyata dibalik sebuah perjuangan yang melakukan konfrontasi ada pengambil alihan kekuasaan elite yang lahir dari penetrasi gerakan rakyat. Dalam revolusi perancis misalnya, Jacobin dapat memobilisasi rakyat dan membangun sebuah aliansi untuk menyokong tuntuan kaum tani sehingga menghasilkan sebuah gerakan yang revolusioner. Berbeda dengan tradisi penyatuan Italia, dalam gerakan Risorgimento yang dilakukan Cavour dan Partai moderat (kaum borjuis) yang tidak mengikutsertakan perjuangan rakyat. Proses penyatuan Italia ini, justru berorientasi pada kekuasaan negara  Piedmont dengan tentara, kerajaan dan birokrasi nya. Gelombang liberal-demokrasi ini diwakili oleh partai aksi, namun partai ini hanya memainkan peranan kecil dihadapan Partai Moderat. Dikarenakan menurut Gramsci, Partai aksi  telah gagal mewujudkan agenda yang menjadi cerminan tuntutan massa rakyat, terutama tuntuan petani. Jadi, Partai Aksi tidak bisa mewarnai Risorgimento dengan karakter demokratis-kerakyatan. Hal sebaliknya terjadi dalam Partai Moderat, dengan dukungan intelektual nya serta menjalankan kekuasaan nya yang kuat dan menarik simpati dari kelompok intelektual lain, dan berhasil dengan menggunakan isu-isu Nasional untuk menyatukan seluruh dukungan borjuis Italia dibawah kepemimpinan mereka. Partai Moderat memperkuat kekuasan nya terhadap Partai Aksi dengan metode yang dikenal (di Italia) yaitu transformisme, “upaya menanamkan nilai-nilai aktif yang berasal dari kelompok-kelompok yang bersekutu – bahkan yang berasal dari kelompok dari lawan – dengan cara yang efektif” (SPN 58-59).[11] Salah satu aspek revolusi pasif harus mendapatkan perhatian. Berangkat dari konsep dan peran negara Piedmont, Gramsci berkata “perlu kiranya melakukan analisis secara lebih mendalam akan signifikansi peran negara model ‘Piedmont’ dalam revolusi pasif – yaitu, kenyataan bahwa negara mengantikan peranan kelompok sosial lokal dalam memimpin perjuangan pembaruan – (SPN 105). Dalam revolusi pasif negara menggantikan aktifitas politik (hegemonic) suatu  kelas; semakin besar tingkat revolusi pasif dalam setiap situasi, maka semakin besar pula proses penggantian ini berlangsung Setelah mengembangkan gagasan revolusi pasif dan analisis terhadap Risorgimento dan perkembangan sejarah di Italia pada masa berikutnya, Gramsci terus melanjutkan pemikirannya. Dia menyatakan bahwa revolusi pasif bukan hanya dari penafsiran Risorgimento bahkan terhadap “setiap tahapan sejarah yang dicirikan oleh pergolakan yang kompleks”. Ketika sebuah hegemoni borjuasi sudah mulai mengalami disintegrasi dan periode krisis dalam organisasi mulai berkembang, maka proses reorganisasi yyang diperlukan untuk kembali membangun hegemoni mereka, dalam batas tertentu akan memiliki karakter revolusi pasif.  Dalam beberapa tullisan nya, “Americanisation and Fordism” bahwa memiliki karakter revolusi pasif yang di tawarkan dalam Roosvelt New Deal (Kesepakatan baru Roosvelt).

Masyarakat Sipil dalam Dinamika Kekuasaan Negara

Sebuah kesatuan sejarah kelas penguasa itu direalisasikan dalam bentuk suatu negara, akan tetapi negara juga dipengaruhi oleh sebuah perjuangan rakyat yang demokratik; sehingga membentuk sebuah pandangan dalam pembahasan sebelum nya –bahwa ini adalah sebuah hubungan kekuatan yang sudah kita temukan sebelum nya- kehidupan negara dapat diartikan “suatu proses pemebentukan dan pergantian yang terus berlansung (contigensi) akan keseimbangan yang tidak stabil (destablitation)”. Jadi, meskipun sebuah kekuatan hegemoni dapat berkuasa atas negara, dia tidak dapat semata-mata memaksakan kepentigan kelasnya dan lantas menerapkan kepada kelas-kelas lainnya. Atmosfir kehidupan negara memiliki ‘otonomi relatif’ dari kelas penguasa, karena ia adalah hasil dari sebuah proses penyeimbangan kekuatan. Istilah ‘otonomi relatif’ sangat tepat untuk mendefinisikan negara, walaupun Gramsci tidak menggunakan istilah ini. Masalah yang lebih pokok dalam negara adalah watak kekuasaan yang diselengarakan oleh kelas penguasa terhadap kelas-kelas lain, karena sebuah strategi revolusioner yang cocok bagi suatu kelas (tertindas) akan sangat tergantung pada pemahaman mengenai watak kekuasaan yang akan dicapai kelas tersebut – Apakah keuasaan itu? Bagaimanakah kekuasaan itu dilaksanakan? – “pemahama yang sempit akan negara (watak kekuasaan) menunjukan kesadaran kelas yyang lemah”. Bahkan Gramsci membagi dua bentuk dalam menabsirkan watak kekuasaan ini; yaitu ‘masyarakat sipil’ yang dipertentangkan dengan ‘masyarakat politik’, walaupun bekan berarti keduanya terpisah dalam domain berbeda.[12]

 Masyarakat sipil adalah wilayah dimana pemilik modal, kelas pekerja, dan kelompok sosial lain terlibat dalam perjuangna politik dan tempat dimana seperti partai politik, serikat dagang, lembaga-lembaga keagamaan, dan berbagai organisasi lainnya muncul. ia bukan hanya wilayah (domain) perjuangan kelas; tetapi ia juga wlayah perjuangan Demokrasi-kerakyatan yang timbul dari berbagai cara dimana masyarakat itu dikelompokan (sebuah perjuangan dalam bentuk apresiasi kelompok). Jadi dalam domain ‘masyarakat sipil’ lah persaingan antaa dua kelas utama itu berlangsung (pemodal dan pekerja; atau dengan kata lain ‘penguasa’ dan yang ‘dikuasai’). Maka dari itu, Gramsci yakin masyarakat sipil adalah masyarakat yang “etika dan moral”, karena dalam masyarakt sipil lah hegemoni kelas dominant itu dibangun melalui mekanisme perjuangan politik dan ideologis. Karena masyrakat sipil mencakup semua organisisi yang berada diluar produksi dan negara, ia juga mencakup keluarga. Keluarga menduduki tempat khusus dalam masyarakat sipil, karena ini adalah sebuah unit inti yang memiliki tugas domestic (rumah tangga), secara ekonomi, dan biologis memproduksi komoditas tenaga kerja.

Sedangkan masyarakat politik adalah, hubungan-hubungan koersif yang terwudjud dalam berbagai lembaga negara – militer, polisi, pengadilan, dan penjara, bersama dengan semua administrasi yang mengurusi pajak, keuangan, perdagangan, industri, keamanan sosial, dan sebagainya, yang tergantung pada upaya akhir dari efektifitas monopli negara dalam melakukan tindakan koersif. Gramsci menyadari, aktivitas negara bukan hanya tindakan koersif, bahwa aparat negara juga punya peran dalam membangun kesepakatan “peran edukatif dan formatif negara” (SPN 246). Masyarakt politik bukan sebuah upaya untuk menggantikan terminologis ‘negara’, akan tetapi untuk menjelaskan hubungan-hubungan koersif yang terdapat pada aparat negara. Kita harus memahami bahwa ‘masyarakat sipil’ dan ‘masyarakt politik’ tidak terpisah secara fisik dan masih dalam satu wilayah yang tidak memiliki garis “demarkasi” yang jelas. Keduanya terbentuk dalam sebuah hubungan sosial yang –dalam kasus negara- bersifat koersif dan menjelma menjadi sebuah organisasi (yang legal). Ada kemungkinan sebuah oerganisasi membangun relasi antara ‘massa rakyat’ dan ‘negara’, ini bisa dipahami dalam sebuah institusi pendidikan (sekolah dan universitas). Gramsci meletakaan “institusi pendidikan” pada masyarakat sipil karena hubungan antara guru dan siswa merupakan hubungan non-koersif. Namun tetap ada unsure koersif dalam pendidikan; kewajiban hadir dalam kelas, membayar iuran, bahkan peraturan internal. Sehingga dikebanyakan negara “institusi pendidikan”, ditabsirkan bagian dari negara (karena ikut menyelengarakan proses ‘hegemoni’ dan ‘koersi’ dari negara). Namun, jika kita menerima bahwa akan terjadi campur tangan antara hubungan-hubungan  masyarakat sipil dan negara, maka kita mampu menjelaskan suatu  paradok bahwa sekolah itu adalah milik masyarakt sipil, meskipun seringkali (pasti) lembaga itu disediakan oleh negara.[13]

Secara spintas, pendekatan ini nampaknya mebingungkan. Mengapa kita harus bersusah payah untuk mebedakan antara masyarakat sipil (wilayah hegemoni) dan negara (wilayah koersi) dan kemudian menempatkan keduanya kedalam terminologi khas Gramsci padahal dia meggunakan istilah ‘negara’ dalam arti umum dan ‘negara’ dalam arti kekuasaan. Dengan kata lain yang ingin dikatakanya, bahwa hubungan sosial dar masyarakat sipil adalah hubungan kekuasaan sebagaimana halnya hubungan koersif negara (meskipun dengan cara berbeda). Kelas hegemoni menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas dibawahnya, disamping kekuasaan negara yang menjalankan dominasinya dalam negara. Kekuasaan itu tersebar dan menjelma dalam aparat koersif negara.[14]


Peran dan Posisi Kaum Intelektual

Tradisi intelektual mulai muncul setelah Gramsci mulai mengkritik deterministic Marxis klasik. Seperti para Mazhab-Frankfurt awal, Adorno dan Horkheimer mulai keluar dari teori Marxis klasik yang sangat mengecewakan bagi mereka untuk melawan sebuah kapitalisme. Sampai pada akhirnya Gramsci mengungkapkan apa yang selama ini melemahkan teori Marxis (karena memang tradisi Marxian meninggalkan warisan problematic “tidak lengkap”); yaitu ‘saintisme kasar’ (crude scientism) dan ‘ekonomi primitif’. Yang dimaksud dengan saitisme kasar adalah keyakinan kukuh dalam Marxisme (berasal dari internationale kedua) yang menetapkan kontrradiksi inheren dalam mode produksi kapitalisme yang dapat dianalisis secara ilmiah, diprediksikan, dan dikuatifikasikan menurut tiga hukum kapital Marx, yaitu overpriduksi, meningkatnya penumpukan modal, dan proletarisasi progresif. Saiintisme kasar ini, diperkuat dan dipengaruhi oleh penemuan Darwin dan atmosfir intelektual Darwinisme, menjadi trend pemikiran kaum Marxis. Pemikiran ini dilandasi oleh asumsi bahwa sejarah umat manusia tidak lebih dari kelanjutan dan kasus khas sejarah alamiah yang tidak membutuhkan kejelasan secara spesifik. Sejarah manusia hanya akan dapat dijelaskan oleh hukum-hukum yang universal tentang alam. Karena prilaku manusia tunduk pada hukum perubahan universal, maka konsekuensinya proses sosial itu bisa dipahami dan dijelaskan secara objektif dengan cara serupa fenomena alam, seperti halnya metamorfosis.
Grmasci memandang ‘saintisme kasar’ menghasilkan kekeliruan yang lain lagi dalam Marxisme ortodoks, yaitu keyakinan atas apa yag mereka namakan ‘ekonomisme’. Pijakan dalam gaasan ini mengacu pada klaim, yang dipresentasikan sebagai postulat esensial materialisme histories, dimana setiap fluktuasi ideology dan politik serta-merta dipresentasiakn dan dijabarkan dalam ekspresi struktur (Gramsci, 1971, 407). Dalam kerangka ‘saintisme kasar’ dan ‘ekonomisme primitif’ ini adalah tradisi dalam Marxis Ortodoks, yang cenderung memahami proses sosial murni dan histories sebagai proses mekanisntis dan objektif.[15] Bagi Gramsci itu menjadi sangat “absurd” karena tidak mempertimbangkan sifat manusia sebagai agen yang “aktif dan sadar”; bahwa “manusia tidak berhubungan dengan alam semata-matadengan menjadikan dirinya sebagai bagian dari dunia alamiah, namun secara aktif dengan menggunakan kerja dan teknik” dan “relasi-relasi itu tidak bersifat mekanis, melaikan aktif dan sadar” (Gramsci, 1971, 352).[16]
Gramsci memperluas definisi kaum intelektual, yaitu semua orang mempunyai fungsi sebagai oeganisator dalam semua lapisan masyarakat, dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan. Ia melakuakan sebuah penetrasi ganda (double break) akan pandangan intelektual; mereka bukan hanya pemikir, penulis dan senimannamun juga organisator seperti pegawai negri dan pemimpin politik, bahkan mereka bukan hanya berguna bagi masyarakat sipil dan negara saja, namun juga dalam proses sebuah produksi sbagai ahli mesin, manajer dan teknisi. Analisis yang lebih menonjol dari Gramsci tentang peran dan posisi intelektual dalam masyarakat modern, adalah kompleksitas dan konsistensi dalam realitas konkrit. Hal ini dapat dianalisis dengan pendekatan multi-dimensi. Dimensi pertama merujuk pada tipe katagorisasi yang dapat digunakan pada stiap realitas sosial. Namun bahkan pada tingkat abstraksi ini, ketika ia membagi antara ‘intelektual organik’ dan ‘intelektual tradisional’. Dimensi kedua, perbedaan antara intelektual kota dan desa, ia berakar pada formasi sosial Italia, akan tetapi diskusi nya masih dalam rangka historis intelektual tradisional-organik.[17]

Intelektual Tradisional
Salah satu karakter penting pada kelas yag sedang berkemabang adalah perjuangan bersasimilasi untuk menundukan intelektual tradisional ‘secara ideologis’. Gramsci membedakan kelompok intelektual organic menjadi bebrapa kelompok berdasarkan corak kelas. Pertama seperti; rohaniawan, yang memiliki peran intelektual organic dari aristokrasi feodal, ini sudah ada sejak kaum borjuis menaiki tangga kekuasaan. Kedua, intelektual yang menurut gramsci memiliki ciri pedesaan, pendeta, pengacara, dokter dan pegawai negri. Kita bisa menelusuri penafsiran Gramsci yang mendefinisikan intelektual tradisional adalah meeka yang menjadi intelektual organic dalam model produksi – produksi feodal – seperti model produuksi dipedalaman Italia. Dalam sudut kelas pekerja, kaum intelektual organic kelas kapitalis adalah intelektual tradisional. Namun, jika ini yang dimaksud Gramsci dengan menggunakan istilah ‘tradisional’ kurang tepat, karena itu tidak menambahkan kategori yang telah ada tentang intelektual organic dari kelas kapitalis. Pandangan alternatif dikemukakan oleh para ‘penyunting Prison Notebooks’. Mereka meletakkan posisi ‘intelektual tradisional’ – menempatkan dirinya dalam kelompok sosial dominant yang otonom dan independent – dan mendefinisikan sebagai “orang-orang yang kedudukannya dalam masyarakat memiliki inter-kelas tertentu”. Tetapi ini pendekatan subjektif, karena mendefinikan mendefinisikan golongan masyarakat dengan pandangan mereka sendiri. Terlebih lagi, pandangan ‘netralitas’ dan ‘otonom’ sering dibenarkan oleh kaum intelektual – misalnya para hakim – yang jelas menjalankan fungsi intelektual organic dari kelas kapitalis. Asumsi akan intelektual tradisional menjadi sangat relative unntuk digunakan dalam tabsiran yang universal. Karena pembedaan ini, justru hanya relevan  pada perkembangan masyarakat Italia di masa Gramsci, dan tidak berlaku untuk menganalisis masyarakat Inggris yang sudah lebih maju.

Intelektual Organik
Gramsci selalu berangkat dari analisis nya akan Risorgimento pada contoh Partai Moderat, bagi dia intelektual organic adalah para pengorganisir partai politik, dan pada saat yang sama mereka juga para pengusaha, petani kaya, atau manajer dalam sebuah perusahaan. Mereka sadar bahwa posisi dan peran mereka adalah diwakili dan mewakili, dan merupakan “barisan terdepan yang riil dan organic dari lapisan ekonomi kelas atas dan disitu mereka ada didalamnya. Analisis Gramsci yang lebih kongkrit akan intelektual organic adalah penjelasanya pada peran kelompok dalam Risorgimento. Bahwa dalam proses pengaturan hegemoni dan dominasi negara terjadilah perkembangan semua hirakhi kualifikasi dan pada aparat negara terdapt pekerjaan yang bersifat instrumental (ada proses jenjang yang a hirarkis). Seperti nya apabila diklasifikasi intelektual organic dari kelas kapitalis pada abad XX maka terbagi menjadi;[18]
1.      Dalam bidang produksi; para menejer pabrik, insinyur, teknisi.
2.      Dalam masyarakt sipil; politisi, penulis, akademisi, wartawan.
3.      Dalam aparat negara; pegawai negri, tentara dan polisi, jaksa dan hakim.

Kembali pada pandangan Gramsci akan intelektual organic. Dia percaya bahwa jika kelas pekerja ingin beranjak dari kelas rendah untuk mengambil alih kepemimpinan bangsa, dan membangun kesadaran politik melalui reformasi moral dan intelektual yang menyeluruh, mereka harus menciptakan kelas rganiknya sendiri. Gramsci secara ‘ilustratif’ menggunakan istilah elite untuk menjelaskan orang-orang yang mengkhususkan diri untuk menjalankan kepemimpinan.

                Kesadaran diri yang kritis berarti, secara histories dan politik adalah penciptaan elit intelektual. Masyarakat umum tidak ‘membedakan’ diri mereka, tidak pula menjadi independent dalam hak-hak nya sendiri tanpa – dalam pengertian yang paling umum – mengorganisir diri sendiri; dan tidak dapat organisasi tanpa intelektual; yaitu tanpa organisator dan pemimpin….. ] Namun proses penciptaan intelektual ini berlangsung lama, sulit, penuh dengan pertentangan, melalui proses maju dan mundur, bubar dan membentuk kembali, dimana kesetiaan masyarakt benar-benar diuji (SPN 334)

Selain itu juga harus memahami, hubungan antara kelas dan kaum intelektual organiknya bebeda dengan kelas kapitalis dan kelas pekerja. Gramsci berpendapat bahwa partai revolusioner haruss memainkan peran kunci sebagai intelektual organik kelas pekerja. Jadi, seluruh anggota partai harus dianggap sebagai intelektual. “Sebuah partai paling tidak sedikit banyak adalah kumpulan dari orang-orang yang berpendidikan tinggi atau menengah, namun hal ini bukan menjadi syararat pokok (baku). Yng penting adalah fungsi kepemimpinan dalam sebuah organisasi, yaitu fungsi pendidikan dan intelektual” (SPN 16). Seperti apa yang dikatakan Togliatti dalam salah satu kuliah nya tentang Gramsci, suatu partai seharusnya menjadi ‘kulmpulan kaum intelektual’. Namun asumsi ini bukan berarti, bahwa partai revolusioner menjadi satu-satunya kelompok inelektual organic dari kelas pekerja. Seharusnya setiap anggota partai diposisikan menjadi intelektual organic, dan bukan berarti setiap intelektual organic dari kelas pekerja menjadi anggota partai. Harus ada pembagian tugas dalam kalangan intelektual Marxis, bukan hanya sekedar merenung dan membangun sebuah teori baru akan tetapi juga harus emansipatoris dalam gerakan demokrasi-pekerja.[19]

Penutup

Mulai membaca lagi dari gagsan Gramsci, adalah memberi sebuah wacana baru dalam cakrawala berfikir Marxisme. Gramsci meletakkan gagasan baru nya dalam tradisi Marxist, mejadi suatu upaya untuk ‘revitalisasi’ teori Marx klasik dalam menganalisis situasi perkembangan kapitalisme. Dia menjadi pelopor baru dalam generasi Marxist, yang menolak akan deterministic-Marxisme yang seolah-olah justru akan menengelamkan Marxisme itu sendiri dan menyurutkan perjuangan demokrasi kelas pekerja. Walaupun masi ada beberapa hal yang ‘misterius’ dalam karyanya, karena dia menuliskan artikel lepas untuk menggambarkan pemikirannya.  Ada beberapa gasan yang menarik dan sampai hari ini tetap memiliki tradisinya sendiri, yaitu meletakkan variable intelektual dalam konteks perjuangan Marxisme untuk membangun sebuah Hegemoni yang tidak mendapatkan ruang (dislocatori) untuk menyuarakan hak-hak nya. Cara berfikir seperti ini dilanjutkan oleh Mazhab-Frankfurt seperti; Adorno, Horkhemer, Heerbert Marcuse; yang biasa dikategorikan western-marxist, sampai hari ini Habermas yang kembali menghidupkan pola berfikir Gramscian.

Setelah memahami beberapa gagsan Gramsci, ternyata mulai terlacak bahwa hal yang terpenting dalam korelasi kekuasaan adalah Hegemoni. Bagaimana sebuah hegemoni bisa dibaca (dipetakan) untuk membatu memahami watak kekuasaanya. Awalnya consensus menjadi sebuah legitimasi kekuasaan, cara ini memang sah dalam perjuangan pengambilalihan kekuasaan. Untuk mendapatkan suatu dukungan riil dari masyarakat, kita perlu memperluas perjuangan politik (dengan merangkul setiap elemen yang sama dalam kondisi ter-hegemoni), hal ini terwujud dalam ragam issue yang terejawantahkan dalam Nasional-kerakyatan. Karena dengan cara ini setiap kelompok merasa terakomodir kepentingan politik nya. Gerakan ini harus terus diperjuangakn, bahkan samapai titik tertentu harus meng-ekspansi ruang-ruang politik informal. Artinya rembesan issu itu harus memiliki pengaruh yang kuat dalam ruang politik formal, yang cenderung pada kaum elite (intelektual) juga dalam rangka mengalahkan consensus lama (rezim). Dalam proses ini Gramsci mengatakan bahwa akan terjadi perang posisi untuk mengisi jabtan-jabatan strategis, dan proses ini dalam rangka perjuangan dengan cara ‘revolusi pasif’. Eperti Ketika posisi penting sudah diduduki, tidak aka ada artinya apabila dukungan masyarakat (grass root) sangat lemah. Masyarakat sipil, seperti apa yang  dikatakan Gramsci juga harus ikut dan berperan dalam partisipatif tataran praxis perjuangan demokrasi rakyat. Maka dari itu masyarakat sipil perlu memperkuat ‘koalisi’ nya dalam rangka ber-dinamika dengan kekuasaan negara. Dari semua tahap perjaungan, yang menjadi kunci (key words) adalah intelektual organic seperti yang sudah saya jabarkan.

Memasukkan Tan Malaka, dalam kasus Indonesia juga penting hal ini menginat corak perjuangan Tan Malaka dalam memmobilisasi rakyat memiliki beberapa kesamaan dengan gagasan Gramsci. Yang persis menjadi satu ide adalah, kekberadaan parlemen yang sangat penting dalam perjuangan. Selain itu issue yang bersifat nasionalis perlu terus menjadi propaganda untuk meraih kemenangan kelas pekerja. Cara pandang ini jelas sangat terbuka untuk di perdebatkan dalam ruang khazanah Marxisme secara ilmiah.

BIBLIOGRAPHY


Laclau, Ernesto & Mouffe, Chantal, Hegemoni dan  Strategi Sosialis (terj.).  Resist Book: Yogyakarta, 2008.

Malaka, Tan, Aksi Massa. Narasi: Yogyakarta, 2008.

Patria, Nezar & Arief, Andi, Antonio Gramsci, Negara & Hegemoni. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2003.

Simon, Roger, Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Pustaka Pelajar – Insist Press:  Yogyakarta, 2004.

Sugiono, Muhadi, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006.

Townshend, Jules, Politik Marxisme. Jendela: Yogyakarta, 2003.


[1] Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci. (Pustaka Pelajar dan INSIST; Yogyakarta. 2004) hal. 20-21
[2] Ibid, hal. 21-22.
[3] Program Erfurt (1891) adalah, dimana Marxisme menjadi landasan dasar teori Partai Demokrasi Sosial Jerman (SPD). Setelah masa penindasan yang dialami oleh partai karena undang-undang anti-sosialis, diprediksilah masa yang gemilang atas runtuh nya tata borjuis-kapitalis serta perwujudan masyarakat sosialis. Progam ini besar pengruh nya dari Karl Kautsky dan Eduard Bernstein, serta dimulainya perdebatan revisionis Marxisme antara mereka dan Rosa Luxemburg.
[4] Jules Townshend, Politik Marxisme. (Jendela; Yogyakarta. 2003) hal. 30-33
[5] Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni. (Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2003) hal 123-124.
[6] Ibid, hal 126-127
[7] Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci. (Pustaka Pelajar dan INSIST; Yogyakarta. 2004) hal. 34-36.
[8]Ibid,  hal. 55-56
[9] Tan Malaka, Aksi Massa.  hal. 97-102
[10] Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci.  hal. 58-60
[11] Dalam Hegemoni dan Strategi Sosialis (terj.), Daniel Hutagalung menabsirkan bahwa transformisme bisa dilihat sebagai sebuah tipe difensif dari politik, yang diikuti oleh  kekuatan hegemonic dalam sebuah situasi krisi ekonomi dan poliik, yang melibatkan absorpsi secara gradual namun terus menerus, dilcapai melalui metode yang selalu berubah-ubah sesuai dengan efektifitas dari elemen-elemen aktif yang diproduksi oleh kelompok-kelompok yang beraliansi – dan bahkan dari kelompok-kelompok atau individu yang merupakan kelompok antagonistic dan kelihatnya meupakan lawan yang tak terdamaikan.
[12] Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci.  hal. 100-101
[13] Ibid, hal. 103-105
[14] Ibid, hal. 107-108
[15] Gramsci menyebut ‘saintieme kasar’ adalah dikarenan analisis yang tendesi kearah deterministic-Marxisme sehingga seolah-olah Marxisme menjadi sangat kaku dan “Dogmatis”, sedangkan ‘ekonomisme primitive’ karena Gramsci memahami perkembangan kapitalisme dalam fase “korporasi”.
[16] Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. (Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2006) hal. 21-24
[17] Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni. (Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2003) hal 159
[18] Dalam halaman selanjutnya Roger Simon mempertentangkaan golongan intelektual organic yang dikategorikan Gramsci menjadi tiga clutster ini. Mereka tunduk pada  sebuah profesionalitas kerja.
[19] Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci.  hal. 148-150

1 comment:

  1. Irisan tautan link iku dilansirkan di: http://blog.insist.or.id/insistpress/?p=2883

    ReplyDelete