Sunday 12 June 2011

Ledakan Konsumeristik dalam "Late of Capitalism"

ABSTRAKSI

            Makalah ini saya tulis bukan hanya sekedar untuk memenuhi tanggung jawab saya dalam mata kuliah Ekonomi Politik. Tapi jauh didalam pikiran saya, akan coba saya tuangkan dalam tulisan ini. Terjadi sebuah kegelisahan dalam diri saya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi saat ini. Era globalisasi tidak habis-habis nya membuat saya mencoba berfikir lebih kritis terhadap kondisi ini.
            Globalisasi, kata ini lah yang membuat sebuah kegelisahan dalam diri saya dan juga mungkin orang-orang disekeliling saya. Alasan saya yang paling mendasar adalah, ketika globalisasi dapat merusak kearifan lokal (Local Genius).[1] Walaupun tidak selalu arus globalisasi melakukan sifat-sifat destruktif seperti itu, akan tetapi arus globalisasi memaksa untuk melakukan itu. Ketika hari ini ekonomi menjadi sebuah panglima tatanan masyarakat internasional,   secara otomatis aspek ini cukup menentukan dalam kehidupan kita hari ini.
            Bicara ekonomi berarti kita akan membahas supply-demand dimana produksi menjadi sebuah komoditas. Saya coba akan menarik korelasi antara globalisasi dan ekonomi dimana akan lahir nya sebuah pasar modal dalam skala internasional. Hal ini dirasa sangat mungkin terjadi dalam era globalisasi ini. Dalam situasi seperti ini timbul pertanyaan baru dari saya “apa? Menguntungkan siapa?” dari pertanyaan saya ini kita harus bisa menjawab apakah globalisasi ini terjadi secara alamiah atau sebuah pengkondisian, seperti yang coba di analogikan dalam sebuah buku:

“While the number of capitalist magnates continually falls…
There grows the mass of misery, oppression, slavery, degradation, and exploitation;
But with it, too, there grows the revolt of the working class,
a class always increasing in numbers, and discipline, united,
and organized by the very mechanism of capitalist production itself”[2]


PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
            Dalam kajian masalah yang akan saya paparkan memang sangat rentan dengan proses globalisasi. Dan atas permintaan saudara Ibnu Asqori Pohan, pola penulisan bersifat induktif yang mana dimulai pembahasan dari khusus ke umum akan coba saya penuhi sebatas kemampuan saya.
            Satu inspirasi saya dalam penulisan ini, adalah ketika saya mulai memperhatikan sebuah trend yang ada di Jakarta. Bagai mana hari ini remaja di Jakarta sangat gandrung dengan sebuah “vintage”[3] dalam berbusana dan berkarya. Dan remaja di Jakarta juga sudah mulai ramai membicarakan sebuah seni photo Warhol.[4] Sebenarya ini adalah sebuah fenomena yang wajar secara Jakarta adalah ibu kota Negara, dan segala sesuatunya bisa dikatakan dimulai dari kota ini. Akan tetapi dalam kewajaran ini sebenarnya saya tetap memiliki tanda tanya besar. 
Menjadi lebih menarik pembahasannya, ketika saya berdiskusi dengan seorang teman saya yang berkuliah di DKV (Desain Komunikasi Visual) Universitas Trisakti. Dia adalah salah seorang yang cukup paham literatur seni Warhol. Didalam tulisan ini saya tidak akan membahas apa itu Warhol secara spesifik, tapi yang menjadi pembahsan saya adalah ketika kawan-kawan saya mulai mengunakan kaos (T-Shirt) yang bertema vintage dan Warhol. Ini adalah sebuah kegelisahan yang bisa saya runut dalam tulisan saya di awal. Tulisan ini akan mencoba untuk mengungkap kegelisahan saya ini, apakah cukup kuat dan memiliki landasan atau sekedar phobia belaka terhadap globalisasai. Tulisan ini bukan sebuah wacana yang akan membuat para pembacanya menjadi alergi terhadap sebuah “globalisasi” tetapi lebih untuk paham dalam rangka memposisikan globalisasi itu sendiri. Dua kejadian, kesukaan terhadap kaos yang bertema vintage dan ketertarikan terhadap sebuah seni Warhol akan menjadi kajian yang menarik dalam tulisan saya ini.
Semoga tulisan yang saya buat dapat memberikan sebuah inspirasi baru, dan untuk lebih jauh lagi dapat dijadikan sebuah wacana diskusi.
I.2 Pembatasan Masalah
            Sebuah peryataan yang menarik menurut saya, dari seorang mantan Ketua MPR Amien Rais dalam seminar mahasiswa akhir 2005 bahwa gerakan mahasiswa pasca kejatuhan Soeharto telah berubah. Gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat, kini seperti “mati suri”. Aksi demonstrasi yang dilakukan untuk kepentingan rakyat tak banyak digelar, dan mahasiswa lebih banyak dibelenggu kemewahan hidup akibat kapitalisme (Kompas, 19-12-2005). Rupanya gejala ini juga paralel dengan kesimpulan Ariel Heryanto yang menyatakan secara parodis bahwa “yang kini melumpuhkan aktivisme bukan semprotan gas air mata Brimob, tapi semprotan parfum Paris”. Inilah manifestasi nyata jebakan-jebakan posmodernisme sebagai logika budaya kapitalisme lanjut.
Dua peryataan diatas adalah sedikit gambaran dari sebuah globalisasi, akan tetapi disini saya akan membatasi pemaparan saya agar tidak melebar dan tidak berisi dangkal. Pembahasan saya pertama saya akan membahas sebuah produksi T-shirt itu sendiri dalam sebuah konteks perdagangan global. Karena hal ini  terkait dengan fenomena trend sebuah pakaian yang di awal saya paparkan. Setelah itu saya akan berbicara sebuah populisme estetis[5] yang dilahirkan pada era posmo. Populisme esetis ini adalah alat dimana untuk memoles T-shirt tadi menjadi sebuah produk jadi yang siap didistribusikan terhadap para konsumen. Dalam tulisan ini saya juga akan membahas apa itu populisme estetis. Setelah itu saya juga akan coba untuk menawarkan konsep lokalisasi perdagangan “Trade of Localize”. Kaerena praktek ini dirasa cukup untuk menghempang perdagangan global yang banyak merugikan Negara-negara berkembang.
Dalam memaparkan tulisan saya ini yang bersifat induktif, pertama-tama saya melihat sebuah gejala yang terjadi dalam lingkungan sekitar saya. Ternyata setelah saya pahami menjadi dua spesifikasi pembahasan, yang harus saya jelaskan. Dalam bab II pertama saya akan membahas bagaimana ternyata industri pakaian telah di monopoli oleh Amerika, saya menyebut nya sebagai produksi komoditas. Setelah saya juga akan memaparkan bagaimana sebuah budaya yang populis lahir dalam era posmo yang menghasilkan sebuah komoditas estetis. Dua hal ini memang terpisah antara satu dengan yang lainya, namun saling mendukung dalam proses kapitalisme multinasional.


SIFAT KONSUMERISTIK YANG TERBANGUN
DALAM ERA GLOBALISASI

II.1 Kerangka Konseptual
            Dalam penganalisisan ini saya akan coba dengan melakukan pendekatan teori-teori Marxist. Ernest Mandel adalah seorang teoritisi Marxist dan aktivis gerakan pekerja yang cukup popular dikalangan Marxist. Dalam pembahasan saya kali ini akan banyak mengunakan perspektif pemikiran dalam terminology Marxist. Pemikiran Ernest Mandel akan saya gunakan menjadi alat dalam membongkar kapitalisme global.

A.Produk Surplus Sosial
            Selama produktivitas kerja pada tempat dimana seseorang hanya dapatt menghasilkan untuk menghidupi dirinya sendiri, pembagian social tidak terjadi dan deferensiasi tidak mungkin terjadi. Dalam kondisi tersebut semua individu bertindak sama sebagai produsen, dan pada tingkat ekonomi yang sama.
            Setiap ada peningkatan dalam jumlah produksi yang dihasilkan diatas titik terendah suatu kebutuhan, maka akan menghasilkan surplus kecil. Dan ketika itu terjadi, manusia akan terus melakukan sebuah perjuangan untuk membagikan surplus, karena produksi untuk dirinya sendiri sudah cukup terpenuhi. Sejak saat itu polarisasi dalam masyarakat mulai terbentuk, dan melahirkan sekelompok masyarakat untuk lepas (tidak melakukan apa-apa) dalam kegiatan produksi
            Ketika sudah terjadi sebuah kondisi seperti ini, sekelompok masyarakat itu menjadi berkuasa dan kelompok masyarakat yang lainnya dibebankan dalam rangka memenuhi kebutuhan produsennya. Sejak saat itu, kerja produsen dibagi menjadi dua bagian.bagian pertama dia harus berkerja untuk memenuhi kebutuhan nya sendiri dan situasi ini disebut kerja kebutuhan. Bagian yang lainnya digunakan untuk menjaga kelas yang berkuasa (kelas ini melepakan kegiatan berproduksinya, dan melimpahkan terhadap kelas yang lebih rendah) dan hal seperti ini dsebut surplus kerja.[6]

B.Komoditi, Nilai Guna dan Nilai Tukar
            Setiap produk dari kerja manusia memiliki kegunaan, dia harus bisa memuaskan kebutuhan manusia. Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa setiap hasil produk manusia memiliki nilai guna. Istilah ini akan diguanakan dalam dua makna yang berbeda kita akan berbicara tentang nilai guna komoditas dan kita juga akan berbicara tentang nilai gunakita bisa pahami dalam sebuah contoh masalah; pada sebuak masyarakat dimana hanya nilai guna yang dihasilkan, hal itu untuk mengatakan, dimana produk itu dihasilkan untuk dikonsumsi oleh produsen itu sendiri atau oleh kelas yang berkuasa yang mengambil alih nya.
            Bersama dengan nilai guna tersebut pruduk manusia juga bisa mendapat nilai yang lain, yaitu nilai tukar. Nilai tukar dapat dihasilkan untuk pertukaran di pasar, dengan tujuan untuk dijual, ketimbang ntuk dikonsumsi sendri oleh produsen atau oleh kelas yang berkuasa. Sebuah produksi masal yang memiliki tujuan untuk dijual, tidak bisa lagi dilihat sebagai nilai produksi yang sederhana; hal itu adalah sebuah produksi komoditas.
            Komoditas, oleh karena itu, adalah produk yang dibuat untuk di pertukarkan di pasar, berbeda dengan produk yang dibuat untuk konsumsi langsung. Setiap komoditas harus memiliki nilai guna dan nilai tukar.
            Dalam masyarakat kapitalis, produksi komoditas, produksi nilai tukar telah mencapai perkembangan terbesarnya. Produksi komoditas adalah salah satu bentuk masyarakat dalam sejarah manusia dimana bagian besar dari produksi adalah komoditas. Namun tidak benar jika semua produk dibawah kapitalisme adalah produksi komoditas. Dua kelompok dari produk merupakan nilai guna.
            Kelompok pertama adalah semua hasil dari produksi yang dihasilkan oleh petani untuk konsumsinya sendiri, semuanya dikonsumsi secara langsung dimana lahan pertanian itu menghasilkan produksi itu sendiri. Produksi untuk konsumsi sendiri oleh petani, hanya terjadi didalam Negara kapitalis maju seperti Amerika Serikat (USA), meskipun hal tersebut hanya merupakan bagian kecil dari seluruh produksi pertanian. Secara umum semakin terbelakang pertanian di sebuah Negara semakin besar produksi pertanian yang dikonsumsi sendiri. Faktor tersebut membuat sulit untuk menghitung secara tepat pendapatan nasional di Negara seperti itu.
            Kelompok kedua produk dalam masyarakat kapitalis bukanlah komoditas tetapi tetap nilai guna yang terdiri dari semua hal yang yang dihasilkan dirumah. Meskipun terdapat banyak fakta bahwa kerja manusia cukup banyak dalam keterlibatan produksi rumah tangga seperti itu, hal tersebut masih merupakan produksi nilai guna  dan bukan produksi komoditas. Ketika semangkuk sup dan sebuah kancing dijahit itu bukan merupakan produksi untuk pasar. Munculnya produksi komoditi dan kemudian regularisasi dan generalisasi nya secara radikal telah merubah cara kerja manusia dan cara manusia menata masyarakat.[7]

II.2 Menelusuri Produksi Sebuah T-Shirt dan Memahami Ledakan Budaya
            Cerita ini dimulai ketika seorang teman saya meminta untuk pergi bersama dengannya ke sebuah distro (toko pakaian) dibilangan Jakarta selatan. Setelah sampai kami di toko itu, kami mulai mencari pakaian yang cocok untuk nya dan kebetulan saya juga mencari untuk saya pribadi. Dan akhirnya teman saya tertarik dengan sebuah kaos berwarna biru agak pudar seperti sudah usang, dengan gambar Superman dan dibawah gambar itu tertulis “I’ll save the World, cause I’m A Hero” dengan font yang cukup menarik. Sebelum dia membayar barangnya dan mengantar nya ke meja kasir, saya memberikan beberapa pertanyaan kepadanya. Pertanyaan yang pertama, kenapa dia memilih warna biru warna itu kurang cocok dengan kulitnya yang agak hitam. Yang kedua kenapa pilihan gambarnya jatuh pada gambar Superman, padahal dia bukan seorang pecinta komik-komik patriotis jagoan Amerika dan dia juga tidak begitu suka Film jagoan-jagoan Amerika.
            Jawabannya justru membuat saya sedikit berfikir, menurutnya gambar Superman sedang menjadi sebuah icon dalam berbusana di Jakarta hari ini, dan sebenarnya dia tidak bisa memaknai tulisan yang ada dibawah gambar itu. Mungkin yang ada di otaknya kalau lah ada sosok seperti Superman maka dunia ini akan aman di tangannya, walaupun logika berfikir seperti itu adalah sebuah pemikiran yang fiktiv. Dan akhirnya dia membayar beberapa belanjaannya termasuk kaos yang sempat kami diskusikan sebelumnya. Total semua belanjaan nya Rp 150.000, dan menurut saya saat itu katun yang menjadi bahan kaos tadi cukup relevan dengan harga Rp 90.000.
Selang beberapa minggu saya pergi untuk mencari buku, setelah itu saya pergi ke sebuah gedung disebelah kanan toko buku yang saya masuki. Gedung itu adalah sebuah Factory Outlet[8], yang semua isinya adalah barang import dari luar negri terutama Amerika karena sampai saat ini masyarakat Indonesia masih cukup bangga untuk mengenakan barang-barang dengan branded termashur dari Amerika. Ketika saya memasuki gedung ini suasana nya sangat berbeda dengan distro yang sebelumnya saya kunjungi. Jumlah pakaian yang dijual tiga kali lipat lebih banyak dari distro kecil yang barang-barang nya berasal dari produk estetis pemuda Bandung. Di F.O ini menjual dari mulai pakaian dalam sampai mantel tebal yang digunakan untuk musim dingin, walaupun padahal Indonesia tidak pernah mengenal musim dingin.
            Akhirnya saya coba melihat kaos-kaos yang dipajang diatas etalase. Saya tertarik dengan salah satunya, kaos itu berwarna abu-abu cerah dan didepannya ada tulisan “The Beatles” lalu dibagian belakangnya tertulis “Born in Liverpool”. Niat saya untuk membeli semakin kuat, lalu saya melihat harganya dan disitu tertulis Rp 60.000 dan yang membuat saya heran katun yang menjadi bahan dari kaos jauh lebih bagus dibanding katun kaos yang dibeli teman saya beberapa minggu yang lalu dengan harga Rp 90.000. Kejadian  ini sebenarnya cukup membingungkan, namun ini biasa terjadi di setiap F.O.
            Sebelum saya membayar, saya melakukan pengecekan kepada setiap bagian dari kaos yang akan saya beli. Ternyata setelah saya lakukan secara teliti saya mendapati jaitan yang tidak simetris antara bahu kri dan kanan, yang berdampak lengannya menjadi panjang sebelah. Dan hampir semua yang ada di raknya memiliki kecacatan (walaupun skala kecil). Ini membuat saya berfikir bahwa semua barang yang dijual di gedung yang mewah dan indah adalah tempat menjual barang retur dari pabrik garmen pakaian luar negri. Dan saya menjadi lebih bingung lagi setelah saya tahu bahwa retur-produksi di Negara maju di kategorikan sebagai Limbah pabrik, dan yang lebih anehnya lagi pemerintah tidak melakukan sebuah tindakan apapun. Artinya masyarakat telah tertipu cukup besar dengan gedung yang megah dan label “made in USA”. Sejak saaat itu saya memiliki sebuah pertanyaan besar terhadap garmen pakaian jadi. Sampai akhirnya saya menemukan sebuah buku dan teori yang pas untuk memahami kondisi seperti itu.

A. Amerika Sebagai Negeri Penghasil Kapas Terbesar
            Amerika sebuah Negara besar yang tidak hanya berjaya di sektor Industri teknologi, tetapi ternyata juga memiliki pengaruh dalam sector pakaian terutama penghasilan kapasnya.
            Secara kasat mata, kapas mungkin tidak menonjol menjadi barometer kesuksesan ekonomi masyarakat Amerika. Selama ini paradigma kita berorientasi bahwa Industri baja Amerika bersaning dengan Jepang, atau perusahaan obat-obatan bersaing dengan Swiss. Karena alasan iklim yang tidak baik untuk kapas jadi pernyataan ini menjadi kabur. Karena ternyata sebuah ikllim yang tidak baik untuk kapas. Ternyata terjadi sebuah hegemoni industri garmen mulai dari hulu sampai hilir. Mulai dari pertanian kapas sampai desain model yang disiapkan untuk didistribusikan. Sementara gambaran persaingan yang keras terhadap para petani yang dialami oleh petani di Asia selatan dan afrika, memang benar terjadi. Namun terkecuali terhadap petani kapas di Amerika, karena para kelmpok petani Amerika dalam setiap tahun selalu ada di puncak. Padahal komoditas ekspor di Negara ini terus melakukan defisit sejak  tahun 1975.
            Oxam sebuah organisasi amal Inggris, memiliki jawaban untuk memaparkan kondisi tersebut. Menurut Cultivating Poverty, sebuah laporan mengenaskan pada tahun 2002, keuntungan komparativ petani kapas AS adalah kemampuan mereka mengumpulkan dari subsidi pemerintah. Di musim gugur 2003, Oxam termotifasi untuk melakukan riset dan pengalian informasi, Negara-negara miskin meneriakan kecurangan pada pembukaan pembicaraan dagang WTO di Cancun, Meksiko. Para Negara miskin tegak melawan para negosiator AS. Mereka beranggapan kuat bahwa kebijakan subsidi pemerintah AS terhadap petani nya adalah jalan menghalangi penghapusan kemiskinan. Dan sangat tidak mungkin apabila para petani di Negara miskin mampu bersaing dengan petani AS yang mendapat subsidi dari Negara nya.[9] Dengan adanya kritikan tjam dari Negara miskin, bahwa US yang mendengung-dengungkan sebuah pasar bebas justru melangar janjinya sendiri. Sampai akhirnya Negara-negara miskin mendesak WTO dan akhirnya mengancam akan mengundurkan diri. Setelah keluar statement seperti itu, musim gugur 2004 WTO menyatakan bahwa kebujakan pemerintah AS dalam memberikan subsidi adalah salah dan melanggar perjajian WTO.

B. Amerika Memberikan Subsidi Kepada Para Petaninya
            Seperti yang sudah saya paparkan sebelumnya, bahwa pemerintah AS melakukan kecurangan terhadap petani di Negara miskin dengan cara memberikan protektorat terhadap petaninya sendiri. Karena dalam sejarahnya para petani kapas cukup memiliki pengaruh politik cukup kuat.
            Menurut beberapa pengamat untuk keuntungan komparatif petani kapas, didapatkan dari bantuan teman-teman nya di pertanian bidang lain. Misalnya dalam hitungan Acre perhari, subsidi petani kapas dibayarkan 5 sampai 10 kali lebuh tinggi dari pada petani jagung, kacang kedelai, gandum. Regulasi ini diatur dalam Farm Bill yang dilahirkan tahun 2002.kebijakan ini sangat bersahabat didalam kalangan petani kapas.
            Di bawah 2002 Farm Bill, para petani kapas menerima bayaran 0,66 sen per satu pon kapas. Sebagai tambahannya setiap petani dijamin dengan pembayaran minimum pada “Loan Rate”  (tingkat penjaman). Dengan harga yang ditentukan dalam legislasi farm Bill, di harga 52 sen per satu pon terakhir, penanam juga berhak mendapat “counter-cyclical payments” (pembayaran siklus terbalik), yang akan diberikan apabila pendapatan petani per sat pon dari pembayaran langsung plus loan rate  (atau harga pasar, kalau lebih tinggi) ternyata lebih rendah dari harga target, yaitu 72,24 sen per satu pon. Totalnya, 2002 Farm Bill membuat pendapatan petani naik hingga minimal 72,24 sen per sat pon. Dengan harga rata-rata kapas dunia pada tahun 2004 adalah 38 sen per sat pon, jadi efek dari provisi ini adalah untuk menjamin para petani kapas AS mendapatkan harga dengan dua kali kelipatan harga kapas mereka. Untuk periode 22 tahun yang terakhir dalam periode 2002 Farm Bill, rata-rata harga pertanian untuk kapas AS adalah 59 sen per sat upon, dan rata-rata subsidi langsung adalah 19 sen per sat pon. Hasilnya, subsidi langsung mencakup hingga sepertiga nilai pasar untuk produksi dalam periode ini.[10]
            Dalam pemaparan diatas sudah sangan jelas bahwa sesungguhnya Amerika sendiri yang menjadi patron dalam perdagangan bebas, justru melanggar dari perjanjian perdagangan bebasnya. Regulasi Farm Bill adalah sebuah kebijakan nasional AS yang sangat jelas memberikaran proteksi subsidi untuk menjaga eksisitensi para petanai kapas. Dan berdampak sangat negative terhadap petani di Negara miskin.

C. Lahir nya Era Posmodernisme
            Gejala posmodernisme sebagai fenomena kebudayaan mulai menampakkan wajahnya yang khas kira-kira sejak akhir 1950-an dan awal 1960-an. Di masa-masa ini rupanya dunia telah berkembang sedemikian jauh melampaui masa-masa sebelumnya yang ditandai dengan berbagai perubahan radikal baik dalam lapangan kemasyarakatan, kesenian, kebudayaan, kesusasteraan, dan dunia arsitektural (Fredric Jameson, 1999: 1-3)[11]. Dalam bidang kesenian, misalnya. Muncul penolakan estetis dan ideologis terhadap gerakan seni modern, seperti: penolakan terhadap ekspresionisme abstrak dalam lukisan. Dalam kesusasteraan, muncul penolakan atas keyakinan adanya representasi final dalam novel dan juga atas aliran puisi modernis sebagaimana yang dikanonisasikan dalam karya Wallace Stevens. Sementara itu dalam pemikiran dan filsafat muncul penolakan atau kritik terhadap eksistensialisme, dan juga ditandai oleh lahirnya sejumlah mode pemikiran yang menyebut gejala-gejala “krisis” atau “kematian”, seperti “kematian ideologi”, “kematian seni”, “kematian kelas sosial”, atau “krisis Leninisme”, “krisis demokrasi sosial”, “krisis negara kesejahteraan” dan seterusnya.
Bersamaan dengan padamnya corak gerakan budaya modern tersebut, lalu muncul bentuk-bentuk ekspresi wajah budaya baru yang coraknya tampak lebih heterogen, empiris dan chaotic. Misalnya dalam seni populer, terdapat photorealisme; dalam musik ada sintesis style-style klasik dan populer seperti dalam karya-karya Phil Glass dan Terry Riley; ada budaya punk; ada gelombang baru musik rok, seperti the Beatles dan the Stones; sementara dalam film ada sinema dan video eksperimental dan juga tipe baru film-film komersial lainnya.
Selain itu ada juga gejala lain yang menunjukkan perubahan yang sangat jelas dan dramatis, yakni dalam dunia arsitektur. Bahkan bagi Jameson, perubahan dalam dunia arsitekturlah awal munculnya perdebatan seputar konsepsi posmodernisme ini. Jameson membedakan apa yang disebut dengan bentuk arsitektur modernisme tinggi (high modernisme) dan arsitektur posmodernisme. Menurut Jameson, gaya arsitektural modernisme tinggi telah merusak karya cipta model kota-kota tradisional dan kultur lingkungan lama dan menggantinya dengan model bangunan tinggi dan menjulang yang secara sosial berkesan angkuh, elitis, terpisah dengan konteks lingkungan sekitarnya, dan tampak otoritarian. Sementara posisi arsitektur posmodern mengritik model semacam ini. Estetika posmodern bersifat lebih populis karena hilangnya batas-batas antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass/popular culture). Populisme ini bukan hanya tampak dalam estetika arsitektural, melainkan juga dalam bentuk budaya massa atau barang budaya komersial yang diproduksi secara massal dalam suatu industri budaya dan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat.

D. Menjadi Budaya Kapitalisme Lanjut
            Mulai dari pengamatan terhadap gejala budaya baru ini, Jameson rupanya secara cerdik berusaha membangun proyek intelektualnya. Menurutnya, gejala dominasi budaya dalam posmodernisme bukan sekedar fenomena perubahan style atau fashion belaka, melainkan juga fenomena sejarah. Dengan pernyataan ini sesungguhnya Jameson hendak mengungkapkan hubungan antara estetika atau transformasi sosial simbolik dalam ruang kebudayaan dengan transformasi historis mode produksi kapitalis. Dengan merujuk karya Ernst Mandel Late Capitalism (1972), Jameson menghubungkan tahap-tahap realisme, modernisme dan posmodernisme dalam momen estetis dengan tiga tahap fundamental dalam kapitalisme, yakni: tahap kapitalisme pasar klasik, kapitalisme monopoli (imperialisme) dan kapitalisme multinasional (late capitalism).
Ernest Mandel menguraikan tiga lompatan fundamental dalam evolusi teknologi mesin di bawah kendali modal. Pertama, produksi mesin dengan mesin uap tahun 1848; kedua, produksi mesin dengan mesin elektrik dan sistem pembakaran sejak tahun 1890; dan ketiga produksi mesin dengan mesin elektronik dan aparatus tenaga nuklir sejak tahun 1940-an. Periodesasi ini sekaligus menggarisbawahi tiga momen fundamental dalam kapitalisme: kapitalisme pasar, kapitalisme monopoli (imperialisme) dan kapitalisme multinasional. Menurut Mandel, kapitalisme multinasional merepresentasikan kapitalisme yang paling murni dari yang pernah ada karena telah melakukan ekspansi besar-besaran ke wilayah yang sebelumnya tidak dijadikan komoditas, seperti: penetrasi dan kolonisasi terhadap alam, kolonisasi wilayah estetika dan ketidaksadaran (unconciousness), yakni berupa penghancuran sistem pertanian prakapitalis dan kelahiran industri media dan iklan (Madan Sarup, 2003: 323-4). Mengikuti alur tahapan perubahan momen kapitalisme tersebut, Jameson lalu mengajukan sebuah analisis yang menyejajarkan posmodernisme dengan ekspansi komoditas budaya secara besar-besaran dalam tahap kapitalisme multinasional (late capitalism). Ia tampaknya masih mengikuti konsep basis-superstruktur Marx bahwa perubahan struktur ekonomis juga tercermin dalam perubahan kebudayaan meski hubungan ini sangat komplek.
Bagi Jameson, dalam era kapitalisme multinasional telah terjadi ledakan kebudayaan yang sangat luar biasa di segala aspek kehidupan yang ia sebut sebagai “dominan budaya” (cultural dominant). Di dalam cara mengada dunia seperti ini, konsep modern mengenai pembagian dan otonomi kerja dalam ruang-ruang sosial (ruang ekonomi, budaya, politik) telah runtuh: ruang budaya menjadi ruang ekonomi, sedangkan ruang ekonomi dan politik berubah menjadi bentuk-bentuk kebudayaan. Segala batasan-batasan produksi budaya era sebelumnya (modernisme) diterabas, tidak ada lagi kanonisasi atau institusionalisasi akademis modernis terhadap produk kebudayaan. Dalam pandangan Jameson, dominan budaya dalam era posmodern ini terjadi karena hampir semua “produksi estetis telah terintegrasi menjadi produksi komoditas” (Jameson, 1999: 4).[12]
Kepentingan ekonomi kaum kapitalis memaksa produsen untuk menghasilkan barang-barang yang selalu baru dan mendorong mereka untuk berinovasi dan terus bereksperimentasi menciptakan barang-barang yang baru. Era yang juga disebut posmodernisme ini ditandai oleh komodifikasi besar-besaran di hampir seluruh ruang kehidupan, baik terhadap alam fisik maupun terhadap tubuh manusia sendiri. Dengan kata lain, dominan budaya posmodernisme secara struktural adalah representasi kultural dan ideologis kapitalisme lanjut (late capitalism/multinasional capitalism) dan secara sosial diterima sebagai budaya konsumerisme.
Mengenai istilah “late capitalism” serta situasi dan kondisi di dalamnya, Jameson memberikan catatan yang menarik. Istilah itu berasal dari Madzhab Frankfurt, diantaranya Theodor Adorno, Max Horkheimer, dll. dan menunjuk pada bentuk kapitalisme yang datang dalam periode modern dan kini sedang mendominasi era posmodernisme. Jika late capitalism versi Madzhab Frankfurt ditandai dengan dua ciri esensial: jaringan kontrol birokrasi dan interpenetrasi kapitalisme negara, maka Jameson menambahkan versi late capitalisme tersebut dengan elemen-elemen baru posmodernisme, yakni:
  • Pertama, munculnya formasi-formasi baru organisasi bisnis yang bersifat multinasional dan transnasional yang melampaui tahap kapitalisme monopoli ala Lenin, yakni melampaui batas-batas nasional (Jameson, 1999: xviii-xix).

  • Kedua, internasionalisasi bisnis melampau model imperial lama. Dalam tata dunia kapitalisme baru, korporasi multinasional tidak terikat pada satu negara tetapi merepresentasikan sebentuk kekuasaan dan pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang satu negara manapun. Internasionalisasi ini juga berlaku dalam pembagian kerja yang memungkinkan eksploitasi yang terus berlanjut terhadap para pekerja di negara-negara miskin guna mendukung modal multinasional. Dalam hal ini Jameson lalu menunjuk pada “aliran produksi ke wilayah-wilayah dunia ketiga yang sudah maju, bersamaan dengan akibat-akibat sosial yang sudah lazim meliputi krisis buruh tradisional, munculnya profesional muda yang ambisius (yuppies) dan kelas elit (gentrification) pada skala global” (Jameson, 1999: xix).

  • Ketiga, dinamika baru yang tak seimbang dalam perbankan internasional dan pertukaran saham, termasuk utang dunia kedua dan ketiga yang sangat besar (Jameson, Ibid.). Melalui struktur perbankan yang seperti itu perusahaan multinasional Dunia Pertama mempertahankan kontrol mereka terhadap pasar dunia.

  • Keempat, munculnya formasi-formasi baru interrelasi media. Bagi Jameson, media termasuk salah satu produk baru kapitalisme lanjut yang sangat berpengaruh, seperti: print, internet, televisi, dan film, dan merupakan sarana-sarana baru bagi kaum kapitalis mengambil alih kehidupan kita. Melalui proses mediasi kebudayaan, kita semakin tergantung pada realitas yang dihadirkan media, yakni versi realitas yang dipenuhi secara dominan dengan nilai-nilai kapitalis.

  • Kelima, komputer dan otomatisasi (Jameson, Ibid.) Kemajuan-kemajuan dalam otomatisasi komputer memungkinkan produksi massal sampai pada taraf yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menghasilkan profit-margins lebih besar bagi korporasi multinasional.

  • Keenam, keusangan (planned obsolescence) (Jameson, 1999: 5). Jameson menyatakan bahwa dibalik produksi secara besar-besaran barang-barang yang selalu baru, baru dan baru lagi, dan terus menerus diperbarui agar tampak tak ketinggalan, dari baju sampai pesawat terbang, telah menandai fungsi dan posisi struktural yang semakin esensial bagi inovasi dan eksperimentasi estetik.

  • Dan terakhir adalah dominasi militer Amerika. Di balik dominan budaya posmodernisme, Jameson mengungkap sebuah kenyataan secara lugas bahwa “This whole global, yet American, postmodern culture is the internal and superstructural expression of a whole new wave of American military and economic domination throughout the world: in this sense, as throughout class history, the underside of culture is blood, torture, eath, and terror” (Jameson, 1999: 4).

 KESIMPULAN

III.1 Kesimpulan
            Setelah saya membahas semua permasalahan secara terinci sekarang sudah kita bisa menarik sebuah kesimpulan dari semua pemaparan saya. Dalam bab ini saya akan berusaha untuk menarik kesimpulan dari setiap rentetan gejala yang sudah mulai bisa menjadi pemahaman kita bersama.
            Dengan mengunakan pendekatan teori ekonomi Marxisme yag dijelaskan oleh Ernest Mandel, kita bisa memahami sebuah proses produksi pakaian yang di monopoli oleh AS. Kita bisa mengkorelasikan produksi garmen dalam konteks memiliki nilai guna dan nilai tukar. Sebuah pakaian yang diproduksi secara langsung di AS, pasti akan diserap pasar domestic juga baru setelah itu dilempar untuk didistribusikan secara global. Pakaian itu memiliki nilai guna nya ketika menjadi sebuah kebutuhan primer (sandang, pangan, papan). Pakaian dalam perkembangannya tidak hanya untuk menutupi tubuh manusia, tetapi juga sudah mulai membentuk sebuah  fashion (gaya berbusana yang menyangkut nilai estetis). Karena produksi pakaian ini adalah sebuah kebutuhan primer maka cukup memiliki peluang pasar yang bagus, pandangan seperti ini lah yang digunakan untuk melihat sebuah peluang. Walaupun ketika pakaian ini didistribusikan secara global tetap memiliki nilai guna seperti awalnya, namun sudah sedikit bergeser menjadi nilai guna komoditas karena akan dilempar kepada konsumen diluar.
            Pemberian subsidi yang besar terhadap petani kapas AS, yang mana kapas menjadi bahan baku dari industri garmen ini dapat mempengaruhi nilai tukar terhadap konsumen internasional. Artinya dengan pemberian intensif seperti itu, harga kapas petani AS tetap terjaga pada harga dalam negri dan stabilnya income profit petani kapas AS. Secara otomatis industri garmen dapat membeli harga bahan baku dengan harga yang cukup bagus dibanding industri diluar Amerika. Dengan WTO nya Amerika menggantungkan harapanya untuk terus melakukan propaganda industri yang mandiri (tanpa insentif pemerintah). Apabila strategi ini berjalan, maka secara otomatis industri pakaian AS bisa menaruh harga di bawah normal yang dapat menyerap pasar global secara pasti. Dan terus menghambat pertumbuhan ekonomi Negara berkembang.

III.2 Membangun Lokalisasi Ekonomi dan Strategi Perlawana Politik

A.Membangun Lokalisasi Ekonomi           
Lokalisasi adalah sebuah tindakan untuk menghempang dari sebuah kecenderungan praktek globalisasi. Praktek ini secara tegas membatasi atas pemahaman globalisasi, pemahaman ini berorientasi terhadap pembangunan ekonomi dan tatanan masyarakat local. Kebijakan nya adalah mengedepankan lokalisasi untuk membangun dalam setiap aspek masyarakat yang berdaulat. Karena dengan lokalisai ini bisa melepaskan dari depedensi kekuatan-keuatan kapitalis.
            Lokalisai ini tidak berarti membatasi segala perkembangan fisik yang ada pada era  gobal ini. Tetapi lebih memposisikan diri dan berani mengambil sikap terhadap aturan-aturan dan bantuan yang bersifat mengikat dan membuat sebuah ketergantungan. Dengan demikian maka lokalisasi bukan sebuah tingkat mundur, tetapi lebih kepada sebuah pembinaan Negara kearah yang lebih mapan dan mandiri.[13]
            Jalan kearah perwujudan kearah lokalisasi terdiri dari tujuh ranah kebijakan yang saling berkelindan dan menguatkan diri, yakni:
1.       Pemberlakuan kembali aturan-aturan pengamanan dan perlindungan khusus bagi perekonomian lokal;

2.       Suatu kebijakan “bikin dan jual disini” (site here- to sell here) untuk produksi barang atau jasa-jasa dalam negri dan kawasan;

3.       Melokalisir uang sedemikian rupa, sehingga sebagian besar beredar ditempatnya berasal;

4.       Kebijakan persaingan local untuk membatasi monopoli oleh system perekonomian yang lebih mapan dan terlindungi selama ini;

5.       Pemberlakuan pajak sumberdaya alam untuk lebih menjamin peberdayaan lingkungan hidup, dan membantu pendanaan kearah peralihan lokalisasi;

6.       Peningkatan partisipatis demokratis, baik secara ekonomi maupun politik untuk menjamin efektivitas gerakan kearah pemberagaman perekonomian local;

7.       Pengarahan kembali tujuan-tujuan dari peraturan-peraturan perdagangan dan bantuan pembangunan, sehingga lebih tertuju pada pembanguan kembali perekonomian local dan system pengendalinya;[14]


Paradoks yang membangun temporalitas posmodern adalah perubahan yang sedemikian cepat dalam fashion, gaya hidup (style), bahkan dalam keyakinan-keyakinan. Tetapi pada saat yang sama perubahan cepat ini juga disertai dengan standardisasi dunia kehidupan, karena kita bisa membeli komoditas yang sama di seluruh pelosok dunia (Sean Homer, 1998: 105; Madan Sarup, 2003: 257).
Berdasarkan paparan ini bersamaan dengan perubahan-perubahan penting dalam hegemoni ekspansi modal multinasional dan penetrasi, kolonisasi, serta komodifikasi semua bidang kehidupan, Jameson membuat kesimpulan yang sangat menarik: manusia posmodern tinggal dalam ruang yang disebut “global hyperspace”. Ruang yang tampak penuh dengan jebakan dan perangkap yang menggoda, menggiurkan dan sekaligus juga mengkhawatirkan.
Istilah ini terkait dengan dengan konsep Jean Baudrillard tentang “hyperreality”: yakni situasi dimana kedalaman (the depth) dan materialitas dunia real sedang jatuh dalam “kedangkalan” selera, rayuan komoditas dan godaan simbol-simbol pencitraan yang mematikan pikiran cerdas dan subjektifitas manusia. Manusia dan masyarakat posmodern larut dalam “kekinian abadi” dan tenggelam dalam “kedangkalan” budaya konsumer, serta tidak mampu menghubungkan kedalaman masa lalu dengan lingkungan masa kini. Dalam ruang hyperspace semacam ini, individu-individu tidak mampu membayangkan suatu masa depan yang berbeda dan tidak mampu memusatkan diri pada cita-cita dan sejarahnya, kecuali hanya jatuh dalam eforia berlebihan terhadap tontonan (spectacle) yang semu, gaya hidup yang superfisial dan citra konsumerisme yang berujung pada kehampaan diri (Jameson, 1999: 317).
Selain itu global hyperspace juga berdampak pada individu sebagai subjek politik. Menurut Jameson, individualisme dan identitas personal nyaris sekadar warisan masa lalu, bahkan sudah mati karena individu-individu itu kini telah masuk ke dalam realitas multidimensional jaringan global kapitalisme multinasional. Ruang hyperspace melahirkan problem politik. Individu sebagai subjek telah kehilangan peta, tidak mampu memahami posisi, ruang dan situasi historisnya di dalam hegemoni sistem kapitalisme.[15]

B. Strategi Perlawanan Politik
            Dari paparan di atas diperlihatkan dengan jelas bagaimana ruang budaya global posmodernisme menyediakan jebakan dan telah mengkooptasi subyek individual. Berbagai aktifitas resistensi budaya lokal dan intervensi politis pernah dilakukan oleh beberapa kelompok politik, namun diam-diam aktifitas itu layu, terlucuti dan bahkan terserap sendiri ke dalam pusaran arus sistem global itu karena ketidakmampuannya mengambil jarak dari kekuatan supra-sistem. Problem utamanya adalah subjek individu tidak memiliki kemampuan untuk memetakan jaringan komunikasi yang begitu terdesentralisasi dan bersifat multinasional dalam kekuasaan hegemonial kapitalisme global.
Oleh karenanya dalam konteks ini, Jameson menawarkan dua bentuk strategi resistensi budaya untuk melawan logika posmodernisme:
1.       Pertama, strategi homeophatik. Yakni suatu praktek budaya hegemoni-tandingan (counter-hegemonic cultural practices) yang dilakukan dengan cara menyerang citra spektakuler masyarakat kapitalisme lanjut dari dalam dengan menggunakan berbagai sumberdaya imagistik. Atau dalam bahasa Jameson sendiri “merusak citra dengan citra itu sendiri, dan dengan merencanakan logika simulakra dengan dosis simulakra yang lebih besar lagi”. Termasuk dalam upaya ini adalah membuat gangguan budaya, membuat praktek-praktek bermakna perlawanan, dan juga menolak nilai-nilai yang dikomodifikasikan.

2.       Kedua, strategi cognitive mapping. Strategi ini digunakan untuk memecahkan problem posmodernisme, seperti: simulasi media dan hyperealitas komersial, yang sudah melumpuhkan agen politik dan kehendak perubahan sosial. Caranya adalah mendorong individu dan masyarakat untuk menciptakan budaya politik baru dengan menyadari the truth of postmodernism sebagai ruang dunia kapitalisme multinasional. Tugas setiap individu adalah membuat terobosan untuk menciptakan cara baru merepresentasikan diri dalam berhubungan dengan ruang dunia kapitalisme global sebagai suatu keseluruhan (yang berbeda dengan representasi kapitalis), dan lalu mulai memahami positioning mereka sebagai individu dan subjek kolektif dalam ruang dan waktu historis, yang pada akhirnya melangkah untuk berjuang melawan dominasi logika kapitalisme (Jameson, 1999: 54).
Bagi Jameson, karena posmodernisme adalah logika budaya kapitalisme multinasional yang mengglobal dan total, maka strategi cognitive mapping pada dasarnya adalah strategi pemetaan dan perlawanan yang berangkat dari subjek-subjek individu yang berorientasi total dan global pula. Ini artinya Jameson hendak menekankan pentingnya formasi kesadaran kelas berskala global dan gerakan-gerakan terorganisasi lain berskala global untuk melawan totalisasi kapitalisme multinasional.[16]

DAFTAR PUSTAKA

Hines, Colin. Mengganti Globalisasi Ekonomi Menjadi Lokalisasi Demokrasi.
(Yogyakarta: Insist Press, 2005)

Kvale, Steinar. Psikologi dan Posmodernisme.
            (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)

Mandel, Ernest. Tesis-Tesis Pokok Marxisme.
            (Yogyakarta: Resist Book, 2006)

Plamenatz, John. German Marxism and Russian Communism.
            (London: Lowe and Brydone, 1956)

Rivoli, Pietra. The Travels of a T-shirt in The Global Economy.
            (Jakarta: Trans Media, 2006)

www.worldpress.co.id


[1] Sebuah kebiasaan atau system yang terbangun dalam masyarakat tradisional yang sudah tercipta berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun lamanya, sehingga tradisi ini sudah menjadi Ilmu terapan dalam masyarakat itu dan dilakukan terus turun menurun.
[2] John Plamenatz, German Marxism and Russian Communism, (London: Lowe and Brydone, 1956) hal.102
[3] Gaya berseni dengan menggunakan model tahun 1936’an agar terlihat usang.
[4] Andy Warhol seorang seniman posmo U.K yang cukup mendapat apresiasi dari kalangan istana Inggris.
[5] Gejala baru yang memungkinkan munculnya berbagai artefak budaya yang bisa dikonsumi secara masal.
[6] Ernest Mandel, Tesis-tesis Pokok Marxisme, (Yogyakarta: Resist Book, 2006) hal. 118-122
[7] Ibid, hal. 123-126
[8] Sebuah gedung yang seluruh ruangannya dijadikan etalase pakaian-pakaian yang akan dijual, tempat ini hampir memiliki kesamaan dengan Distro akan tetapi disini barang-barang lebih mendominasi dari import.
[9] Pietra Rivoli, The Travels of a T-shirt in The Global Economy (Jakarta: Trans Media, 2006) hal. 5-7
[10] Ibid, hal 64-65
[11] Fredric Jameson seorang kritikus budaya paling penting dalam tradisi berbahasa Inggris sekarang ini, dan dikenal sebagai penyokong utama tradisi teori kritis Marxisme Barat. Ia dikenal juga sebagai seorang teoritisi politik Marxis, sekaligus seorang kritikus sastra.
Jameson lahir di Cleveland, Ohio, pada tahun 1934. Setelah kuliah di Haverford College pada tahun 1954, ia bepergian ke Eropa dan mampir di Aix-en Provence, Munich dan Berlin, untuk belajar perkembangan baru filsafat kontinental termasuk strukturalisme. Berselang kemudian dia pindah Amerika dan mengambil studi doktoral di Yale pada tahun 1960 dan menggarap disertasinya dengan judul Sartre: the Origins of a Style, di bawah bimbingan Erich Auerbach, seorang ahli filologi Jerman yang juga pernah menulis sejarah style, yang lalu sangat berpengaruh pada Jameson.
[12] Steinar Kvale (ed.), Psikologi dan posmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) hal. 347-351
[13] Colin Hines, Mengganti Globalisai Ekonomi Menjadi Lokalisai Demokrasi (Yogyakarta: INSIST press 2005) hal. 8-9
[14] Ibid hal. 63-64
[15] www.worldpress.co.id
[16] Steinar Kvale (ed.), Psikologi dan posmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006) hal. 356-360

No comments:

Post a Comment