Sunday 12 June 2011

Sistem Pendidikan di Indonesia Pasca Sepuluh Tahun Reformasi

Latar Belakang

Reformasi…!!! Reformasi….!!! Seolah-olah kata ini menjadi sebuah semboyan pasti yang di jargonkan oleh setiap demonstran pro-reformasi, di Jakarta sebagai ibukota Negara jargon ini bagaikan membelah dua bagian antara yang pro-reformasi dan yang status-quo. Apapun ceritanya hari ini adalah zaman yang sudah mengalami proses sejarah yang tidak singkat, 32 tahun mulut rakyat Indonesia di bungkam oleh sekumpulan Laler Ijo (istilah penyebutan TNI oleh Tapol Pulau Buru) dengan senjatanya yang otomatis dan selusin amunisi yang jarang habis. Kondisi sebuah rezim Otoritarian-Birokratik nyaris berjalan sempurna. Kesadaran kritis intelektual aktifis pro-reformasi ternyata memberi sebuah inspiraasi baru terhadap peradaban Negara ini yang sudah setengah tenggelam dalam Negara yang otoriter.  Ternyata mahasiswa telah terbangun dalam tidurnya yang memakan waktu dua generasi. Ini bukan sebuah proses yang instant, sejak awal tahun 1996 kawan-kawan mahasiswa pada masa itu sudah kencang mendiskusikan kondisi pemerintahan orde baru. Di Jakarta beberapa kampus besar seperti UI, Atma Jaya, Tri Sakti, menjadi sebuah patron perjuangan mahasiswa.

Disini yang menjadi kunci adalah sebuah kesadaran kritis yang terproses pada masa itu, ditambah sebuah situasi yang mendukung akselerasi pergerakan Reformasi. Sebuah pendidikan monoton yang di selenggarakan oleh rezim orde baru, ketika semua buku-buku pelajaran ilmu social (PPKn, Sejarah, Tata Negara, dan Kesenian) yang menjadi orientasi kurikulum hanya bicara kebohongan demi sebuah Rezim yang korup. Seorang guru sejarah yang berdiri di depan papan tulis dengan berani mengajarkan kepalsuan sejarah dan mewajibkan siswa-siswi nya menghapal mati kata demi kata. Ini sangat ironis, dimana martabat sebuah pendidikan yang menjadi ujung tonggak regenerasi bangsa tidak berarti.

Sampai saat ini, dalam kenyataannya, negara tak pernah menjalankan secara konsekuen dengan amanat UUD 1945 dalam persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru, pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan.Bertambahnya populasi manusia Indonesia semasa Orde Baru tak pernah dihadapi dengan persiapan infrastruktur sosial, termasuk pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, pemerintah justru tak pernah dengan serius memperhatikan persoalan ini.

Pemerintah Orde Baru justru lebih membiarkan anak-anak Indonesia masuk ke dalam jeratan pendidikan swasta. Memang begitu banyak dibangun SD-SD Inpres, tetapi sangat jelas kelanjutan dari pendidikan dasar tersebut sangat tidak diperhatikan. Bahkan kini, program SD Inpres ini sepertinya sama sekali ditinggalkan, jika kita melihat begitu banyak gedung-gedung SD Inpres, terutama di daerah pedesaan, yang nyaris rubuh dan hanya memiliki beberapa orang guru saja untuk mendidik semua tingkat kelas yang ada.
Dengan pembenaran kesulitan semacam inilah, pintu untuk pendidikan swasta, di bawah naungan yayasan-yayasan yang kebanyakan bersifat keagamaan, masuk memanfaatkan segenap potensi pasar yang ada. Berdirilah sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang kini semakin jelas terlihat tujuan mereka sebenarnya: uang!

Seharusnya ini menjadi renungan kita bersama, untuk memperjuangangkan nasib generasi kedepan. Menjadi sebuah persoalan penting apabila pendidikan hari ini hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu. Bukankah sangat egois apabila Negara hanya boleh mengizinkan anak-anak yang memiliki uang untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan cukup. Lantas bagaimana nasib anak buruh, anak petani, anak tukang becak terlebih lagi anak jalanan yang tidak jelas statusnya. Mereka akan terlantar dan mendapatkan minim pendidikan formal, sebenarnya Negara sudah mengangkangi beberapa pasal yang terkait dengan hak-hak mendapatkan pendidikan dan kesejahteraan social. Prihal ini sudah termaktub dalam UUD’ 45 pasca amandemen ke empat dalam pasal 28 C (BAB XA Hak Asasi Manusia), pasal 31 (BAB XIII Pendidikan dan kebudayaan), dan pasal 34 (BAB XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial).
Dalam pemaparan ini sebenarnya kita sudah bisa meraba dan mennyimpulkan bahwa Negara sampai hari ini melenceng dari Konstitusi UUD’ 45, ditambah lagi praktek-praktek komersialisasi pendidikan lewat BHMN.

Praktek Komersialisasi dan Privatisasi Kampus

Pertama sekali saya berkuliah di USU, sepeda motor yang parkir hanya memenuhi setengah atau paling banyak dua pertiga dari luasnya lahan parkir, dan mobil-mobil bisa dihitung dengan jari. Tapi itu dua tahun lalu, sangat membingungkan saya hanya dalam waktu dua tahun pertambahan kendaraan sepeda motor dan mobil menjadi dua kali lipat dari sebelumnya. Ini bukan sebuah berita baik, kebijakan regular – mandiri adalah sebuah kebijakan yang membangun menara gading di kampus ini. Dan yang membuat saya tidak habis pikir Fakultas Ekonomi yang katanya akan membangun ekonomi rakyat, semua mahasiswa nya membawa mobil dari warna yang paling gelap sampai yang paling cerah. Yang menjadi catatan koreksi besar untuk mahasiswa hari ini adalah orientasi mereka, ketika mereka lebih suka ke mall dari pada ke perpustakaan, ketika mereka lebih suka membeli aksesoris kendaraan mereka dari pada buku, dan ketika mereka lebih banyak mengenal Jimmy Hendric (musisi legendaris) dari pada mengenal Karl Marx.

Fenomena ini menjadi sebuah hal yang biasa di kampus-kampus, mereka adalah anak orang mampu yang tidak pernah merasakan sussahnya untuk mendapatkan segengam beras. Dan mereka tidak memiliki beban moral yang besar atas keadilan social di Negara ini. Pertanyaan yang sangat mendasar adalah, apakah mereka ingin tahu sisi kehidupan para buruh, tani dan miskin perkotaan. Mungkin jawabanya tidak, namun sebagian kecilnya ragu, dan yang lebih kecil lagi mau. Tidak usah bicara berjuang untuk menghetaui kondisi riil massa rakyat yang masih jauh dari kesejahteraan social mereka tidak lagi tertarik. Ditambah lagi beberapa oknum dosen (khusus Dosen Ilmu Politik) yang hampir tidak memiliki tanggung jawab moral terhadap para mahasiswanya. Mereka seenaknya tidak masuk dan memberikan tugas yang sudah pasti tidak akan dibaca oleh sebagian dari mereka itu.

Sesungguhnya saya merasa sangat aneh, ketika bermasalah dengan ruangan di FISIP ini kita harus mencari kesana-kesini demi mendapatkan ruangan untuk berdiskusi. Ternyata masi ada yang lebih aneh dan arogan, ketika sebuah ruangan dalam lingkungan FISIP yang secara undang-undang milik (kepemilikan lahannya) Negara dan secara logika apapun yang dilakukan di kampus demi kemajuan mahasiswa ternyata di gunakan untuk proses pemenangan seorang bakal calon walikota Medan. Terserah apakah dia akan memenangkan kompetisi politik ini, itu bukan hal yang penting untuk diri saya dan mayoritas mahasiswa FISIP. Jelas sebuah komersialisasi pendidikan, ketika kawan-kawan mahasiswa Ilmu Politik harus PKL berdasarkan group dan superviser yang telah di tunjuk oleh Departemen. Mereka di sebar ke daerah Belawan dengan asumsi daerah ini masi minim partisipasi politik, yang justru menurut saya disana perdebatan politik praktis nya cukup kencang.

Dalam pemaparan ini saya rasa sudah cukup bisa mengangkat permasalahan dalam kampus. Sebuah praktek privatisasi kampus sudah jelas akan terlaksana pasca di tetapkannya USU menjadi salah satu BHMN. Ini akan membuka peluang lebih besar lagi kepada para birokrat yang tidak bertanggung jawab untuk menggadaikan Universitas-universias negri sekaligus menjual gelar mereka. Jalur KKN akan lebih terbuka luas, hanya para calon mahasiswa yang memiliki uang cukup baru bisa merasakan pendidikan dalam kampus USU. Hal ini memiliki relevansi dengan tingkatan kritis mahasisiwa dan posisi gerakan mahasisiwa. Seperti yang dipaparkan sebelumnya, ketika terjadi pergeseran orientasi mahasisiwa maka secara perlahan pergerakan mahasisiwa akan layu dan padam. Ini sebenarnya memlemahkan posisi tawar mahasiswa sebagai intelektual muda dalam proses pengkontrolan politik. Lalu pertanyaanya, apakah Negara kita akan sejahtera kalau nanti di kemudian hari para pengambil kebijakannya memiliki mental-mental yang dangkal?

Mahasisiwa dapat di ilustrasikan seperti sebuah produk yang di cetak oleh sebuah industri pendidikan lalu menjadi sebuah komoditas pasar tenaga kerja, pada akhirnya kemampuan modal juga akan menentukan orientasi mereka. Bukankah ini sebuah paradigma kapitalisme, dan bertentangan dengan beberapa pasal terkait seperti; pasal 28 C (BAB XA Hak Asasi Manusia), pasal 31 (BAB XIII Pendidikan dan kebudayaan), dan pasal 34 (BAB XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial). Apabila komersialisasi pendidikan ini dipertahankan maka system kapitalisme global dengan riang melahap kita tanpa sisa.

Sebuah problematika dalam Negara yang berkembang yang harus di pecahkan dan mencari sebuah solusi baik untuk lepas dari system yang menjerat seperti ini. Seakan modal-modal yang bisa dengan leluasa dari para pemilik nya kepada para penghutang sejati, sudah jauh lebih kuat dan dipercaya dibandingkan sebuah konstitusi Negara yang menjadi orientasi kebijakan. Bukankah ini seperti bentuk dari kolonialisme baru, menginvansi tidak lagi lewat sejata tetapi dengan kemampuan modal dan struktur penghetauan serta informasi yang masi dikuasai oleh para Imperialisme hari ini.

Bentuk Hegemoni dari Negara

Perlu kita pahami dimana posisi Negara Indonesia dalam isu seperti ini. Apakah Negara  memang sudah menjalankan konstitusinya dengan baik dan benar, atau justru sudah melenceng dan membelot kepada para pemilik modal. Bicara hegemoni  maka kita tidak bisa lepas dari seorang tokoh Neo-Marxis, Antonio Gramsci. Dalam terminology Marxis istilah hegemoni sudah tidak asing lagi. Sebelum Gramsci seorang Marxis Rusia, Plekanov sudah menggunakan istilah ini. Landasan pemikiran Plekanov tentang hegemoni harus dibangun untuk mengalahkan kekuasaan Tsar yang sewenang-wenang, model kepemimpinan yang Hegemonic Proletariat lah yang di tawarkan Plekanov. Aliansi-aliansi yang menetang pemerintahan Tsar harus di koalisi untuk membangun hegemoni yang kuat, perwakilan politik yang memperjuangankan hal ini seperti; borjuis kritis, petani, buruh, dan intelektual akademisi yang sejalan untuk menjatuhkan pemerintahan Tsar.[1]

Pemikiran Gramsci tentang hegemoni tidak hanya dipengaruhi oleh para tokoh Marxis, namun juga oleh tokoh besar di Italia yaitu Machievelli dalam menganalisis hegemoni. Konsep hegemoni nya dapat dielaborasi melalui penjelassan dari supremasi kelas; Supramasi sebuah kelompok mewujudkan diri dalam dua cara, sebagai ‘dominasi’ lalu sebagai ‘kepemimpinan intelektual dan moral’. Dan di satu pihak, sebuah kelompok social mendominasi kelompok-kelompok oposisi untuk “menghancurkan” atau menundukan mereka, bahkan mungkin dengan menggungakan kekuatan bersenjata; di lain pihak, kelompok social memimpin kelompok-kelompok kerabat dan sekutu-sekkutu  mereka. Sebuah kelompok social dapat dan harus menerapkan “kepemimpinan” sebelum memenangkan kekuasaan pemerintah (kepemimpinan tersebut merupakan salah satu dari syarat-syarat utama untuk memenangkan kekuasaan semacam itu). Kelompok social itu kemudian menjadi dominant ketika dia mempraktekkan kekuasaan, tapi bahkan bila dia telah memegang kekuasaan penuh di tangannya, dia masih harus terus “memimpin juga”. (Gramsci, 1976; 57-58)[2]

Gramsci memiliki perbedaan analisis dalam melihat Negara dan masyarakat sipil (civil society) dari teori Marx klasik. Walaupun keduanya sama-sama meliki landasan yang esensi dalam persepsi masyarakat sipil, yang mengadopsi dari filsafat Hegel. Gramsci justru melihat kekuatan sipil dalam  moment superstruktur, hal ini berbeda secara fundamental dari kaca mata Marxis klasik yang melihat dari basis-basis struktur (hubungan ekonomi). Garamsci percaya masyarakat sipil adalah faktor  kunci perkembangan kapitalisme, meskipun Marx lebih melihat dari hubungan ekonomi. Dia melihat superstruktur yang mewakili factor aktif dan positif dari perkembangan sejarah, serta memiliki hubungan ideology dan budaya yang kompleks, dari hubungan itu menjadi focus analisa yang lebih dari pada struktur. Sebenarnya Gramsci ingin keluar dari tradisi Marxis klasik, sehingga dia sangat yakin bahwa sebuah kekuatan masyarakat sipil yang aktif dan positif dapat membangun hegemoni dan menekan sebuah kekuasaan Negara. Keaslian pemikiranya, dimulai dari munculnya Marxisme yang dogmatic sebagai sebuah pendekatan teori untuk menganalisa kelas dari system produksi. Bagi Gramsci itu jstru pendapat Marx dalam materialisme vulgar yang hanya melihat dari basis-basis produksi. Secara umum Gramsci melihat sebuah Negara adalah dijalan kan dengan kedaulatan masyarakat sipil yang meiliki hegemoni. Berangkat dari supremasi kelas, maka kaum proletariat lah seharusnya membangun hegemoni dengan basis masyarakat sipil yang terorganisir.[3]

Paradigma Pendidikan Kritis[4]

Dalam paradigma pemikiran Freire tentang sebuah pendidikan kritis, adalah bagaimana sebuah pendidikan menawarkan kesadaran kritis yang bisa memerdekan manusia dari belenggu yang mengkungkung nya. Kuncinya menurut Freire adalah ketika esensi manusia yang meiliki penguasaan atas dirinya dan juga memiliki pengaruh terhadap manusia lainya (kelompok-kelompok) dengan sadar dapat mengajarkan nilai-nilai yang pada hakekatnya dimiliki setiap manusia untuk bebas dan merdeka. Pendidikan harus lah berorientasi terhadap pengenalan realitas social yang terus di reproduksi, berlandaskan pengalaman dari esensi manusia dan diri nya sendiri.

Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyaktif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya yang obyektif. Obyektifitas dan subyektifitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis. Keduanya adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg  (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang harus dipahaminya, dalam memahami keduanya harus memiliki sebuah dialektika pemikiran apabila akan terjagi kerancuan (ambiguitas) dalam pemaknaanya.[5]

Dalam penerapan system pendidikan tidak memerdekakan “anak didik” nya, malah justru akan mengkultuskan tokoh seorang pengajar. Anak didik hanya diposisikan sebagai sebuah bejana kosong yang akan penuh terisi oleh cairan apapun, yang diisi oleh para pendidiknya. Seperti bagaimana Freire menganalogikan pendidikan sebuah antogisme pendidikan “gaya bank” dimana terdapat fenomena yang terus menindas sebuah kesadaran manusia; guru mengajar – murid belajar, guru tahu segalanya – murid tidak tahu menahu, guru berpikir – murid di pikirkan, guru bicara – murid mendengarkan, guru mengatur – murid di atur, dll. System pendidikan yang seharusnya berjalan adalah, sebuah system pendidikan pembebasan bukan untuk penguasa (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan social-budaya. Pendidikan bertujuan penggarapan realitas manusia dan, karena itu., secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi total – yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut.[6]

Tindakan

      +                àààà        Kata        =               Karya          =                 PRAXIS

  Pikiran 




Perjuangan Lewat Pendidikan “Kesadaran Kritis”

Tanpa organisasi, tanpa teori, tanpa disiplin, tanpa usaha, tanpa refleksi terhadap praktek yang permanent tidak akan ada revolusi. Bagi Freire, revolusi selalu berkaitan dengan epistemology. Revolusi bukan tebakan, sekalipun ada dimensi tebakan dalam revolusi. Revolusi satu hal yang sangat serius, karena melibatkan kekuasaan, dan partai merupakan sarana fundamental bagi mobilisasi, untuk membuat impian revolusi menjadi kenyataan. (Paulo Freire)

Freire percaya pada masa sebuah transisi perubahan sosio-historis pada peradaban manusia, pendidikan revolusioner dapat menciptakan sebuah ,asyarakat baru yang lahir tanpa sebuah represifitas Undang-undang tetapi dengan sebuah kekuatan fantastik revolusioner yang di akselerasi dari pendidikan kritis. Setelah selesai pada tataran akar rumput “grass root”, barulah masuk pada perlawanan terhadap sebuah sitem borjuis, yang selalu mereproduksi sebuah kebudayaan demi kepentingan kelompok nya (hegemoni) yang akan hadir menjadi dominasi terhadap setiap prilaku kaum tertindas (sebuah proses depedensi). Dalam perjuangan masa transisi menurut Freire, masyarakat baru tidak lantas serta merta hadir seiring dengan berjalan nya revolusi fisik, masa ini harus di dukung oleh para pemegang kekuasaan yang memiliki kesadaran kritis (yang pro-revolusioner), apabila consensus ini tidak tercapai maka perjuangan menjadi sia-sia walaupun revolusi fisik terus berjalan ajan tetapi format untuk membentuk masyarakat baru yang sadar dan kritis jauh dari harapan.[7]

Kesimpulan

Setelah semua apa yang saya paparkan, akhirnya saya memiliki sebuah argument singkat terhadap fenomena yang terjadi. Mulai dari bagaimana pemerintahan yang otoriter yang ditumbangkan oleh para intelektual yang sudah meiliki sebuah kesadaran kritis sampai masih berjalannya praktek komersialisasi dan privatisasi pendidikan. Disini sebenarnya dengan bantuan teori Gramsci dalam menjabarkan Negara dan Hegemoni, kita sudah bisa melihat pemerintah RI dalam sudut pandang Gramscian. Dan mengkorelasikan nya dengan sebuah pendidikan kritis yang telah di paparkan oleh Freire.

Dengan dua teori besar ini, kita dapat menganalisa ketidakadilan yang menjadi fenomena di sekeliling kita. Ternyata sampai hari ini setelah sepuluh tahun kita mengalami sebuah Reformasi pendidikan kita masi bersifat menindas dan menjadi semakin Ekslusif (hanya untuk yang memiliki uang). Menurut saya benar apa yang dikatakan Gramsci bagaimana dia mencoba memaparkan banwa kelas yang berkuasa akan selalu meng-hegemoni kelas yang lemah. Hal ini benar adanya ketika Negara hari ini tidak menjalankan sebuah konstitusi yang menjadi pedoman bernegara. Dikampus USU misalnya, bagaimana terjadi perbuatan-perbuatan yang tidak bertanggunh jawab dalam menjalankan proses pendidikan, Negara justru senang dengan watak manusia seperti ini karena hanya menghasilkan sarjana yang bisa diarahkan kemana saja tanpa memiliki perlawanan yang berarti. Universitas hanya didirikan sebagai menara gading elite yang menjulang tinggi, sehingga kaum proletar akan sangat sulit untuk menikmati pendidikan formal yang diselenggarakan.
Selama sepuluh tahun Reformasi, paradigma pendidikan kritis juga belum banyak dipahami oleh para pendidik. Kita bisa paham karena masi tersisa para generasi Status quo yang aktiv dalam system pendidikan. Tetapi seharusnya ini lah yang menjadi koreksi habis-habisan generasi Reformasi dan penerusnya (mungkin generasi Revolusi) untuk mengkikis system yang terus menindas. Antagonisme pendidikan gaya bank”  seperti apa yang dikatakan Freire masi ada di dalam proses pendidikan di Universitas. Ketika para dosen menjejali paham-paham yang jutru anti rakyat, ini sbuah ironi lantas apa tugas intelektual muda? Apa kah mereka dipaksa untuk menjadi vouluntir penjaga kekuasaan yang anti-rakyat dikemudian hari. Tidak akan memilikl sebuah nilai moral apabila system usang ini akan terus dipertahankan, yang ada hanya malapetaka dikemudian hari. Karena system seperti ini hanya modal maerial yang menajdi motivasi utama dalam kegiatan pendidikan, dan itu berarti kita mengikut tata cara dalam system kapitalisme yang sudah jelas sangat percaya dengan modal.

Sangat sulit bicara sebuah keadilan social di Indonesia ketika fenomena yang sangat esensi dianggap seperti angina lalu. Pelangaran UUD’ 45, adalah sebuah pengkangan Negara terhadap janjinya. Hegemoni pemerintah sampai hari ini masi menacap kuat, dan untuk membangun sebuah masyarakat baru saya sepakat dengan apa yang dikatakan Freire. Tanpa sebuah pendidikan yang kritis tidak akan ada sebuah pembelajaran yang menyeleruh, artinya hanya kelompok burjuis saja yang mendapatkan pendidikan formal.

Dalam pemikiran Habermas, dia sudah meramal kan akan adanya sebuah Krisis Legetimasi. Dia berusaha menjelaskan bagaimana sebuah legitimasi yang terekam dalam alam sadar manusia, secara lama kelamaan akan berkurang dengan sebuah kesadara Hermanetik. Tradisi sebuah budaya yang dibangun hanya untuk membangun dan mempertahan kan sebuah kekuasaan, dan terus direproduksi justru akan menjadi malapetaka untuk dirinya sendiri.

Dalam situasi seperti ini, hubungan kebudayaaan yang sudah diterima begitu saja, dan yang dulunya merupakan kondisi pembatas bagi system politis, jatuh kedalam wilayah perencanaan administrasi. Maka tradisi-tradisi yang tidak termasuk kedalam problematika public, apalagi diskursus praktis, mulai mulai dijadikan persoalan. Contoh pemrosesan administrasi yang lansung diterapkan terhadap tradisi budaya adalah perencanaan pendidikan, khususnya perencanaan kurikulum. Kalau administrasi sekolah sebelumnya hanya sekedar mengkodifikasi kan sebuah ketentuan pola yang tak terencanayang mirip proses alamiah, maka perencanaan kurikulum masa kini didasarkan pada premis bahwa pola-pola tradisional juga bisa menjadi sebaliknya. Perencanaan administrative menciptakan tekanan terhadap legitimasi dalam ruang yang sebelumnya betul-betul dibedakan karena kekuasaan legitimasi dirinya.[8]

Secara garis besar para pemikiran Neo-Marxis kita bisa jadikan sebuah referensi untuk membentuk sudut pandang berfikir dalam melihat sebuah fenomena, ketidak adilan social yang sdang berlangsung di tanah kita ini. Pemikiran Gramsci, Freire dan, Habermas sangat layak untuk didiskusikan dalam kelas (ruangan) belajar ataupun diluar dari itu. Karena dengan pemikirannya, paling tidak perasaan kita akan sedikit terbuka ketika melihat sebuah realitas social yang jauh dari keadilan.
Bibbliografi

Escobar, Miguel. Dialog Bareng Paulo Freire “Sekolah Kapitalisme yang Licik”. LKiS: Yogyakarta, 1988.

Freire, Paulo. Politik Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2002.

Habermas, Jurgen. Krisis Legitimasi. Qalam: Yogyakarta, 2004.

Illich, Ivan. Bebas dari Sekolah. Pustaka Pelajar: Yogykarta, 2003.

Patria, Nezar & Arief, Andi. Antonio Gramsci "Negara dan Hegemoni”. 
Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2003.





[1] Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci; Negara dan Hegemoni.  (Pustaka Pelajar, Yogyakarta; 2003) hal. 116
[2] Ibid, hal. 117-118
[3] Ibid, hal. 135-138
[4] Tulisan ini akan mengacu kepada pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan kritis
[5] Paulo Freire, Politik Pendidikan . ( Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2002) hal. ix-x
[6] Ibid, hal xiii
[7] Miguel Escobar, Dialog bareng Paulo Freire ‘Sekolah Kapitalisme yang Licik’. (LKiS, Yogyakarta: 1988) hal. 42-43
[8] Jurgen Habermas, Krisis Legitimasi. (Qalam; Yogyakarta, 2004) hal. 228-229

No comments:

Post a Comment