Sunday 12 June 2011

Post-Behavioralism ?

          Memasuki era 1960-an terjadi sebuah kegelisahan baru dari para kalangan behavioralisme. Tantanhgan baru yang mereka hadapi dalam melihat masalah realita social politik, adalah salah dsatu orientasi perdebatan wacana intelektual di dalam kehidupan politik bansa Amerika. Ada juga yang mengasumsikan bawa tantangan ni erat kaitan nya dengan gerakan kiri baru (New Left) serta sebuah kontra budaya, yang terimplementasi dalam sebuah daya upaya untuk membangun konsolidasi dalam tataran ilmuan politik dan mengadakan sebuah forum rapat  (caucus)yang membahas adanya suatu perubahan dalam ilmu politik.[1] Posisi pertemuan ini menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam pergulatan wacana politik pada kalangan ilmuan politik Amerika (APSA).
Walaupun terdapat banyak perubahan dalam orientasi penafsiran ilmu politik, yang hamper mencapai sebuah kesepakatan penuh bahwa ilmu politik telah mengembangkan beberapa purbasangka ideology yang kabur dan tidak dapat di sangkal lagi. Tuntutan adanya seebuah dikotomi antara nilai dan fakta serta penekanan nya untuk melakukan kerja keras, baru kemudian memikirkan masalah relevansi. Hal ini telah coba untuk di manifest  pada April 1969, suatu panitia Eksekutif tela mendefinisikan tujuan-tujuan caucus; menciptkan sebuah ilmu politik yang diarahkan bukan kepada indoktrinisasi manusia serta kepada petunjuk-petunjuk keilmuan tetapi kepada pendaftaran ilmu yang mengatas namakan manusia. Jadi suatu ilmu politik yang dapat melayani kaum miskin,tertindas dan terbelakang, baik didalam Negara mereka sendiri ataupun diluar negri, dalam perjuangan nya melawan hierarki-hierarki, kelompok elit serta bentuk-bentuk manipulasi kelembagaan yang telah mapan. David Easton orang ang di tunjuk dalam pimpinan caucus itu, pada akhirnya dapat mengakomodir para kelompok oposisi merreka dalam menggunakan ide-ide nya tentang ilmu politik. [2]

David Easton dalam sebuah pidatonya yang dirujuk menjadi seorang ketua dalam sebuah caucus ilmu politik april 1969, menyatakan sebuah paradigma yang memang sudah lahir dari serang teoritis politik Amerika. Dia hanya kembali menggemakan sebuah pergolakan social yang terjadi di Negara itu politik yang ada masa awal perang Vietnam, pergolakan kaum Afro-America untuk menetang habis politik aphartheid, lalu gerakan para kelompok Feminis dalam konteks persamaan genre dan status social terhadap laki-laki dalam semua aspek kehidupan. Sperti kutupan dari pidato David Easton yang di tuliskan oleh Sandoz, “adalah sebuah kesadaran yang trumatik bahwa periode behavioral sudah berakhir secara tiba-tiba dan tidak dapat diulang kembali terutama karena satu pecahan dari bidang ilmu politik yang begitu penting telah terlambat, dan hampir secara histories memberikan reaksi kepada masalah-masalah  kehidupan politik yang bersifat pragmatis yang secara geometris semakin menghebat.
Di antara berbagai kecenderungan baru itu, orang dapat melihat: hidup nya kembali perhatian kepada “partisipasi” sebagai suatu elemen penting demokrasi, berlawana dengan pengidentifikasian demokrasi yang lebih umum, dengan partai-partai politik yang kompetitif; sebuah gerakan yang baru terhadap gerakan-gerakan proses massa sebagai bagian penting dari proses Demokrasi; kebutuhan akan adanya proses demokratisasi dari kehidupan sehari-hari, terutama dalam lingkungan kerja; serta adanya penekanan dalam proses desentralisasi sebagai suatucara untuk memperbesar partisipasi, serta adnya antisipasi yang baik terhadap berbagai konsekuensi dari partisipasi yang lebih besar tersebut.
Lahirnya sebuah istilah Post-Behavioral dalam rangka membentuk sebuah paradigma baru terhadap fenomena yang sudah tidak relevan lagi apabila dikaji dengan pendekatan behavioral.[3] Karena kalangan post-behavioral memiliki penekan terhadap dua nilai yang menjadi landasan berfikir mereka, yaitu relevansi dan tidakan. Artinya ada dugaan bahwa ilmu politik telah didefenisikan terlalu sempit dan relative diidentifikasikan terhadap tatanan yang sudah mapan. Seharusnya para ilmuan politik tdak hanya mengurai teori yang ideal dalam struktur masyarakat tetapi juga ikut andil dalam praktek di lapangan untuk membangun system yang mapan.
Landasan Berfikir Kaum Post-Behavioralis

Pemahaman terhadap post-behavioralisme seharusnya jangan dicampuradukan terhadap pemahaman tradisionalisme, walaupun sering dikaitkan terhadap kritik nya terhadap kaum behavioralis. Tetapi itu bukan sebuah landasan yang cukup kuat untuk menyamakan pemikiran itu. Tradisionalisme terlalu berkutat pada pemikiran klasik  dan percaya akan terjadi nya sebuah pengulangan sejarah dan menolak validitas atas perkembangan tingkah laku manusia. Sedangkan pada sisi post-behavioralisme menerima apa-apa yang telah dicapai pada era behavioralisme, dan lebih menekankan ilmu poltik terhadap cakrawala yang lebih maju.
Dua tuntutan utama dari post-behavioralisme adalah relevansi dan tindakan. David Easton yang pada suatu saat pernah menguraikan satu persatu 8 karakter utama behavioralisme dan menamakan nya sebagai “batu loncatan intelektual” dari gerakan tersebut, kini muncul dengan 7 sifat karakter post-behavioralisme dan dia menamakan nya dengan “suatu penyulingan bayangan maksimal”. Ketujuh karakter tersebut secara maksimal dapat di jelaskan sebagai berikut:
(1)Dalam penelitian politik, “substansi atau isis pokok harus mendahului teknik”. Mungkin ada baiknya memiliki alat penelitian yang canggih., tetapi hal yang paling penting adalah tujuan, hal yang mengharuskan alat-alat tersebut digunakan. Jika suatu penelitian ilmiah tidak relevan dan tidak memiliki apa-apa bagi masalah-masalah social yang mendesak pada saat ini, maka penelitian tersebut tidak berharga sama sekali untuk dilakukan. Terhadap satu  slogan yang dibunyikan oleh kaum behavioralis, “lebih baik salah dari pada kabur”, justru kaum post-behavioralis mengatakan “lebih baik kabur  daripada salah dan tidak relevan”.
(2)Ilmu politik masa kini seharusnya memberikan penekanan utamanya kepada peruahan social dan bukan kepada pemeliharaanya, sebagaimana tampak yang dilakukan kaum behavioralis. Kaum behavioralis telah membatasi diri mereka secara ekslusif hanya pada penggambaran dan analisa data, tanpa berusaha memahami fakta-fakta ini dalam konteks social yang luas. Hal ini memebuat ilmu politik behavioral menjadi suatu ideology konservatif social yang semakin diperkuat oleh suatu perubahan yang sederhana dan berubah sedikit demi sedikit.
(3)Ilmu politik selama periode behavioral, secara penuh telah melepaskan dirinya dari realitas politik yang sifatnya masih kasar (brute realities of politics). Tetapi sejak abstraksi dan analisa menjadi inti pokok penelitian yang bersifat behavioral, para ilmuan politik tidak lagi mempunyai kemungkinan untuk mengamati kenyataan-kenyataan dari situasi yang ada. Saat itu benar-benar masa kritis dan penuh khawatiran. Dengan sumber-sumber kekayaan dan teknik nya yang luar biasa, serta adanya skala peningkatan kemudahan material manusia yang luar biasa pula, masyarakat di dunia barat pada saat yang sama juga tengah mengarah kepada berbagai konflik social yang semakin meningkat dan ketakutan dan kekhawatiran terhadap masa depan mereka semakin mendalam. Jadi bila hl ini bukan merupakan tanggung jawab para ilmuan politik untuk ikut memikirkan kebutuhan manusia yang sesungguhnya, lalu apa gunanya ilmu politik bagi masyarakat?
(4)Kaum behavioralis, meskipun tidak sepenuhnya mengingkari peranan dari suatu system nilai, telah memberikan penekanan yang begitu besar kepada faham-faham keilmiahan serta pendekatan yang bebas nilai, sehingga masalah “nilai” untuk tujuan praktis tidak pernah dijadikan bahan pertimbangan. Hal ini merupakan hal yang benar-benar menyedihkan. Karena hanya dalam landasan sistem nilai lah semua ilmu penghetauan berdiri, kecuali apabila system nilai dianggap sebagai kekuatan pendorong yang ada dibalik ilmu penghetauan, akan terdapat suatu gejala bahaya bahwa ilmu penghetauan akan digunakan untuk tujuan yang keliru. Jadi system nilai yang memainkan peranan penting dalam ilmu politik dan penelitian, tidak bisa dibuang begitu saja dari penelitian politik, apabila kita ingin tetap mempertahankan sifat ilmiah dari disiplin ilmu itu. Jadi apabila ilmu penghetauan digunakan untuk tujuan-tujuan yang benar system nilai harus dikembalikan pada posisinya yang sentral.
(5)Kaum post-behavioralisme, ingin mengingatkan para ilmuan politik bahwa sebagai kaum intelektual mereka memiliki peranan yang harus dimainkan dalam masyarakat. Merupakan tanggung jawab mereka untuk berusah melindungi peradaban nilai-nilai kemanusiaan. Apabila ilmuan politik demi keteguhan, objektivitas dan penelitian yang memakan waktu, tetap mengabdikan diri mereka pada masalah-masalah social dan mengambil peran mereka menjadi teknisi, ahli, secara sembarang dalam masyarakat. Dan mereka tidak bisa menghidar dari serangan publik.
(6)Apabila kaum intelektual memahami masalah-masalah social dan merasa  terlibat didalamnya, mereka tidak akan pernah menjauhkan diri dar tindakan-tindakan nya


[1] Caucus adalah pertemuan para ilmuan politik dalam membahas fenomena baru, dan menekankan ilmu politik kearah masa depan (future orientied)
[3] Para kaum behavioralis setelah diadakan pertemuan dalam membahas hal yang berkembang sudah mulai bergeser kearah post-behavioral. 

No comments:

Post a Comment