Tuesday 14 June 2011

Rasionalitas Diambang Batas

Paling tidak para filsuf ingin mengatakan bahwa sebuah yang “rasional” adalah pergulatan penghetauan atas nalar dalam sejarah manusia itu sendiri. Karena pernah terjadi sebuah paradoksial, dimana sebuah akar budaya rasionalitas lahir dan dibangun, dikemudian hari gugur oleh sebuah episode pembantaian sesama manusia (NAZI di Germany).  Kita tidak sedang memperdebatkan term-term soal rasionalitas itu sendiri, namun menggeser sebuah lokus pada fenomena yang sulit dipahami dengan kesadaran yang rasional. Sebuah narasi panjang yang terus kita konsumsi setiap hari lewat media ternyata tidak menghasilkan sebuah penetrasi yang positif. Justru tontonan ‘murahan’ semakin menarik kita kedalam alam yang irasional. Meminjam konsep Jurgen Habermas, bahwa dalam sebuah posisi kebenaran ada sebuah mekanisme dialogis yang performatif dimana mencapai sebuah konsesi yang melahirkan legitimasi norma. Artinya memang sebuah kebenaran harus dimaknai  secara rasionalitas, dan berupaya keluar dalam standar rasionalitas tradisional (kebenaran wahyu). Kemudian setiap individu juga memberi ruang kepada individu lain sehingga proses komunikatif dapat tercapai (Mc Charty, The Critical Theory of Jurgen Habermas/1982: 270-3 ). Kita akan kembali mempertanyakan lagi rasionalitas dan menggugat kembali Integritas kita sebagai sebuah bangsa, ketika melihat fenomena di SDN Gadel – Surabaya. Dimana upaya untuk pengungkapan “ketidak benaran” justru mengalami resistensi yang kuat dan destruksionis oleh mayoritas di sekitar nya. Fenomena apa ini? Apakah kita akan menutup mata dengan moral yang telanjang? Mau apa kita? Ini adalah sebuah akumulasi dari titik-titik kelaliman, yang dengan mudah kita temui di mana saja. Dan kita terus mempertontonkan “Opera Politik” yang sangat murah dan tidak berkualias di balik asuhan sutradara Susilo Bambang Yudhoyono. Yang selalu mengisi ruang-ruang kekuasan dengan “kebancian” dan tanpa landasan yang argumentative seolah menghendaki belas kasihan rakyat. Kalau Foucault mengatakan, bahwa subjek telah mati, lantas subjek itu terkonstruksi dengan idea-idea yang saling beririsan. Maka saya akan mengatakan, bahwa subjek bukan sekedar mati tetapi kemudian dibajak dengan nilai-nilai kelaliman yang dalam posisi linear menuju kebobrokan sebuah system.

Kita harus saling merefieksikan diri dan berupaya melakukan sebuah penetrasi positif atas kondisi seperti ini. Memang sangat ironis ketika irasionalitas itu terjadi pada salah satu pilar perubahan, yaitu pendidikan. Pada waktu yang bersamaan Integritas Alifah dan Ibunya terhadap kejujuran dihakimi oleh mayoritas. Hal ini mengingatkan saya pada perkataa Rocky Gerung dalam sebuah forum, ‘bahwa sebuah integritas tidak dapat dihakimi, karena integritas itu yang akan menghakimi sebuah kebenaran. Kita akan sampai pada titik evaluasi terhadap kerja system politik dan gerak kebudayaan untuk merekonstruksi nilai moral. Kalau memang kita sadar bahwa system politik tidak dapat mencapai batas sebuah moral, maka satunya harapan adalah gerak dari kebudayaan itu sendiri. Juga kita menilai bagaimana acara-acara religious di TV, film-film yang menyemai nilai-nilai kebaikan, bahkan siraman rohani di radio tidak terlalu sukses untuk mentransformasikan batasan sebuah moral kepada manusia itu sendiri. Mengapa? Karena sedari awal kita telah gagal membangun budaya rasional dalam kehidupan kita, transformasi moral tidak bisa di cerap secara oposisi-binner saja, tetapi juga dengan semangat rasionalitas. Hanya dengan system pendidikan yang baik dan pastinya tanggung jawab penuh dari Negara bisa melahirkan budaya rasional dan meninggalkan perspektif kaca mata kuda. Sehingga kita tidak lagi menjumpai kumpulan-kumpulan manusia yang seakan-akan mampu menerjemahkan bahasa Tuhan, tapi tidak mampu memahami bahasa sesama manusia. Hal ini akan mengingatkan kita kepada perdebatan Sjahrir dan Soekarno, bahwa bagi Sjahrir kemerdekaan-nasional bukan tujuan utama –telos-, tetapi kemerdekaan dari individu yang menjadi pokok dari kemerdekaan itu sendiri.

Sunday 12 June 2011

‘Post’ or ‘Past’?: Does Post-Marxism Have Any Future? By; Stuart Sim

Introduction

A quarter-century has elapsed since the publication of the work which more than any other established post-Marxism as a brand in its own right on the theoretical spectrum, Ernesto Laclau and Chantal Mouffe’s Hegemony and Socialist Strategy (Laclau and Mouffe 1985). As I discussed at some length in my book Post-Marxism: An Intellectual History (Sim 2000), we can identify post-Marxist tendencies well before that event, but there is no denying that Laclau and Mouffe’s book served to bring together these somewhat disparate strands into a coherent theoretical position, which many others then proceeded to rally around. The result was a period of bitter infighting on the left, with insults being freely thrown around by those on both sides of the Marxist divide: what was post-Marxist to some was anti-Marxist to others, what was a necessary recognition of a changed global reality to the former was more like a betrayal of the revolutionary cause to the latter (Geras 1987). Nevertheless, post-Marxism was now firmly on the theoretical map, along with a series of other ‘posts’ from the later twentieth century: poststructuralism, postmodernism, post-industrialism, post-feminism, post-humanism, even post-philosophy. ‘Post’ seemed to be very much the flavour of the age, which was developing a very sceptical streak when it came to cultural totems.

Much has happened culturally and politically in the interim (not least the disappearance of the Soviet empire), so it is worth taking stock of what post-Marxism now means and asking whether it has anything of note to contribute to socio-political debate – especially now that communism is no longer a force of any note in the West, and at best a very distorted image of itself in China, where capitalist economics is being openly promoted by the state. (One of the issues I will be considering at a later point in the paper is whether we can consider China to be a post-Marxist phenomenon – and whether that would be a good or a bad thing.) So I am posing the question as to whether there is any future for post-Marxism as a theoretical movement in the twenty-first century: is it still relevant to political debate on the left, or have we moved inexorably from ‘post’ to ‘past’?

Post-Marxism and Postmodernism

Speculating on what the prospects might be for post-Marxism is made all the more problematical given that it is so tied up with the history of postmodernism, the status of which is currently very much under review now that many of its major figures have passed away: Foucault, Deleuze, Lyotard, Derrida, Baudrillard, for example – all of whom were in dialogue with Marxism to some degree or other over the course of their careers. Post-Marxism from Laclau and Mouffe onwards is very much influenced by postmodern thought (and I include poststructuralism within that general category), and it is motivated by very similar ideals: such as, breaking free from an intellectual tradition felt to be restrictive and authoritarian, and pushing the case for a more pluralist politics where difference and diversity are given their full due instead of being systematically marginalised. But we have to wonder whether postmodernism itself still means all that much, particularly now that its main target, modernity, seems to be in such trouble on the economic front (the term ‘post-postmodernism’ has even been bandied about of late). Neoliberals would certainly agree with Habermas’s contention that ‘modernity is an incomplete project’ (Habermas 1985), and have done their level best to keep it going on the economic front through the insistent spread of market fundamentalist principles and globalization in recent decades. Yet we are all uncomfortably aware of just how much of a mess that project is presently in as national economies collapse around us (with Ireland merely the latest of a growing list of casualties), and it is an interesting question as to whether it can ever reconstruct itself as it was before. Without its economic successes to proclaim, modernity loses much of its cultural authority, since economic growth was always its strongest suit. Indeed, it is entirely possible to argue, and I did so myself in a recent book, that we might actually be witnessing the ‘end’ of modernity (Sim 2010): that it is just no longer sustainable as a system, that its contradictions and limitations have been brutally exposed by the unprecedented severity of the banking crisis we have undergone. A crisis, we have to remember, that we were assured the system had become all but proof against. We could ask where that leaves postmodernism: does it mean it loses its force as a concept as well? Is it locked into a binary relationship with modernism/modernity such that if that can’t survive then it can’t either? I will be returning to this topic in a later section.

Several commentators have already written postmodernism off as a late twentieth-century phenomenon that has now passed its sell-by date and need concern us no longer: Alan Kirby going so far in an article as to proclaim that it’s ‘dead’ (Kirby 2006: 34). I think that judgement is more than a little premature (although I would concede that having just finished editing the 3rd edition of The Routledge Companion to Postmodernism (Sim 2011) means that I am not exactly an unbiased witness in this respect). However, it does mean that a case has to be argued for its continuing relevance, as it does too for its post-Marxist strand.

Post-Marxism and Post-Marxism

So what can we claim for post-Marxism? What has it actually achieved as a theory? On the negative side, that is easy enough to say, in that it has significantly damaged Marxism’s reputation as a philosophy and cultural theory by its confrontational style of critique and refusal to abide by any party line; but on the positive side it is much more difficult. The distinction that Laclau and Mouffe themselves made between post-Marxism and post-Marxism can be usefully drawn on in this context. They tended to emphasise the importance of Marxism as a starting point for their theories, which proceeded to advocate ‘radical democracy’ as the way forward for the left, whereas others, like Lyotard and Baudrillard took a more virulently anti-Marxist stance. Both approaches have attracted their share of followers: you either consider yourself to be engaged in revitalising a tradition of thought, or unapologetically consigning it to historical oblivion. The distinction is a fairly loose one and I would not want to push it too far, but it can be helpful in trying to assess the impact of post-Marxism as a theory.

Laclau and Mouffe forcefully brought to our attention the revolutionary potential of the diverse social and political protest movements that had sprung up around the globe by the later twentieth century – ethnic, sexual, environmental, etc. It was a revolutionary potential that Marxism was turning a blind eye to because it did not fit into its prescriptive scheme of how revolution was supposed to emerge and then be conducted. Their argument was that Marxism was doing what it always did when faced by discrepancies with its socio-historical vision, and taking refuge in its theory of hegemony in order to discount the importance of such phenomena: from the classical Marxist point of view, the new protest movements were mere diversions from the real business of class struggle, which would eventually re-assert itself as the overriding concern. Laclau and Mouffe’s critique of hegemony is long and exhaustive, but the gist of it was that Marxism could not really think outside its preconceptions; that it could not shake off its commitment to its basic principles; that it had become doctrinally rigid and dogmatic. (Feminist theorists, of course, had been saying similar things for some time – if with a more specific agenda, which at one point, memorably enough, called for a ‘divorce’ to be drawn up between Marxism and feminism (Hartman 1981).) Nevertheless, Laclau and Mouffe’s work still suggested that it was motivated by the spirit of Marxism: it wasn’t quite going to the lengths of recommending a divorce, although maybe it did sound a bit like a trial separation. They just felt that it was time to strike out in new directions in order to keep that spirit alive, to lose the doctrinaire attitude they felt was inhibiting its development and leading to its decline as an influential theory. If post-Marxism was to mean anything it would have to seek out new methods and approaches rather than just go on repeating the mantras of the classical Marxist past, a past that provided little guidance about how to adapt, and turn to account, rapidly changing cultural circumstances.

When we turn to such as Lyotard and Baudrillard, however, that spirit seems to have disappeared and we do seem to have entered divorce territory. Baudrillard inveighed against Marxism’s fetish for production in The Mirror of Production, and was completely dismissive of its pretensions as a socio-political programme:

The concept of production is never questioned; it will never radically overcome the influence of political economy. Even Marxism’s transcending perspective will always be burdened by counter-dependence on political economy. Against Necessity it will oppose the mastery of Nature[.] … The political order is at stake here. Can the quantitative development of productive forces lead to a revolution of social relations? Revolutionary hope is based ‘objectively’ and hopelessly on this claim (Baudrillard 1975: 59).

Baudrillard is such a determinedly maverick figure in theoretical terms, however, that it is hard to identify much in the way of development in his post-Marxist stance from that point in the 1970s onwards; whereas Lyotard, on the other hand, can be turned into a veritable case study of post-Marxism. On the face of it, the evidence would seem to suggest that Lyotard is anti-Marxist, the criticism made by Normas Geras of Laclau and Mouffe. Libidinal Economy alone constitutes compelling forensic evidence on that score, where instead of detailed breakdowns of the history of the theory of hegemony and how it had been deployed to uphold the ‘truth’ of Marxist doctrines, we are treated to withering asides such as: ‘Why, political intellectuals, do you incline towards the proletariat? In commiseration for what?’ (Lyotard 1993: 115). Or could we say that, in a sense, Lyotard is always ‘post-Marxist’ (in the more general sense, without emphasising either side of the term), and that he demonstrates just how difficult it can be to try to occupy such a position on the theoretical spectrum? That is, temperamentally far left, but intellectually increasingly sceptical, and even despairing, about the belief system this entails.

First, Libidinal Economy, which certainly appears to be a vicious attack on Marxism, which is taken to be everything that is wrong about the art and practice of theory by the time of the later twentieth century. As Lyotard boldly declares, before launching into a diatribe against Marx on both a personal and a theoretical level: ‘We no longer want to correct Marx[.] … We have no plan to be true, to give the truth of Marx’ (Lyotard 1993: 96). It is a cardinal sin of theory, as Lyotard sees it, to believe that it can explain everything within its domain, that it can provide a comprehensive picture and thus a basis for authoritative predictions and assessments (exactly what Derrida was objecting to in structuralism of course, its universalising tendencies). Lyotard argues that the impact of libidinal energy alone would dispute that claim, since it is neither predictable nor, ultimately, controllable: it is instead an ‘excess’ (a favourite concept of the postmodern movement) that always evades the schemes of the political theorist – Marxists no less than anyone else:

Now, therefore, we must completely abandon critique, in the sense that we must put a stop to the critique of capital, stop accusing it of libidinal coldness or pulsional monovalence, stop accusing it of not being an organic body, of not being a natural immediate relation of the terms that it brings into play, we must take note of, examine, exalt the incredible, unspeakable pulsional possibilities that it sets rolling, and so understand that there has never been an organic body, an immediate relation, nor a nature in the sense of an established site of affects (Lyotard 1993: 140)[.]

Libidinal Economy is full of such outbursts in its quest to resituate Marx’s Capital as ‘a work of art’ rather than a text bearing any kind of ‘truth’ (Lyotard 1993: 96), and that of course changes the ground-rules of debate on the left quite radically. Marx’s basic premises are effectively being rubbished as totally misguided, in what is a quintessentially post-Marxist gesture, iconoclastic to a fault: what could be more wounding than comparing it to fiction? Coming in the aftermath of 1968 this is a devastating indictment of the entire Marxist enterprise as being founded on false and unsustainable premises which have become an end in themselves for the party machine rather than a means to bring about a fairer, less exploitative, society. Marxism has ceased to have any positive connotations at all for Lyotard, who can only regard it henceforth as a target for abuse.

The rest of Lyotard’s career is largely spent pointing out what we cannot exert control over, where difference keeps intruding to disturb any grand plans that we may have in either the social or the political arena – and even the aesthetic. Hence his later obsession with the ‘sublime’, that ultimate signifier for the unknown and the unknowable, all the ‘excess’ that we can never account for. As far as Lyotard is concerned there is no escaping the fact of the sublime: knowledge can only ever be partial in its scope; aesthetic endeavour has no alternative but to bear witness to the existence of the unpresentable and make that known to its audience; there is always something that our theories must fail to encompass, something that can disrupt and distort even the most painstakingly worked-out plans. It is all very persuasive, if more than a bit depressing for anyone trying to think how we could construct a political plan to achieve radical change of the kind that leftists traditionally have been geared towards. As so often in post-Marxism, positive proposals to bring about that state of affairs prove to be a bit thin on the ground; but let’s have a brief look at what these actually are in Lyotard to see if they offer any guide at all as to how post-Marxism might develop as a political philosophy in future.

Lyotard lays great store by ‘little narrative’ as a means of challenging the supremacy of grand narratives, whether in the political domain or elsewhere (Lyotard 1984). There is no set model being put forward here: a little narrative is effectively a protest movement which does all it can to undermine the operations of whatever grand narrative it chooses to take on – the greens versus the multinationals, the anti-capitalist and anti-globalization movements versus the World Trade Organisation (and everything that it represents), for example. The whole point of the exercise is to exist only as a protest movement, and crucially, for only as long as the particular circumstances of the protest demand: once a specific objective has been completed then the little narrative is expected to dissolve, rather than to allow itself to mutate into a power base and so replicate the system it has set out in the first instance to challenge. This has proved to be a difficult concept for the traditional left to get its head around, since the episodic nature of operations it involves opens up the prospect of recurrent power vacuums being created as each subsequent little narrative winds itself up, mission apparently completed. The assumption is that grand narratives would simply move into such vacuums and re-establish control. Marxism in particular cannot countenance such a way of proceeding, which appears to have no overall trajectory, no teleological dialectic as it were, and to leave far too much to chance: hence its opposition to the student-trade union alliance against the de Gaulle government in 1968. By the standards of the traditional left this approach to political action is just too ad hoc ever to work truly effectively; that, however, is precisely its attraction to a thinker like Lyotard, for whom long-term planning is an illusion – in the political domain above all, human behaviour being just too erratic to forecast with any accuracy. And he does have a point: who could have forecast the exact character of the événements? One does have to wonder, however, just how effective the little narrative method could ever be as a way of destabilising a grand narrative in the longer term, a process which usually requires far greater continuity of action than is being promised here. While one can understand the distrust of power bases being displayed by this kind of disenchanted leftist, this nevertheless has to be seen as a drawback in the process of fighting entrenched systems, which can regroup after each little narrative confrontation: the aftermath of 1968 in France was not particularly pretty in this regard.

Then there is the concept of ‘paganism’ to consider, Lyotard’s attempt to construct a workable system by which to make value judgements, as in legal cases, without use of pre-established criteria in which authority is deemed to reside. He argues for this to be done on a ‘case by case’ basis, without reference to previous practice or experience, and cites Aristotle as a model of how we ought to proceed (Lyotard 1985: 28). The success or otherwise of any particular judgement can only really be assessed in retrospect by its consequences (there is more than a suggestion of utilitarianism to this method, it should be said), and it probably does reflect how most of us operate in everyday, small-scale, decision-making situations. It is far more problematical when it comes to larger-scale moral issues however (a point consistently made against utilitarianism), and that is precisely where relativism always comes unstuck – and postmodernism is never less than defiantly relativist in outlook. Value judgement is undeniably postmodernism’s weakest point as a system of thought, and where post-Marxism most differs from its Marxist source with its absolutist stance. Judgement without criteria is not something that Marxists can ever really accept – they know exactly what their ultimate objective is and how they are supposed to expedite it: difference merely clouds the issue and is to be marginalised wherever possible. Neither relativism nor pragmatism square with the classical Marxist world-view, which can only equate these with making things up as one goes along – empiricism rather than scientific socialism.

Returning to a point I raised earlier: we might well ask if China qualifies as post-Marxist in character. It certainly has its roots in Marxist theory, and at least in principle still claims to be a Marxist state, although pragmatism seems to be very much in evidence there in its present phase of development. It has openly embraced the market economy, quite aggressively so in recent years, and has done its best to integrate itself into the world trading community: ironically enough for such an apparent tyro in this game, it seemed to suffer less from the credit crisis than the majority of the developed nations did. There are political commentators who consider it to be on the verge of eclipsing the USA and the West to become the next global superpower of the twenty-first century, the world’s future economic centre (Jacques 2009). So it is not unreasonable to classify it as some kind of post-Marxist political entity, officially Marxist in ideology but in practice capitalist in exhorting its citizens to ‘become rich’ as their patriotic duty. What it is not so good on is encouraging difference and diversity, which are completely at variance with its authoritarian ethos. This is hardly what Laclau and Mouffe envisaged in Hegemony and Socialist Strategy, but nevertheless it does need to be seen as representing one direction that post-Marxism could take: tight political control from a centralised party apparatus, plus carefully-monitored economic freedom. Whether the Western left would regard this as still being in the spirit of Marxism is a moot point. Another way of looking at it would be to see it as combining the worst of the two systems in question: a somewhat schizophrenic mix of repression plus economic free-for-all. All the same, it does maintain many of the ideological trappings of a Marxist state, and does indicate that classical Marxism, or Maoist Marxism at any rate, has some capacity for adaptation.

Radical Democracy

China therefore constitutes one possible solution as to how to construct a post-Marxist politics. Another way that post-Marxism can distance itself from its Marxist shadow however, is to evolve into something else entirely: as in the case of radical democracy, which gives us something more concrete, and certainly less authoritarian, to enter onto the positive side of the Western post-Marxist ledger. Radical democracy enshrines difference and diversity, and wants to restructure political life in such a manner that these are always respected and given a platform, rather than being diluted in the compromise politics of the West or suppressed altogether in the one-party vision of traditional Marxism. Pluralist debate is at the forefront of the system that is envisaged, with Mouffe arguing for what she calls an ‘agonistic’ style of politics that precludes the possibility of compromise (Mouffe 2000) – to her, that being the great curse of Western political systems, by which a deadening consensus is achieved, stifling debate in the process. The pluralist commitment takes us, Laclau and Mouffe both feel, past Marxism, which is to be regarded as an ideological dead-end from this viewpoint.

Radical democracy is an interesting development; although it would have to be said it does have limitations and that so far it has promised more than it has delivered. As several critics have pointed out, there are some rather glaring ‘deficits’ in it as a political theory. It is unclear, for example, how we could form political institutions under its aegis: agonistic politics does not lend itself to that very easily, since it usually requires some measure of compromise and consensus between competing groups to establish anything viable in this line. As David Howarth has remarked of the problem of implementing radical democracy in the current political system, ‘less attention is paid to the economic, material, and institutional obstacles that block its realisation, as well as the precise composition and configuration of such impediments’ (Howarth 2008: 189), than should be by its leading theorists. Howarth and Jason Glynos go on to assert that radical democracy suffers from being essentially ‘theory-driven’ as a concept (Glynos and Howarth 2007: 167), thus substantially limiting its practical application: a criticism that might well be made of postmodernism in general when it comes to its political ambitions.

The classical Marxist alternative to consensus is one-party rule, which is the antithesis of what this kind of a post-Marxist wants to see. We face the same dilemma here that we do with paganism, the central problem for anyone on the left who espouses a post-Marxist position, and that is how to justify value judgements. This returns again and again to haunt relativists, and it has to be admitted that it is a major obstacle to anything like post-Marxism making a major breakthrough into the arena of mass politics. Could you really have mass politics without some kind of consensus between competing factions? Even Mouffe seems to concede that the answer is probably no, although the way she puts this in her book On the Political raises some awkward questions: ‘A democratic society cannot treat those who put its basic institutions into question as legitimate adversaries’ (Mouffe 2005: 120). It depends how you interpret ‘into question’ and ‘legitimate’, of course: one suspects that those words could only too easily be abused, by radical democrats as much as anyone, as Mouffe herself goes on more or less to admit when she cautions that: ‘The agonistic approach does not pretend to encompass all differences and to overcome all forms of exclusion’ (Mouffe 2005: 120). How this state of affairs differs from the kind of consensus we already see in play in parliamentary systems is by no means clear, and it sounds as if it would in its turn merely create yet another class of alienated individuals, thus storing up future trouble for the proposed ‘radical democratic’ society.

It is worth reflecting at this point on Žižek’s theories of how ideological systems, especially authoritarian ideological systems, work in psychological terms at the level of the individual. Žižek identifies a bias towards ‘saving the phenomena’, upholding the system, even if one can recognise that it is signally failing to achieve its goals, and indeed, looks highly unlikely ever to do so. We then enter into a condition of what he calls ‘enlightened false consciousness’, preserving the illusion, the ‘fetish’ in Žižek’s terminology (Žižek 1989: 29), of loyalty to the system in spite of its recognisable shortcomings. It is Žižek’s contention that the Soviet system only managed to survive as long as it did because it eventually generated this rather desperate form of ‘consensus’ amongst many of the populace as a coping mechanism. We can see exactly that happening again of late in terms of neoliberalism and the free market, which still continue to inform policy amongst the political class of most countries despite the all-too-evident structural flaws in the global economic system. We would have to lose our disposition towards saving theories in this manner, towards attaining the condition of consensus no matter how desperate it turned out to be, if we were to have any hope of a transition to an agonistic political set-up where there is no central core of belief to hang onto, illusory though that may always prove to be in real terms.

Marxism and the Crisis of Modernity

Perhaps we need to situate the debate between Marxism and post-Marxism within the wider debate about the future direction of modernity as a project, because that is probably the key cultural debate of our time. Unlike artistic and architectural modernity, economic modernity never went away, although it is now in deep trouble; nevertheless, like it or not, those in political power are committed to resurrecting it, and at least in theory ‘business as usual’ is what is being aimed at by policy-makers (no doubt they will be pleased to hear that in places like Ireland). The notion of full-scale structural renewal, which had so much public support a couple of years ago when the credit crisis really started to bite and the full extent of the system’s internal contradictions were remorselessly coming to light, has been quietly sidelined: ‘enlightened false consciousness’ seems to have set in again, the brief public flare-ups in Greece and the student protest movement in the UK notwithstanding.

There is the not inconsiderable problem that Marxism itself is part of modernity as a project, equally as entranced by the prospect of progress as any capitalist institution, it would seem; a point made very firmly by Bauman in his Intimations of Postmodernity:

Throughout its history, communism was modernity’s most devout, vigorous and gallant champion – pious to the point of simplicity. It also claimed to be its only true champion. Indeed, it was under communist, not capitalist, auspices that the audacious dream of modernity, freed from obstacles by the merciless and seemingly omnipotent state, was pushed to its radical limits: grand designs, unlimited social engineering, huge and bulky technology, total transformation of nature (Bauman 1992: 179).

True, as Bauman goes on to point out, such schemes almost invariably went horribly wrong somewhere along the line, but Marxism certainly wanted the economic and technological progress, just not the capitalist method of bringing it about: it is that fetish for production Baudrillard railed against declaring itself yet again. China gives every indication of still being addicted to such grandiose transforming projects however, whether social or environmental, which is all the more reason to be wary of its brand of post-Marxism, and yet further proof that it might be taking in the worst of both systems it is drawing upon for its current working ideology.

If Marxism is to continue to mean anything it would have to reconsider its attitude towards modernity therefore, and be much more critical of its goals and not just its methods. In fact, Marxism can never really return to its old form; too much has happened in the interim, and in a sense Marxism itself will always henceforth be post-Marxist.

Conclusion

So is there a future for post-Marxism? It could be said that post-Marxism is as much a symptom of a problem as a solution to the left’s ills; the problem being that radical politics has become very dispersed in the last few decades. The anti-capitalist movement, the anti-globalization movement, the various versions of the greens to be found around the world, none of these are very homogeneous entities, and neither do they necessarily agree even on the most basic points of what needs to be done to rectify the situation, or how. Yet capitalism, particularly in its neoliberal form, still needs to be opposed. There is manifestly a desperate need for some kind of radical leftist movement to articulate the opposition to neoliberalism as we move into a very uncertain post-credit crunch world, and it will have to take account of Marxism – whether as what Derrida referred to as a ‘hauntology’ or otherwise (Derrida 1994: 10). However it will also have to take account of post-Marxism (in whatever form), with its dissenting cast of mind, rejection of dogmatism, and generally anti-authoritarian outlook. As long as Marxism continues to have any kind of intellectual presence in our culture, and by that I mean as more than just a historical phenomenon to be studied by academics, then there will be a need for an internal critique of its workings, and at the very least we now have a history of how this can be formalised.

Where does this leave post-Marxism in yet another rapidly changing cultural environment however? Do we really want post-Marxism on the Chinese model? My own preference would be to follow the ‘radical democracy’ route and see where that might take us, what we might be able to do with it, whether its limitations can be overcome so that it can start to exert some mass appeal. That, of course, is the crucial difference between Marxism and post-Marxism: for all its abstract theoretical basis, the former could exert such appeal – there was no institutional deficit to report. Yet if Marxism ever did resurrect itself as a significant opponent to neoliberalism, it would of necessity have to include a post-Marxist element within it. It has undoubtedly been one of Marxism’s greatest failings as a socio-political theory not to recognise the value, indeed the sheer necessity, of internal dissent; as Jean-Paul Sartre remarked of the conflicts over the imposition of the party line in the French Communist Party in the late 1940s, ‘the opponent is never answered; he is discredited’ (Sartre 1967: 190). That reputation for intolerance is something Marxism will always remain ‘haunted’ by, and deservedly so. From this perspective, post-Marxism might be seen as the guardian of that ‘hauntology’, and I would argue it would justify itself on that basis alone.

But ‘radical democracy’ plainly demands to be taken much further, to be developed in such a way that it overcomes its institutional deficit. At the moment, the post-Marxist tradition has no fully coherent option to offer to the neoliberal system, and that has to change. Zygmunt Bauman warned us back in the early 90s of the likely adverse consequences of ‘living without an alternative’ (Bauman 1992: 175), as he put it, to Western capitalism, and that has been borne out by the excesses committed in the name of a neoliberal economics with no real check on its activities: ‘casino capitalism’, as one commentator dubbed it, at its very worst (Strange 1986). Whether we call it post-Marxism or radical democracy, something will have to step into the breach that the collapse of communism has created, otherwise we face a future of ‘casino capitalism’, run for the benefit of fanatical market fundamentalists only – and as we now realise only too well, you can lose really big-time in this particular casino. So there is definitely an opening for a radical political alternative, which at the very least would have to be informed by the experience of post-Marxism.

The point that I am making overall is that post-Marxism probably is now ‘past’, that it has served its purpose of knocking Marxism off its intellectual pedestal and making it all but impossible to have an idealized view of it any longer, either as theory or politics. A certain degree of cynicism with regard to Marxism’s chequered history in the twentieth century is no bad thing, I would venture to suggest. Post-Marxism, however, remains relevant in that it has the potential for development and adaptation, the desire to take on the same socio-political evils that motivated Marxism to enter into cultural combat in the first place. It was harder to make a case for post-Marxism when market fundamentalism and neoliberal globalization were sweeping all before them: but not now that the system has revealed its weaknesses quite so graphically. I suggested before that the key cultural debate of our time was over the direction that economic modernity would take, and that requires attention to be drawn to the insidious role of enlightened false consciousness in allowing neoliberalism to go unchallenged in any really serious way. Post-Marxism was designed above all to offer precisely that kind of serious challenge and we can build on the lesson it taught us in this respect.

Referring to the ‘evident truths’ of left-wing thought, Laclau and Mouffe spoke of ‘an avalanche of historical mutations which have riven the ground on which those truths were constituted’ (Laclau and Mouffe 1985: 1): this is surely even more the case than it was in 1985 when they were writing. Classical Marxism has no answer to the impasse we find ourselves in a post-credit crunch environment, exactly the sort of situation which it believes should be breeding revolution, but to cite the appearance of yet another ‘hegemonic’ moment. That alone would be enough to generate the cynicism and nihilism that so often accompanies post-Marxism; but on the other hand it also ought to spur us on to re-investigate what can be done in the name of post-Marxism. If we are going to problematize the fetishization indulged in by both neoliberalism and classical Marxism, then that is where we have to start: ideological fetishization in general is the ‘past’ we should really be doing our utmost to turn into a ‘post’.

References

Baudrillard, Jean (1975 [1971]) The Mirror of Production, trans. Mark Poster. St. Louis, MO: Telos Press.

Bauman, Zygmunt (1992) Intimations of Postmodernity. London: Routledge.

Derrida, Jacques (1994 [1993]) Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning, and the New International, trans. Peggy Kamuf. New York and London: Routledge.

Geras, Norman (1987) ‘Post-Marxism?’, New Left Review 163: 40-82.

Glynos, Jason and David Howarth (2007) Logics of Critical Explanation in Social and Political Theory. London: Routledge.

Habermas, Jürgen (1985) ‘Modernity – An Unfinished Project’, in Hal Foster (ed.) Postmodern Culture. London and Concord, MA: Pluto Press, pp. 3–15.

Hartmann, Heidi (1981) ‘The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards a More Progressive Union’, in Linda Sargent (ed.) The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: A Debate on Class and Patriarchy. London: Pluto Press, pp. 1-41.

Howarth, David (2008) ‘Ethos, Agonism and Populism: William Connolly and the Case for Radical Democracy’, British Journal of Politics and International Relations 10(2): 171-93.

Jacques, Martin (2009) When China Rules the World: The Rise of the Middle Kingdom and the End of the Western World. London: Allen Lane.

Kirby, Alan (2006) ‘The Death of Postmodernism and Beyond’, Philosophy Now 58: 34-7.

Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe (1985) Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. London: Verso, 1985.

Lyotard, Jean-François (1984 [1979]) The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi. Manchester: Manchester University Press.

Lyotard, Jean-François and Jean-Loup Thébaud (1985 [1979]) Just Gaming, trans. Wlad Godzich. Manchester: Manchester University Press.

Lyotard, Jean-François Lyotard (1993 [1974]) Libidinal Economy, trans. Iain Hamilton Grant. London: Athlone Press.

Mouffe, Chantal (2000) The Democratic Paradox. London: Verso.

Mouffe, Chantal (2005) On the Political. London: Routledge, 2005,

Sartre, Jean-Paul (1967 [1948]) What is Literature?, trans. Bernard Frechtman. London: Methuen.

Sim, Stuart (2000) Post-Marxism: An Intellectual History. London and New York: Routledge.

Sim, Stuart (2010) The End of Modernity: What the Financial and Environmental Crisis Is Really Telling Us. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Sim, Stuart (2011) The Routledge Companion to Postmodernism. London and New York: Routledge.

Strange, Susan (1986) Casino Capitalism. Oxford: Blackwell.

Žižek, Slavoj (1989) The Sublime Object of Ideology. London and New York: Verso.

KONFLIK PEMBENTUKAN PROPINSI TAPANULI SARAT AKAN KEPENTINGAN ELIT

Pendahuluan

Wacana desentralisasi bukan sebuah kebijakan baru yang memiliki eforia demokrasi dalam kalangan akar rumput (grass root) masyarakat Indonesia. Pada masa Kolonialisme, Hindia-Belanda pada tahun 1922 telah menetapkan sebuah UU pemerintahan yang mengacu kepada bentuk desentralisasi, dengan memeberikan sebuah kekuasaan otonomi administrative cukup besr kepada tiap propinsi. Walaupun di Jawa apa yang dinamakan dengan Politik Etis (ontvoodging) teteap berjalan, yang malah memeaksa untuk membentuk sebuah dewan desa di tingkat kabupaten dalam rangka “pembebasan perwalian” tersebut. Kebijakan seperti ini justru siasat kolonial untuk memebagikan kekuasaan kepada elit local, lantas tetap menjalankan bentuk pemerintahan yang konservativ dan malah menjadi sebuah benteng kuat mengakarnya faham perjuangan Nasionalisme yang tidak membangun masyarakat sipil.
           
Pada masa Revolusi Indonesia colonial tetap memaksakan wacana pembentkan pemerintahan desentralisasi, yang memberikan upaya untuk melemahkan konsolidasi Indonesia di tingkat Nasional dan malah melahirkan para penguasa-penguasa daerahh yang bisa di intervensi oleh kekuasaan colonial. Hal ini terbukti, dengan memilihnya system pemerintahan yang Federal di Indonesia pada tahun 1950, namun konsep federasi di tabukan secara tegas. Akan tetapi dalam praktek dan kenyataannya kekuasaan pemerintah daerah dan komando militer daerah malah memiliki otonomi yang makin kuat, ssebab pemeritahan pusat tidak memiliki sarana untuk melakukan control yang tegas. Akibat adanya tekanan yang cukup kuat dari daerah, maka pemerintahan pusat merumuskan sebuah wacana kebijakan untuk jangka panjang yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.1/1957 tentang desentralisasi pemerintahan provinsi dan daerah (Legge 1961; Malley 1999).Undang-undang itu mengizinkan parlemen provinsi dan kabupaten untuk menunjuk gubernur dan dan bupati mereka sendiri. Untuk pertama kalinya di transfer dari para administrator tunjukan kepada politisi pemenag hasil Pegaramilu, dan langkah ini mengundang seluruh masyarakat untuk berpartisipasi dalam Negara (Anderson 1983). Desentralisasi tidak sempat mengakar karena adanya gerakan pemberontakan yang dilakukan di Sumatera dan Sulawesi untuk mendesak Jakarta, sehingga dilakukan sebuah UU darurat perang (SOB), sehingga meningkatnya eskalasi konflik di tahun 1959, di pertengahan tahun 1959 telah berdiri pemerintahan yang otoriter deangan adanya Dekrit Presiden 1 Juli. Dekrit ini langsung memangkas desentralisasii kekuasaan secara sekejap dengan diberlakukannya Dekrit Presiden No. 6/1959 untuk menggantikan UU No. 1 / 1957 yang telah dihapuskan. Pada masa Orde Baru pusat berusaha memberikan sebuah akuntabilitas yang menghapuskan dikotomi “jawa” dan “Luar jawa”, implementasi sebuah kebijakan yang mengatur pemerintahan daerah adalah pada UU No.5/1974 yang kemudian direfisi menjadi UU No. 5/1979, seolah-olah undang-undang ini memberikan keluasan pada tingkatan daerah. Walaupun sebenarnya para kepala daerah di Indonesia lebih dari setengahnya berasal dari kalangan militer yang sangat berafiliasi pada pemerintahan Orde Baru yang korup dan penuh nepotissme itu.
Pada masa awal Reformasi wacana desentralisasi kembali bergulir dengan cepat ke atas meja-meja sidang peumusan kebijakan. Dengan alasan untuk menekan sebuah proses Demokratisasi yang tlah menjadi sebuah trend politik di beberapa Negara di dunia ini. Seperti apa yang kita pahami bawa sebuah wacana desentralisasi yang di gulirkan pada masa Reformasi adalah sebuah desakan dari World Bank dengan isu demokratisasi, padahal wacana ini adalah sebuah agenda besar dari Neo-Liberal yang kan berorientasi pada pasar dan keberpihakanya yyang penuh terhadap pemilik modal saja. Pasca-Reformasi wacana pembaharuan mualai hadir, dalam pertarungan ini adalah sebuah momentum yang dapat digunakan oleh kelompok pragmatisme untuk memberikan pengaruhnya dalam peralihan kebijakan. Satu hal yang fenomenal pun terjadi di Negara kita, bagaimana Timor-Timur lepas dari NKRI melalui sebuah jalan Referendum. Ini adalah sebuah bukti kongkrit adanya pertarungan wacana yang mendorong dsentrlalisasi kedalam proses disintegrasi.

Lahirnya sebuah kebijakan desentralisasi pada masa Reformasi diwujudkan dalam UU No. 22/1999. Kesepakatan atas UU ini juga juga dipengaruhi oleh sebuah kondisi, dimana para politisi, partai politik, dan instansi lembaga Negara harus dengan segera mengganti “topeng” nya untuk kembali menarik simpatik rakyat. Partai Golkar misalnya yang juga mendorong lahirnya UU No. 22/1999, karena ingin menjaga basis massa yang berada pada kantong pemilihan di luar jawa sehingga dalam parlemen P.Golkar pun ikut memperjuangkan UU desentralisasi itu. Seperti dalam pengakuan Akbar Tanjung dalam The Golkar Way pada masa turbulensi era transisi itu Golkar harus dengan cepat mengambil sikap untuk tetap mempertahankan eksistensinya dalam  dunia perpolitikan Indonesia. Salah satunya dengan menambahkan nama “Partai” yang sebelumnya tidak memakai embel-embel Partai Politik (walaupun pada massa orba Golkar bukan tergolong Papol, namun bisa mengikuti pemilu dan selalu di pastikan menang), juga dengan mendukung beberapa kebijakan yang Populer dengan harapan mendapatkan kembali simpatik rakyat dimasa depan. Namun pada tahun 2004 lahir kembali sebuah kebijakan baru yang juga membahas desentralisasi, UU No. 32/2004 secara landasan filosofis undang-undang ini tidak banyak berubah dari kebijakan awalnya yaitu UU No. 22/1999. UU No. 32/2004 tetap mendorong sebuah desentralisasi sebagai jaminan hokum, hanya saja dalam proses pemekaran sarat-sarat yang di penuhi menjadi lebih detail dan harus melalui jalur birokrasi yang panjang. Lahirnya kebijakan ini didorong oleh Moratorium Presiden pada tahun 2004, karena presiden melihat pemekaran tidak efektif untuk membangun kesejahteraan rakyat malah lebih melahirkan eskalasi konflik baru di tingkat local yang sangat bersifat politis. Moratorium Presiden adalah sebuah bentuk ketidak tegasan lembaga Eksekutif dalam mengambil sikap, Legeslatif melahirkan UU baru tanpa membatalkan UU yang lama dengan alasan beberapa proses pemekaran yang sedang berjalan masih mengunakan landasan hokum PP No. 129 Tahun 2000. Sedangkan secara logika apabila proses pemekaran itu secara serentak diperlakukan dengan UU No. 32/2004, maka semua persaratan akan batal dan harus mengulang dari awal. Dalam Undang-unadang baru, proses dan persaratan jadi semakin ketat. Hal ini bisa dibuktikan dengan munculnya PP No. 78/2007, PP ini mengatur sebuah persyaratan baru untuk pemekaran daerah. Salah satunya yang mengharuskan sebuah daerah yang ingin melakukan pemekaran harus membentuk DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah), dalam proses pembentukan DPOD sudah sangat jelas akan memakan waktu yang cukup lama dan biaya yang lebih tinggi. Pergeseran undang-undang ini apabila kita cermati adalah sebuah rangkaian kebijakan yang tidak tegas.

Reproduksi dan Distribusi Wacana Protap, Dari Kalangan Media

Alasan yang memotifasi untuk membentuk Propinsi Tapanuli adalah sebuah alas an yang logis, terlebih meiliki landasan hukum yang kuat dengan merujuk pada UU No. 32/2004 (sudah mulai ditetapkan). Namun apakah dengan payung hukum yang kuat maka pembentukan propinsi Tapanuli (Protap) akan berjalan langgeng dan juga  memberikan jaminan kesejahteraan social  rakyat Tapanuli.

Gagasan besar pembentukan Protap dilator belakangi oleh sejarah di masa lalu, pada masa Hindia-Belanda territorial ini dsebut Keresidenan Tapanuli yang menuurt sejarah sebuah wilayah yang sulit untuk dijangkau otoritas pemerintahan Hindia-Belanda. Dalam praktek pembentukan Protap ini, lebih cenderung kearah Identitas politik yang sangat etnisitas dan primordialistik. Terbukti ketika secara perlahan Tapsel mulai di eliminer pengaruhnya dalam kesepakatan di kemudian hari. Dengan melupakan sejarah bahwa tercetusnya Tapanuli di masa colonial juga tidak lepas dari Kota Sidenpuan (Tapsel) yang kemudian dipindahkan ke Kota Sibolga (Tapteng). Logika seperti ini seolah membenarkan bahwa Tapsel tidak memiliki sangkut paut sejarah atas pembentukan Tapanuli.

Seorang GM Pangabean yang menjadi motor dari derakan ini mengunakan pengaruh media cetak nya untuk mereproduksi wacana protap untuk mendapatkan dukungan masyarakat Batak yang berdomisili di Wilayah Tapanuli maupun perantauan di Kota Medan. Dengan harian SIB GM Pangabean terus membangun sentiment agama, sukuisme dan primordialistik. Itu sangat terasa ketika harian SIB sudah mulai membawa nama Tuhan Jesus, dengan kata-kata “Ini adalah perintah Tuhan”. Wacana ini sangat sensitive ditengah keharmonisan masyarakat beragma di Propinsi Sumut. Dalam penyajian berita, maupun artikel beberapa belakangan ini SIB sangat kencang untuk me-wacanakan pembentukan Protap. Potret fenomena seperti ini sangat jelas arahnya, dimana SIB menjadi suar dalam pembentuukan protap ini. Selain membangun sentiment-sentimen negative GM Pangabena juga berusaha menggiring wacana masyarakat Tapanuli Utara untuk menyepakati pergeseran Kota Madya yang pada mula nya  disepakati di Tarutung  kemudia di geser ke Siborong-borong dengan alas an kota bisnis yang berpotensial (secara Siborong-borong tanah kelahiran GM Pangabean), agar lebih melegitimasi pemberitaannya dibumbui dengan statement para petinggi HKBP.

Harian Waspada yang secara latar belakang Ideologis berbeda, selalu meemberikan, sudut pandang yang berbeda dengan pemberitaan SIB. Waspada kita tahu adalah harian yang banyak di baca oleh warga Muslim Sumut, tetapi Waspada tidak membenturkan dengan issue SARA. Pemberitaan Waspada lebih bertitik pada ke tidak siapan Panitia pembentukan Protap, dan lebih sering mengutip statement pejabat daerah yang contra pada issue Protap. Serangan Waspada yang lebih mengacu pada hukum normative terhadap issue Protap, seakan memposisikan pembentukan protap adalah sebuah proses hukum yang cacat atau rancu dan sangat rentan dengan kepentingan bisnis. Seperti halnya sorotan Waspada dalam liputan demonstrasi yang mengatasnamakan Masyarakat STPDN (Sibolga, Tapteng, Dairi, dan Nias) dan penarikan beberapa anggota DPRD Sumut yang tarik diri dari Panitia Pembentukan Protap. Wacana ini menguatkan bahwa tarikan dukungan dari beberapa wilayah tadi semakin melemahkan posisi tawar pembentukan Protap. Terlebih belakangan, pasca tewas nya Alm. Aziz Angkat dalam insiden menjadi head line news dan hot issues.
Pertarungan Elit Lokal Sumatera Utara

GM Panggabean cs jelas memposisikan diri dalam elit Tapauli yang memeperjuangkan pembentukan Protap. Maka wajar apabila Panggabean group dengan sepenuh kemampuannya untuk memperjuangkan pemebentukan Protap ini, karena imbalan kekuasaan dan peluang bisnis yang bisa dikelola oleh keluarga Panggabean. Apabila kita mulai menganalisis dari pemberitaan yang disiarkan oleh SIB, itu sangat jelas bahwa GM Panggabean memang ngotot untuk mendesak atas pemebentukan propinsi baru Tapanuli. Motivasi nya juga mulai terbaca oleh masyarakat Sumut, bagaimana gerkan protap ini mulai meng-eliminer Tapsel (yang notabene nya mayoritas Muslim) karena kemungkinan dalam proses pemerintahannya nanti apabila Protap ini sukses akan menjadi duri dalam semat bagi GM Panggabean cs. Setelah itu dia juga menggiring opini masyarakat Batak Toba untuk terus mempropagandakan perjuangan protap atas nama Tuhan, dan sepakat untuk menetapkan Kota nya di Siborong-borong.

Sosok GM memang seseorang yang perlu diperhitungkan dalam perpolitikan local Sumatera Utara. Track record sebelum GM memberi dukungan pada PPRN dia adalah politisi yang lahir dari Partai Golkar. Alasan dia keluar dari P.Golkar sangat jelas karena dia memperjuangkan pembentukan protap yang tidak mendapatkan dukungan dari Golkar itu sendiri. Dia juga memiliki kedekatan dengan DL Sitorus yang belakangan mulai meberikan bantuan dana kampanye PPRN di Sumut. Kedua fakta itu bisa menguatkan bahwa posisi GM sebagai motor utama. Keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Syamsul Arifin seakan semakin memperkuat jalanya proses pembentukan Propinsi Tapanuli, dengan mengeluarkan  keputusan No.130/3422.K tahun 2008 tentang persetujuan pembentukan Propinsi Tapanuli, pemberian bantuan, penyelengaraan pemerintahan, penetapan calon lokasi ibukota Propinsi Tapanuli dan cakupan kota/kabupaten Propinsi Tapanuli, tanggal 26 September 2008.

Dilain sisi seorang yang paling vocal dalam pembentukan Protap adalah H. Raden M Syafei (Romo). Dalam pernyataanya paripurna masalah Protap tidak perlu dilakukan karena sudah tidak memiliki landasan Yuridis. Menrutnya masalah Protap ini sudah batal secara hukum, keputusan No. 130/3422.K yang dikeluarkan oleh Syamsul Arifin akan gugur. Karena harus berlandasankan PP No. 78 tahun 2008, yang mengharuskan adanya tim study kelayakan secara Independent baru Gubernur bisa merekomendasi. Selain itu menurut Romo, tim Pansus Protap sudah pernah dibuat akan tetapi masih mengacu pada UU No. 129/1999 yang mengikutsertakan 7 Kabupaten Kota; Taput, Humbahas, Samosir, Tobasa, Nisel, Tapteng dan Sibolga. Namun sekarang hanya didukun oleh 4 Kabupaten Kota karena Tobasa, Nisel, Tapteng dan Sibolga sudah mulai menarik diri. Penarikan dukungan juga terjadi dalam Panmus yang hanya dihadiri oleh 9 anggota DPRD, itu pun hanya satu orang yang mewakili dari Pro-Protap yaitu Rinawati br Sianturi dari Fraksi PDS. Sikap penolakan yang keras juga keluar dari pernyataan Hasbullah selaku Wakil Ketua DPRD Sumut dalam sidang pansus beradu saraf dengan pendukung Protap, yang membuat suasana memanas. Yang akhirnya Alm. Aziz Angkat menetapkan akan diadakan sidang Paripurna pada tanggal 4 February 2009, untuk mengesahkan pembentukan Propinsi baru Tapanuli. Keputusan ini juga hasil dari desakan anggota dewan yang sudah membangun sentiment-sentimen negative dalam ruang sidang itu.

Tewasnya Alm. Aziz Angkat (Ketua DPRD Sumut) menjadi korban dalam insiden 3 February 2009, menurut saya adalah Grand design politik local Sumatera Utara. Karena insiden ini apabila tidak cepat diatasi akan merebak menjadi konflik SARA, yang sangat rentan dalam kehidupan Pluralisme sperti di Sumut ini. Hal ini bisa dibuktikan, pasca insiden 3 February itu Anwar Shah (Ketua Umum PP Sumut) ato biasa dikenal Aweng mengkomandokan untuk mencari semua orang yang terpotret dalam kamera wartawan Waspada pada hari kejadian, juga Satma PP mengelar Demonstrasi di Bundaran SIB yang hamper melakukan tindakan anarkis. Juga menurut informasi kawan-kawan HmI Cabang Medan pasca insiden para pengurus menerima telfon untuk tidak melakukan sebuah aksi (karena mengingat Alm. Juga alumni dari HmI Cabang Medan). Peredaman issue ini adalah salah satu strategi Negara untuk menstabilkan kondisi yang mulai memanas. Karena pada tanggal 4 February kantor BAPILLU PPRN di simpang Polonia ketat di jaga oleh Polisi. Para provokator mulai memanaskan lewat SMS gelap yang sudah berbau SARA, dan mulai mengatas namakan agama.

Dugaan-dugaan Politik Lokal Sumatera Utara atas Konflik Protap

Asumsi ini tetap mengacu pada pembacaan saya terhadap politik local Sumatera Utara, sejauh data dan analisa yang saya miliki. Saya yakin ini adalah sebuah Grand Design Politik di Sumut, mengapa? Karena tewasnya Alm. Aziz dalam insiden 3  February merujuk pada dua kemungkinan, menjadi “terkorbankan” ? atau malah sengaja “dikorbankan”. Apabila insiden berdarah itu dalam konteks “terkorbankan” artinya tewasnya Alm. Aziz adalah sebuah kejadian di luar prosedur dari Demonstrasi Protap 3/2. Alsan ini boleh jadi benar, berangkat dari asumsi; mereka tahu apabila trjadi hal diluar prosedur maka perjuangan mereka selama ini akan sia-sia saja, dan para penggagas nya akan terjerat pasal-pasal hukum. Dan ini sebuah alasan yang logis bagi mereka untuk menghindari jatuhnya korban.

Asumsi saya justru insiden 3 February itu lebih dalam konteks “dikorbankan” (ada kemungkinan kelompok pro-Protap sendiri tidak menghetauinya kalau gerkannya sudah di bonceng) , artinya tewasnya Alm. Aziz adalah korban politik yang biasa terjadi dalam dunia perpolitikan. Terdengar sangat sinis memang, akan tetapi saya bisa memberikan sebuah alsan dari pernyataan saya ini. Sebelum kita membahas politik praktis di Sumut, saya akan mengedepankan beberapa issue penting yang bisa dimainkan dan melahirkan konflik protap ini;

  • Issue keamanan dan ketidak tegasan Lembaga Eksekutif, ketidak tegasan Pemerintahan SBY dalam Pidato Moratorium nya malah melahirkan UU baru. Sikap tidak tegas dan kekacauan dibidang keamanan ini bisa digunakan oleh lawan politik SBY untuk memberi serangan menjelang pemilu atau sebagai posisi tawar yang kuat.
  • Issue local, upaya menjatuhkan Pemerintahan Syamsul Arifin karena dia belum memulai mengerjakan janji-janji politik nya.

Diantara beberapa issue yang saya kedepankan ini, ada kemungkinan dari salah satunya memiliki korelasi dan pengaruh yang sangat kuat, terhadap terjadinya insiden 3 February.


Issue keamanan Nasional, menjadi sebuah kajian prioritas dalam bidang pertahanan mejelang PEMILU. Pemerintah harus bekerja ekstra untuk menjaga keaman Negara, stabilitas keaman juga memberikan  koreksi penilaian terhadap sebuah pemerintahan. Karena apabila konflik Protap ini tidak bisa deredam oleh pemerintah, maka secara otomatis pemerintahan akan goyang, dan focus menjelang pemilu menjadi buyar karena harus membenahi konflik etnisitas dan agama di Sumut. Mungkin para arsitektur politik melihat peluang dengan adanya wacana protap dan membonceng kepentingan elite pusat. Celah ini juga dikarenakan ketidak tegasan eksekutif, ketidak tegasan itu juga sangat beralasan menurut saya. Wacana desentraalisasi adalah sebuah wacana yang yang popular di mata Legeslatif, sehingga apabila eksekutif mengambil langkah ekstrem (tidak popular) pasca pidato moratorium maka posisi eksekutif di mata legeslatif akan terancam. Posisi tersudut eksekutif ini, adalah sebuah celah untuk lawan politik nya. Kita tahu JK juga memiliki ambisi untuk bertarung dalam Pemilu 2009. JK akan menekan SBY lewat legeslatif karena P.Golkar menguasai parlement. Hal ini akan menjadi sebuahh serangan bagi SBY, dan nantinya akan membentuk sebuah opini public untuk mengembosi suara pendukung SBY di 2009 (kita juga tahu media massa dikuasai oleh Surya Paloh, jadi sangat mungkin untuk melakukan hal itu). Apabilla strategi ini masih sangat tumpul untuk menyerang SBY, paling tidak sikap ini bisa menjadi modal politik nya di kemudian hari.

Issue local yang tidak kalah menarik juga harus saya paparkan, karena disinyalir  memiliki kaitan dengan issue Nasional. Terpilihnya Syamsul Arifin menjadi Gubernur Sumut memang tidak terlepas dari sosok nya yang Low Profile, janji politik nya dan dukungan PKS, karena Gatot Pujo Nugroho sebagai wakilnya. Tapi haruskah kita terlena dengan kesederhanaan nya itu yang tidak lebih sebagai topeng busuk seorang politikus preman. Pasca pelantikan nya sebagai Gubernur Sumut sampai hari ini belum ada realisasi janji politiknya yang dilakukan secara kongkrit. PKS pun sudah mulai mengevaluasi pemerintahan nya di Sumut, dan PKS sudah mulai meninggalkan Syamsul. Terlebih lagi pasca dipangilnya Syamsul oleh TPF DPR, terlebih angota dalam TPF DPRD itu ada H. Raden M Syafei yang notabene nya adalah lawan politik nya yang juga penah bertarung dalam Pilgubsu. Proses ini akan menjadi salah satu sarana untuk menyerang Syamsul yang memang ada kemungkinan terlibat dalam deal politik dengan kelompok pro-Protap. Pangilan ini juga menyudutkan posisi Gatot apabila dia tidak memberikan statement bahwa dia tidak terlibat dalam persekongkolan itu, sebagai kader PKS dia menjadi acuan koreksi kinerja partai. Sampai sebuah titiik tertentu partai akan rasional terhadap sikapnya, dan Gatot akan diberikan pilihan-pilihan politik. Ada kemungkinan Syamsul menerima ‘paket’ atau deal politik pada masa Pilgubsu dari GM untuk menandatangani SK itu, dalam posisi tersudut seperti ini Syamsul tidak memiliki rumah (partai politik) untuk berlindung dari lawannya. Maka dari itu dia berusaha meminta perlindungan dari SBY, seperti kita tahu Syamsul memiliki kedekatan yang khas dengan SBY dibanding Gubernur yang lain (termasuk kedekatanya dengan Purnawirawan TNI) mungkin dia menjanjikan estimasi suara dari Sumut untuk dukungan SBY. Disisi yang lain Romo tetap bersikeras untuk menyelesaikan kasus ini lewat jalur hukum, Romo juga memiliki dukungan dari Akbar T (karena pada tgl 5, Romo melakukan percakapan serius dengan Akbar T di Rumah nya). Apabila terbukti Syamsul terlibat dan memiliki hubungan ke SBY, maka Syamsul akan jatuh tahta dan Golkar menyerang SBY dengan opini public. Setelah itu Golkar akan mendapatkan posisi tawar nya terhadap PKS, karena posisi Gatot juga menjadi juru kunci yang menentukan.

Kesimpulan

Dalam beberpa kajian kelayakan tentang Otonomi Daerah, Bapenas yang berkerja sama dengan UNDP melaporkan bahwa Otda ini tidak efektif untuk tetap diteruskan. Berdasarkan 26 kabupat kota; 10 kabupaten induk, 10 kabupaten pemekaran, dan 6 kabupaten konterol, dari study ini menunjukkan bawa ketergantungan fiscal pada pusat dan optimalisasi laju gerak ekonomi tidak berjalan dengan maksimal. Secara teorits para daerah pemekaran baru hanya ingin mendapatkan DAU (Danan Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus).  Apabila paradigma seperti ini yang tetap dipertahankan maka, ini adalah sebuah cara untuk memiskinkan Negara demi kepentingan segelintir orang saja. Dalam kasus Tapanuli usdah pernah diadakan studi tentang kelayakan, dan hasilnya Negatif untuk membentuk propinsi sendiri. Selain alasan daerah ini tidak memiliki sumberdaya alam yang cukup untuk modal nya, alasan etnisitas dan agama juga menjadi pertimbangan penilaian itu. Laporan yang dipublikasiskan pada February 2008 oleh FGD, hasil itu mengatakan bahwa otda di Indonesia masih jauh mencapai keefektifan dari yang dibayangkan. Dengan memahami beberpa rangkaian pristiwa sebelumnya proses pembentukan ini sangat sarat dengan kepentingan elit local maupun pusat. Konflik protap sudah jelas bukalah sebuah kesalahan masyarakat dalam memperrjuangkan hak-hak politik nya, akan tetapi lebih kepada perjuangan para elit local mapun pusat yang menjual dengan issue etnis dan agama. Banyak para pngamat dan lembaga kajian Independent menyatkan bahwa proses pemekaran di Indonesia hanyalah mendorong terlahirnya kembali raja-raja kecil pada tigkat daerah. Pernyataan ini ada benarnya nya juga, dalam kasus Protap kita sudah bisa membaca apabila ini lolos dan lahir menjadi propinsi baru maka yang ada disanan adalah hegemonic kekuasaan Panggabean cs (semua instansi daeraha akan dikuasai berdasarkan marga atau kedekatan). Sebuah impian yang mendorong demokratisasi pada akhirnya tidak terealisasi, yang ada justru munculnya oligarkis daerah yang lebih mengedepankan kepentingan golongnnya saja. Biaya yang telah banyak dikeluarkan dalam rangka “mengongkosi” proses demokratisasi di Indonesia, menjadi tidak berarti dan lenyap begitu saja demi kepentingan para elit-elit.

Dalam kacamata teori elit yang dikembangkan oleh Mosca dan Pareto, dalam sebuah pemerintahan hanya dikendalikan oleh sekelompok kecil elit yang berkuasa maupun tidak. Maka dari itu sebuah kebijakan dan peraturan yang dibuat dan diberlakukan sesungguhnya lebih cenderung untuk kepentingan elit itu sendiri. Hal ini memang terjadi dalam kasus Protap, bagaimana GM ngotot untuk meloloskan Tapanuli yang 4 kabupatn kota itu menjadi propinsi baru, lantas kepentingan atau deal politik yang bisa di nikmati oleh Syamsul, dijadikan momentum untuk menyerang secara politis oleh para elit politik Sumut. Pertarungan elit sangat kental, sehingga apa yang disebut dengan ‘Kepentingan rakyat’ sangat minim dan hampir dibilang tidak ada. Pergeseran UU No. 22/1999 ke UU No. 32/2004, hanya mengeser sebuah patron yang bisa digandeng oleh elit local demi memuluskan jalannya pembentukan propinsi baru. Yang pada UU No. 22, patron lebih di tujukan kepada legeslatif daerah karena dalam penggodokan sidang hasil untuk mendapatkan legal formal hukum bisa didapatkan maka sebuah propinsi baru sudah sah dibentuk. Namun pada UU No. 32, patron nya bergeser ke Elit cultural (pemangku adat, petinggi agama, tokoh pemuda) dan para intelektual (akademisi). Hal ini terjadi karena proses pembentukan propinsi baru harus melewati tahap yang lebih ketat, dan du golongan itu bisa membantu para elit local untuk memuaskan kepentingan dan hasratnya berkuasa. 

Post-Behavioralism ?

          Memasuki era 1960-an terjadi sebuah kegelisahan baru dari para kalangan behavioralisme. Tantanhgan baru yang mereka hadapi dalam melihat masalah realita social politik, adalah salah dsatu orientasi perdebatan wacana intelektual di dalam kehidupan politik bansa Amerika. Ada juga yang mengasumsikan bawa tantangan ni erat kaitan nya dengan gerakan kiri baru (New Left) serta sebuah kontra budaya, yang terimplementasi dalam sebuah daya upaya untuk membangun konsolidasi dalam tataran ilmuan politik dan mengadakan sebuah forum rapat  (caucus)yang membahas adanya suatu perubahan dalam ilmu politik.[1] Posisi pertemuan ini menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam pergulatan wacana politik pada kalangan ilmuan politik Amerika (APSA).
Walaupun terdapat banyak perubahan dalam orientasi penafsiran ilmu politik, yang hamper mencapai sebuah kesepakatan penuh bahwa ilmu politik telah mengembangkan beberapa purbasangka ideology yang kabur dan tidak dapat di sangkal lagi. Tuntutan adanya seebuah dikotomi antara nilai dan fakta serta penekanan nya untuk melakukan kerja keras, baru kemudian memikirkan masalah relevansi. Hal ini telah coba untuk di manifest  pada April 1969, suatu panitia Eksekutif tela mendefinisikan tujuan-tujuan caucus; menciptkan sebuah ilmu politik yang diarahkan bukan kepada indoktrinisasi manusia serta kepada petunjuk-petunjuk keilmuan tetapi kepada pendaftaran ilmu yang mengatas namakan manusia. Jadi suatu ilmu politik yang dapat melayani kaum miskin,tertindas dan terbelakang, baik didalam Negara mereka sendiri ataupun diluar negri, dalam perjuangan nya melawan hierarki-hierarki, kelompok elit serta bentuk-bentuk manipulasi kelembagaan yang telah mapan. David Easton orang ang di tunjuk dalam pimpinan caucus itu, pada akhirnya dapat mengakomodir para kelompok oposisi merreka dalam menggunakan ide-ide nya tentang ilmu politik. [2]

David Easton dalam sebuah pidatonya yang dirujuk menjadi seorang ketua dalam sebuah caucus ilmu politik april 1969, menyatakan sebuah paradigma yang memang sudah lahir dari serang teoritis politik Amerika. Dia hanya kembali menggemakan sebuah pergolakan social yang terjadi di Negara itu politik yang ada masa awal perang Vietnam, pergolakan kaum Afro-America untuk menetang habis politik aphartheid, lalu gerakan para kelompok Feminis dalam konteks persamaan genre dan status social terhadap laki-laki dalam semua aspek kehidupan. Sperti kutupan dari pidato David Easton yang di tuliskan oleh Sandoz, “adalah sebuah kesadaran yang trumatik bahwa periode behavioral sudah berakhir secara tiba-tiba dan tidak dapat diulang kembali terutama karena satu pecahan dari bidang ilmu politik yang begitu penting telah terlambat, dan hampir secara histories memberikan reaksi kepada masalah-masalah  kehidupan politik yang bersifat pragmatis yang secara geometris semakin menghebat.
Di antara berbagai kecenderungan baru itu, orang dapat melihat: hidup nya kembali perhatian kepada “partisipasi” sebagai suatu elemen penting demokrasi, berlawana dengan pengidentifikasian demokrasi yang lebih umum, dengan partai-partai politik yang kompetitif; sebuah gerakan yang baru terhadap gerakan-gerakan proses massa sebagai bagian penting dari proses Demokrasi; kebutuhan akan adanya proses demokratisasi dari kehidupan sehari-hari, terutama dalam lingkungan kerja; serta adanya penekanan dalam proses desentralisasi sebagai suatucara untuk memperbesar partisipasi, serta adnya antisipasi yang baik terhadap berbagai konsekuensi dari partisipasi yang lebih besar tersebut.
Lahirnya sebuah istilah Post-Behavioral dalam rangka membentuk sebuah paradigma baru terhadap fenomena yang sudah tidak relevan lagi apabila dikaji dengan pendekatan behavioral.[3] Karena kalangan post-behavioral memiliki penekan terhadap dua nilai yang menjadi landasan berfikir mereka, yaitu relevansi dan tidakan. Artinya ada dugaan bahwa ilmu politik telah didefenisikan terlalu sempit dan relative diidentifikasikan terhadap tatanan yang sudah mapan. Seharusnya para ilmuan politik tdak hanya mengurai teori yang ideal dalam struktur masyarakat tetapi juga ikut andil dalam praktek di lapangan untuk membangun system yang mapan.
Landasan Berfikir Kaum Post-Behavioralis

Pemahaman terhadap post-behavioralisme seharusnya jangan dicampuradukan terhadap pemahaman tradisionalisme, walaupun sering dikaitkan terhadap kritik nya terhadap kaum behavioralis. Tetapi itu bukan sebuah landasan yang cukup kuat untuk menyamakan pemikiran itu. Tradisionalisme terlalu berkutat pada pemikiran klasik  dan percaya akan terjadi nya sebuah pengulangan sejarah dan menolak validitas atas perkembangan tingkah laku manusia. Sedangkan pada sisi post-behavioralisme menerima apa-apa yang telah dicapai pada era behavioralisme, dan lebih menekankan ilmu poltik terhadap cakrawala yang lebih maju.
Dua tuntutan utama dari post-behavioralisme adalah relevansi dan tindakan. David Easton yang pada suatu saat pernah menguraikan satu persatu 8 karakter utama behavioralisme dan menamakan nya sebagai “batu loncatan intelektual” dari gerakan tersebut, kini muncul dengan 7 sifat karakter post-behavioralisme dan dia menamakan nya dengan “suatu penyulingan bayangan maksimal”. Ketujuh karakter tersebut secara maksimal dapat di jelaskan sebagai berikut:
(1)Dalam penelitian politik, “substansi atau isis pokok harus mendahului teknik”. Mungkin ada baiknya memiliki alat penelitian yang canggih., tetapi hal yang paling penting adalah tujuan, hal yang mengharuskan alat-alat tersebut digunakan. Jika suatu penelitian ilmiah tidak relevan dan tidak memiliki apa-apa bagi masalah-masalah social yang mendesak pada saat ini, maka penelitian tersebut tidak berharga sama sekali untuk dilakukan. Terhadap satu  slogan yang dibunyikan oleh kaum behavioralis, “lebih baik salah dari pada kabur”, justru kaum post-behavioralis mengatakan “lebih baik kabur  daripada salah dan tidak relevan”.
(2)Ilmu politik masa kini seharusnya memberikan penekanan utamanya kepada peruahan social dan bukan kepada pemeliharaanya, sebagaimana tampak yang dilakukan kaum behavioralis. Kaum behavioralis telah membatasi diri mereka secara ekslusif hanya pada penggambaran dan analisa data, tanpa berusaha memahami fakta-fakta ini dalam konteks social yang luas. Hal ini memebuat ilmu politik behavioral menjadi suatu ideology konservatif social yang semakin diperkuat oleh suatu perubahan yang sederhana dan berubah sedikit demi sedikit.
(3)Ilmu politik selama periode behavioral, secara penuh telah melepaskan dirinya dari realitas politik yang sifatnya masih kasar (brute realities of politics). Tetapi sejak abstraksi dan analisa menjadi inti pokok penelitian yang bersifat behavioral, para ilmuan politik tidak lagi mempunyai kemungkinan untuk mengamati kenyataan-kenyataan dari situasi yang ada. Saat itu benar-benar masa kritis dan penuh khawatiran. Dengan sumber-sumber kekayaan dan teknik nya yang luar biasa, serta adanya skala peningkatan kemudahan material manusia yang luar biasa pula, masyarakat di dunia barat pada saat yang sama juga tengah mengarah kepada berbagai konflik social yang semakin meningkat dan ketakutan dan kekhawatiran terhadap masa depan mereka semakin mendalam. Jadi bila hl ini bukan merupakan tanggung jawab para ilmuan politik untuk ikut memikirkan kebutuhan manusia yang sesungguhnya, lalu apa gunanya ilmu politik bagi masyarakat?
(4)Kaum behavioralis, meskipun tidak sepenuhnya mengingkari peranan dari suatu system nilai, telah memberikan penekanan yang begitu besar kepada faham-faham keilmiahan serta pendekatan yang bebas nilai, sehingga masalah “nilai” untuk tujuan praktis tidak pernah dijadikan bahan pertimbangan. Hal ini merupakan hal yang benar-benar menyedihkan. Karena hanya dalam landasan sistem nilai lah semua ilmu penghetauan berdiri, kecuali apabila system nilai dianggap sebagai kekuatan pendorong yang ada dibalik ilmu penghetauan, akan terdapat suatu gejala bahaya bahwa ilmu penghetauan akan digunakan untuk tujuan yang keliru. Jadi system nilai yang memainkan peranan penting dalam ilmu politik dan penelitian, tidak bisa dibuang begitu saja dari penelitian politik, apabila kita ingin tetap mempertahankan sifat ilmiah dari disiplin ilmu itu. Jadi apabila ilmu penghetauan digunakan untuk tujuan-tujuan yang benar system nilai harus dikembalikan pada posisinya yang sentral.
(5)Kaum post-behavioralisme, ingin mengingatkan para ilmuan politik bahwa sebagai kaum intelektual mereka memiliki peranan yang harus dimainkan dalam masyarakat. Merupakan tanggung jawab mereka untuk berusah melindungi peradaban nilai-nilai kemanusiaan. Apabila ilmuan politik demi keteguhan, objektivitas dan penelitian yang memakan waktu, tetap mengabdikan diri mereka pada masalah-masalah social dan mengambil peran mereka menjadi teknisi, ahli, secara sembarang dalam masyarakat. Dan mereka tidak bisa menghidar dari serangan publik.
(6)Apabila kaum intelektual memahami masalah-masalah social dan merasa  terlibat didalamnya, mereka tidak akan pernah menjauhkan diri dar tindakan-tindakan nya


[1] Caucus adalah pertemuan para ilmuan politik dalam membahas fenomena baru, dan menekankan ilmu politik kearah masa depan (future orientied)
[3] Para kaum behavioralis setelah diadakan pertemuan dalam membahas hal yang berkembang sudah mulai bergeser kearah post-behavioral. 

Gaya Berfikir Aristoteles

Dalam beberapa karya nya, ada beberapa yang tdak dapatditemukan dan tidak tercatat dalam sejarah pemikiran para pemikir Yunani Kuno. Seperti karyanya yang berjudul Ta Politica masi banayak jadi pertanyaan para sejarawan Yunani Kuno, seperti Cicero misalnya dia mengenal buku-buku karya Aristoteles yang banyak berbicara tentang sebuah keadilan dan empat buku lainnya akan tetapi Cicero tidak pernah mengenal karya aristoteles yang berjudul Ta Politica. Diperkirakan karya itu ditulis pada Abad ke-6, namun dalam perjalannanya abad ke-12 karya-karya Aristoteles rampung diterjemahakan dalam bahasa Latin dan pada abad ke-17 karya itu menyusul ditulis dalam bahasa Syira yang kemudian menjadi bahasa Arab. Yang kemudian pada abad ke-20 karya Aristoteles menjadi sebuah acuan berfikir para akademisi di Universitas seluruh dunia.
Untuk memeahmi karya Aristoteles yang berjudul Politica banyak para ahli filsafat barat yang berusaha untuk menjelaskan dalam terrminologinya masing-masing, karena karya Politica merupakan salah satu kunci untuk memeahami pemikiran Aristoteles. Ernest Baker misalnya berpendapat bahwa Politica disusun dalam beberapa kuliah dasar yang dirangkum menjadi sebuah maha karya. Namun W.D Ross, lebih melihat bahwa Politica adalah lima karya Aristtoteles yang ditulis dari sebuah karangannya secara terpisah antara satu dan yang lainnya.
Alfred North Whitehead mengatakan bahwa sejarah perkembangan filsafat di Barat tidak pernah lepas dari catatan kaki pemikiran dan karya Plato. Dalam karya Politica misalnya para peneliti banyak melihat bahwa Aristoteles juga banyak berada dalam pengaruh pemikiran Plato. Kritik yang di lancarkan oleh Aristotetles terhadap karya Plato Republic lebih dilihat karena ketidak pahaman dan penyalah artian dia terhadap pemikiran gurunya (Plato). Republic ditulis oleh Plato pada usia muda ketika Plato masi menganut pemikiran Idealism, dan ketika Aristoteles belajar pada Plato sebenarnya Plato sudah dalam transisi dari Idealism ke Realism, jadi wajar ketika Aristoteles dibangun dalam alam Realistic mengkritik Republic (Idealism).
Dalam alam pemikiran Aristoteles, dia membayang kan sebuah Negara adalah persekutan orang untuk hidup politis. Dia membayangkan bahwa sebuah Negara adalah suci dan berdaulat dari kepentingan individu. Artinya Negara dalam bentuk untuk kehidupan politis, memiliki sebuah posisi yang istimewa berada dalam jenjang yang tinggi dan sangat berdaulat untuk mengeluarkan sebuah kebijakan. Sehingga dalam pemikiran nya, State-absolutism adalah sebuah bentuk yang salah walaupun pola pemikirannya mengkrucut dalam terminology itu, karena walaupun Negara itu sangant berdaulat tetapi dalam bayangan nya Negara yang luhur itu dapimpin oleh sebuah kepemimpinan dengn moral yang tinggi. Maka dari itu dia menyatakan bahwa Negara adalah memanusiakan manusia.
Menurutnya hidup ini adalah berpasangan, maka dari itu keharmonisan itu dibentuk pertama oleh pria dan wanita. Kesinergian hubungan ini menghasilkan sebuah Keluarga yang dalam pemikiran Aristoteles adalah unit terkecil dalam membentuk unsure Negara. Ketika sudah ada keluarga yang hidup dalam sebuah komunitas yang sadar akan kebutuhannya, maka mereka akan melai mengorganisir diri mereka dan membentuk sebuah Desa. Ketika desa sudah banyak terbangun maka mereka akan memiliki sebuah kebutuhan yang heterogen, dan satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhannya adalah membentuk sebuah Negara yang berdaulat (state sovereignty). Negara seperti ini lah yang dibayangkan oleh nya dalam Negara-Kota (state-polis), maka tugas Negara adalah untuk memenuhi kebutuhan para desa samapai para keluarga. Pemikiran ini lahir dari Imajinatif Aristotles bukan empirisme.
Negara harus mencari sumber kekuasaan untuk sebuah orientasi bentuk, dia mengkritik pemikiran Plato yang mengaagap sumber kekuasaan adalah penghetauan. Aristoteles justru melihat Hukum sebagai sumber kekuasaan yang menjadi acuan sebuah Negara. Dengan Hukum baginya dapat terbangun sbuah kesepakatan yang membangun sebuah moral, karena hanya kesadaran moral lah yang dapat membangun sebuah peradaban yang tentram dan damai. Dan sebuah kekuasaan Negara harus dijalankan oleh kelas menengah yang bias bersifat fleksibel, dan tidak memiliki  hal yang mengancam sebuah kedaulatn sebuah Negara. Maka dari itu sangan penting untuk mendiskusikan siapa yang layak memegang tampuk kekuasaan Negara.
Salah satu hal yang menarik adalah Aristoteles juga membahas tentang pendidikan, artinya dia melihat bahwa pendidikan juga sebagai pilar dalam fodasi bernegara. Pendidikan adalah sebuah proses moralisasi warga Negara, yang dapat memberikan sebuah kesadaran. Pendidikan memiliki tujuan yang luhur pada Negara untuk menurunkan nilai-nilai kebajikan yang harus dilestarikan. Walaupun terkadang dalam praktek pendidikan di dalam lapangan sering kali terjadi kesimpang siuran yang mengakibatkan bermasalah pada pertanggung jawaban pada cita-cita pendidikan.
Ternyata pendidikan juga mendatangkan sebuah harapan baru selain dari penurunan nilai-nilai, pendidikan juga menuntut sebuah prestasi positif dalam mencipta atau menghasilkan karya yang berguna untuk orang banyak. Karena ketika pendidikan dapat mendorong sebuah kreatvitas manusia maka secara otomatis peradaban sebuah Negara dapat ter-akselerasi dengan maksimal. Untuk mencapai tujuan ini Aristoteles menanamkan bahwa setiap warga Negara harus mendapatkan sebuah pendidikan formal yang layak. Ketika semua warga dapat merasakan sebuah pendidikan maka ini bias menjadi sebuah stimulant positif untuk bangsanya. Ketika pendidika telah diselenggarakan maka mereka harus ditananamkan rasa tanggung jawab atas ilmu yang mereka dapatuntuk dapat diabdikan bahkan dikembangkan lebuh luas lagi oleh warga Negara.
Memberikan sebuah latihan fisik dan musik juga menjadi sebuah hal yang penting untuk mensinergikan otak. Fisik yang berlebihan menurutnya uga tidak baik karenan akan melahirkan sebuah watak yang agresif seperti Spartan, namun pelatiahan fisik yang cukup akan menjaga kondisi stamina tubuh untuk lebih memiliki daya tahan yang kuat. Dan juga untuk meangsang sebuah pertumbuhan anak-anak agar mendapatkan masa pertumbuhan yang maksimal. Sekolah musik juga perlu dimana untuk membuat artistic kit bermain dan lebih mebuat otak lebih segar dan mampu memberikan relaxasi setelah mengalami kepenatn. Musik juga mengasah sebagian otak untuk bekerja sehingga dengan musik dapat mempertajam kreativitas dan imajinasi yang akan membantu untuk mencapai sebuah prestasi. Artinaya elaborasi anatara kedua cara ini akan menghasilkan sebuah prestasi yang maksimal.
Persamaan hak bagi Aristoteles berbeda debgangan apa yang di gambarkan oleh Plato. Menurut Aristoteles kekbebasan tidak bias diberikan sama kepada semua kalanganan, yang dimaksud dengan keadilan bkanlah untuk memberikan bagian yang sama terhadap semua golongan. Keadilan hanya dapat dicapai apabila diberikan oleh kelompok yang setara, maka dari itu dalam pemikiran nya Negara tidak bisa di kendalikan oleh orang-orang miskin. Akan tetapi Negara harus dipimpin oleh kelompok yang bebas.
Masih dalam pemikirannya Negara tidak akan menjadi baik dan adil serta makmur karena Negara membawa kepentingan semua golongan maka dari itu pasti ada kepentingan yang dikorbankan untuk kepentingan bersama. Apabila orang-orang miskin memegang tmpuk kekuasaann tertinggi dalam Negara maka dia akan selalu mementingkan kelompoknya saja. Hal ini tidak bisa dipertahankan dalam suatu Negara, karena itu harus dipimpin oleh orang yang bebas.
Aristoteles dalam peemikirannya setuju dengan ebuah perbudakan, dia justru mengkritik Plato yang ingin menghapuskan sebuah perbudakan. Dalam kritik Aristoteles justu sangant mendukung seebuah prbudakan Legal yang sudah menjadi sebuah tradisi biasa di Yunani Kuno. Perbudadakan adalah sebuah hal yang bermamfaat karena dalam tingkatan keluarga yang Bebas harus dapatmemmerinth budak, selain dia memiliki sebuah keahlian tertentu (artisan). Dalam manajemen struktur keluarga yang dilihat adalah Mastership yang  melihat dari garis keturunan tuan dann budak, yang berabrti ada sebuah benteng penyekat diantra dua golongan.
Menurut Aristoteles para budak adalah sudah menjadi sebuah ketentan alam atau biasa disebut dengan kodrat mereka. Apabila ingin menghapuskan perbudakan berarti secara langsung ingin menentang kodrat yang sudah diberikan. Cara berfikir ini terkait juga dengan bagaimana Aristoteles menguraikan sebuah kepemilikan Harta. Menurutnya penghapusan harta milik privat tidak boleh dilakukan, justru menurutnya pemikiran Plato sangan extreme dan utopis untuk memberlakukan itu semua. Harta dapat di dapatkan dengan tiga cara menurut Aristoteles, pertama dengan mengelola sumberdaya alam yang ada seperti pertanian dan perternakan, kedua dengan menjual sebuah jasa atau kodrat manusia nya (artisan dan budak), ketiga dengan cara penjualan melalui alat tukar Uang.
Satu hal terakhir adalah Revolusi dia justru melihat bahawa Revolusi, hal yang terpenting adalah bagaimana menjaga sebuah eksstensi Negara. Hal ini tidaklah mudah karena apabila ada sebuah diagnosa yang salah terhadap epidemic Negara maka akan terjadi sebuah reaksioner negative. Alasannya berangkat dari sebuah sifat manusia yang mencari kehormatan dan kekuasaan dan manussia selalu berkembang dalam cara melihat sebuah realitas.
Ggejola Revolusi bagi Aristoteles bisa saja hadir karenan mencari sebuah Keuntungan tersendiri dan mengejar sebuah Kehormatan. Ketika terjadi sebuah perdebatan yang tidak bisa diredam dan diakomodir oleh otoritas Negara maka intensitas gejolak revolusi akan makin kuat.
Dia berusaha untuk memberikan sebuah formulasi untuk mencegah sebuah revvolusi terjadi, kaena dalam bayangannya revolusi akan dibarengi dengan destruktif yang tanpa arah.
1.                  Pendidikan
2.                  Rasa hormat / tunduk dengan Hukum
3.                  Keadilan Hukum serta Administrasi yang tertib
Hal-hal ini sudah mendapat kan beberapa uraian dalam penjelasan nya sebelumnya. Dalam masalah pendidikan disisni lah semua warga ditempa seperti apa yang diinginkan oleh Negara, agar Negara dapat mengkontrol prilaku warganya. Hukum adalah sebuah pedoman / aturan yang telah sah dalam bernegara, dalam proses pembuatan aturan harus memang memberikan sebuah paying yyang positif untuk warganya, bukan malah sebaliknya menindas warganya sendiri. Keadilan hokum dan tertib administrasi adalah sebuah disiplin Negara yang akan menjadi sebuah dokumentasi perjalanan sebuah proses bernegara yang nantinya pemirintah meemiliki sebuah notulensi yang dapat dipertanggugn jawabkan di depan warganya.